Nayla melirik ke sekeliling, khawatir jika ada yang memperhatikan tatapan si guru baru yang terasa terlalu intens padanya. Ia akhirnya menarik napas lega saat menyadari tidak ada satu pun siswa yang menyadari arah pandang Rayyan. Dengan perasaan sedikit lega, Nayla kembali memandang pria itu dengan tatapan kesal. Sementara Rayyan hanya membalasnya dengan senyum menyebalkan yang terkesan menggoda.
Nayla nyaris membelalakkan mata. "Apa-apaan sih dia!" rutuknya dalam hati. Kesalnya meningkat, baik kepada pria di depannya maupun pada hidupnya yang rasanya makin aneh sejak pagi ini.
"Yaaah, ternyata udah punya istri," celetuk seorang siswi, kecewa.
Rayyan hanya bereaksi datar, sama sekali tak terganggu. “Ada lagi yang ingin ditanyakan? Kalau tidak, kita mulai pelaj...”
“Pak!” seru Zia mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
Rayyan memandang Zia tajam. “Ada apa lagi, Kezia?” tanyanya, jelas terdengar malas.
“Apa Bapak ada niat buat nambah istri? Siapa tau di sini ada yang rela jadi istri kedua,” ujar Zia tanpa rasa bersalah.
“Huuuuu!!” Suara sorakan langsung menggema.
“Apa? Gue cuma nanya, kok,” balas Zia, santai menatap teman-temannya.
Rayyan menghela napas panjang, mencoba menahan kesal yang mulai menguar. “Maaf, untuk saat ini saya belum ada rencana menambah istri. Saya ingin menjaga perasaan istri saya,” ucapnya, kali ini sembari melirik ke arah Nayla .
Nayla semakin panik karena kembali menjadi pusat perhatian guru itu. “Nay, lo ngerasa gak sih kalau Pak Rayyan dari tadi ngeliatin kita?” bisik Tania.
Nayla seketika menegang. Ia buru-buru melirik Rayyan, yang kini tampak menatap Zia. “Lo salah lihat kali Nia. Buktinya sekarang dia gak ngeliat ke arah kita,” sanggah Nayla, mencoba meyakinkan.
Tania menatap ke depan, lalu mengangguk kecil. “Berarti nanti-nanti bisa aja dong ada rencana ke sana, Pak?” pancing Zia lagi.
Rayyan menarik napas berat. “Baik kita cukupkan sesi tanya-jawabnya. Sekarang saya mulai absen,” ucapnya seraya meraih daftar nama.
Satu per satu siswa disebut. Hingga akhirnya...
“Nayla Zahira Aditama .”
“Iya, Kak.”
Seketika suasana kelas hening. Semua mata tertuju pada Nayla .
Rayyan tersenyum geli, sementara Tania memelototi sahabatnya. “Lo barusan manggil Pak Rayyan apa, Nay?”
“Hah? Emang kenapa?”
“Lo manggil dia ‘Kak’. Sadar gak sih?”
Nayla membelalakkan mata. “Gak ah. Gue manggil ‘Pak’ kok.”
“Tapi semua orang denger Nay!” Tania tak kalah yakin.
“Serius gue gak sadar...” gumam Nayla, mulai malu sendiri.
“Sudah! Yang di belakang jangan ribut! Kalau masih ingin mengikuti pelajaran saya, diam!” suara Rayyan terdengar lebih keras, membuat kelas kembali tenang. Nayla dan Tania langsung menunduk malu.
Saat itu, Nayla menutup mata sejenak. Pikiran dan ingatannya kembali melayang ke kejadian dua minggu lalu...
“Ada apa Yah?” tanya Nayla yang tengah membantu ibunya memasak di dapur.
“Kakek kamu telpon, katanya pengen ketemu,” jawab Tama, ayahnya.
“Kenapa gak nelpon aku langsung?” tanya Nayla , heran.
“Tadi sempat telpon tapi HP kamu gak aktif.”
“Oh iya. Lupa lagi dicas jadi dimatiin,” jawab Nayla tersenyum.
“Makanya, jangan main HP terus!” semprot Manda, ibu sambungnya sambil melirik sinis.
Senyum Nayla langsung menghilang. Tama mencoba menengahi. “Man anak zaman sekarang ya pasti begitu, jangan disamakan sama kamu.”
“Eh kok jadi bawa-bawa aku! Aku cuma nasehati aja,” ujar Manda.
Tama menghela napas. “Udah Nay. Nanti setelah bantu Mama, kita langsung berangkat ya?”
Nayla mengangguk. Tama menoleh ke istrinya. “Kamu ikut ke rumah Ayah Man?”
“Gak ada acara sama ibu-ibu komplek,” tolak Manda.
“Ya udah.”
“Heh! Jangan melamun! Cepet selesaikan kerjaannya! Mama gak mau Pandu kelaparan!” teriak Manda.
“Iya Ma.”
Tama yang sempat hendak kembali untuk memberi sesuatu ke Nayla mengurungkan niatnya ketika melihat Manda sedang memarahinya. Ia hanya bergumam dalam hati, “Maafkan Ayah Nay...”
Dalam perjalanan.
“Sebenarnya Kakek kenapa sih Yah? Kok Ayah sampai nginep?” tanya Nayla .
“Cuma kurang enak badan. Tapi katanya kangen kamu juga.”
Nayla tersenyum kecil.
Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah keluarga besar. Dua mobil sudah terparkir di halaman. “Kok rame? Kakek ada tamu ya?”
“Mungkin.”
Setelah masuk, mereka disambut tiga orang asing. Salah satunya adalah pria muda yang dari tadi menatap Nayla .
“Nayla, kenalin ini Hendra dan Mila, anak sahabat Kakek dulu,” ucap Herman .
Nayla menyapa sopan. “Cantik banget,” puji Mila.
“Terima kasih Tante.”
“Ini anak Tante, namanya Rayyan ,” lanjut Mila.
Rayyan dan Nayla saling berjabat tangan. “Rayyan .”
“Nayla .”
Malam harinya
Nayla menyuguhkan teh pada sang Kakek. Namun, suasana berubah saat Herman mulai bicara soal masa lalu.
“Dulu Kakek dan sahabat Kakek sepakat menjodohkan anak. Tapi karena anak kami sama-sama laki-laki, akhirnya kami ingin menjodohkan cucu.”
Nayla langsung tak nyaman.
“Hendra datang untuk melamar kamu Nay. Menikah dengan Rayyan.”
Deg!
Hati Nayla terasa terhenti. “Tapi aku masih sekolah, Kek...”
“Semua bisa diatur yang penting kamu bahagia. Kakek cuma ingin melihat kamu hidup layak sebelum Kakek pergi.”
“Kakek jangan ngomong gitu,” lirih Nayla .
“Kamu sudah cukup sabar dengan perlakuan Manda. Kakek cuma ingin kamu bebas.”
“Aku bisa tinggal di sini Kek.”
“Tapi kamu gak pernah benar-benar pindah. Kamu pulang karena Ayah kamu. Sekarang saatnya kamu pikirin dirimu.”
Rena nenek Nayla, masuk ke ruangan. “Ayah kamu juga setuju Nayla .”
“Ayah?” gumam Nayla .
Tama mengangguk. “Rayyan anak baik. Ayah yakin dia bisa bahagiakan kamu.”
Seminggu kemudian
Pernikahan sederhana itu pun dilangsungkan hanya keluarga dan kerabat dekat.
“Nak Rayyan, Ayah titip Nayla . Dia anak baik cuma kadang keras kepala,” ucap Tama.
“InsyaAllah Yah. Saya akan jaga dan bimbing dia.”
Nayla menatap keluarganya satu per satu, lalu masuk ke dalam mobil. “Kami pamit. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Nay! Lo mikirin apaan sih?” sentak Tania sambil menepuk bahu Nayla .
“A-apa?”
“Pak Rayyan manggil lo ke depan, buat ngerjain soal!”
Nayla menoleh dan melihat soal di papan tulis. “Mampus!” desisnya.
“Nayla Zahira Aditama ! Cepat maju ke depan!” suara Rayyan menggelegar.
Nayla berjalan dengan gugup. Ia sama sekali tidak menyimak pelajaran tadi.
“Ayo kerjakan!”
Nayla menelan ludah, lalu menoleh pelan. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum manis.
Rayyan menatap tajam. “Bagaimana bisa tidak bisa! Saya sudah jelaskan tadi! Jangan melamun kalau sedang belajar!”
Nayla tertunduk. “Gara-gara Kakak juga ini!” rutuk nya dalam hati.
“Sudah, duduk kembali! Andre, kamu yang kerjakan.”
Nayla menyerahkan spidol lalu duduk. Tapi sebelum sampai tempat duduknya...
“Dan kamu, Nayla ! Istirahat nanti ke kantor! Temui saya!”
Nayla memejamkan mata. “Mampus gue…”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments