Gift Of Love
“Aku telah salah…” gumam Aazeena lirih sambil menatap keluar jendela ruang kerjanya. Dari balik kaca bening itu, gedung-gedung tinggi menjulang seperti menatapnya dengan tatapan dingin—seolah ikut menghakimi dirinya yang tengah terpuruk. “Huffff…” helaan napasnya kembali terdengar, entah sudah untuk keberapa kalinya sejak tadi.
Sedih. Kecewa. Dua perasaan yang kini menyesakkan dada Aazeena.
Gadis itu merasa kalah. Untuk pertama kalinya, keyakinan yang ia genggam hancur berkeping. Seseorang yang begitu ia percayai—yang ia jaga dengan penuh doa—ternyata mengkhianatinya.
Sementara di tempat lain, seorang pria menatap hancurnya ruangan yang baru saja ia porak-porandakan.
“Pranggg!”
Pecahan kaca berserakan di lantai, berserakan seperti hatinya.
“Ahh, sial! Bagaimana bisa aku begitu bodoh!?” teriak Cemal sambil meninju meja. Napasnya memburu, wajahnya pucat, matanya merah.
Cemal menyesal. Semua perjuangannya terasa sia-sia. Ia teringat betapa sulit dulu mendapatkan izin keluarga Aazeena, terutama dari Abiyan—kakak laki-laki gadis itu yang begitu protektif. Ia teringat bagaimana dirinya berusaha membuktikan keseriusan, meyakinkan mereka bahwa ia pantas mendampingi Aazeena.
Namun kini, hanya sebulan menjelang pernikahan, segalanya hancur karena kebodohannya sendiri. Ia tertangkap basah bersama Clarisa—putri rekan bisnisnya yang sejak awal menggoda dan menjeratnya dengan rayuan serta godaan yang tak pernah berhenti.
Clarisa Aditama, wanita cantik dan menggoda yang tahu betul cara memanfaatkan kelemahan pria. Dan Cemal, dengan segala kesombongan dan kelengahannya, jatuh dalam perangkap itu.
“Maafkan aku, Aazeena…” lirihnya pelan. Tapi penyesalan itu terlambat. Gadis itu sudah pergi—membawa serta harapan yang telah hancur.
Malam itu, mansion keluarga Damian terasa sunyi. Padahal biasanya, rumah besar itu selalu ramai dengan tawa dan obrolan hangat. Namun malam ini, udara seperti membeku bersama amarah dan kesedihan yang memenuhi ruang keluarga.
Aamira, ibu Aazeena, duduk di sofa dengan mata sembab. Isak tangisnya terdengar lirih namun memilukan. “Hiks… hiks…”
Hati seorang ibu mana yang tak hancur melihat putrinya disakiti, apalagi oleh laki-laki yang hendak menjadi suaminya, hanya sebulan menjelang akad?
“Bagaimana bisa, Ayaah? Bagaimana mungkin putriku menanggung semua ini sendirian? putriku tak bicara apa pun… kita tahu dari para pengawal. Putriku terlalu pandai menyembunyikan lukanya…” ucap Aamira, suaranya bergetar di antara tangis.
Abiyan terdiam di sebelahnya. Rahangnya mengeras.
Air matanya jatuh, tapi amarah di dadanya membara.
Aazeena—adik yang ia jaga sejak kecil, adik yang selalu lembut dan penurut—telah disakiti. Dan yang paling membuatnya sesak, siang tadi Aazeena sempat datang ke kantornya membawa makan siang, tersenyum seperti biasa, padahal di balik senyum itu ia baru saja menyaksikan kehancuran cintanya.
Rafiq, ayah Aazeena, memeluk istrinya erat. Ia tak berkata banyak, tapi sorot matanya menunjukkan luka yang dalam. Bagi Aazeena, Rafiq adalah cinta pertama—dan kini cinta pertama itu hanya bisa menatap putrinya dalam diam, dengan hati yang hancur karena putrinya disakiti orang lain.
Ketika suasana masih tenggelam dalam keheningan, terdengar suara langkah kaki pelan dari arah pintu.
“Assalamu’alaikum…” suara lembut yang begitu dikenal memecah keheningan.
Semua kepala menoleh. Di ambang pintu, berdiri Aazeena dengan balutan jilbab panjang berwarna soft pink, dress bunga lembut yang menutupi tubuhnya hingga mata kaki. Wajah cantiknya tampak teduh, meski ada semburat lelah di matanya. Ia tersenyum—senyum yang dipaksakan, tanpa sadar bahwa keluarganya sudah mengetahui segalanya.
“Wa’alaikumussalam…” jawab Abiyan lirih, satu-satunya yang sempat menanggapi.
Tatapan kakaknya membuat dada Aazeena menghangat tapi juga nyeri. Ada sedih dan amarah di sana—sesuatu yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Tap. Tap. Tap.
Langkah kakinya mendekat. Senyumnya tetap terjaga, seperti ingin menenangkan mereka yang ia kira baik-baik saja.
Namun baru beberapa langkah, Rafiq tiba-tiba berdiri dan menarik Aazeena ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu erat, seperti pelindung yang tak ingin kehilangan. Kening dan kepala Aazeena dicium berulang kali, hingga air mata gadis itu nyaris jatuh tanpa ia sadari.
“Ayah…” panggilnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Iya, sayang.”
“Ada apa? Semuanya baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan polos, tanpa menyadari betapa kalimat itu membuat semua orang semakin terisak.
Tidak ada yang menjawab. Hening.
Sampai akhirnya, isak tangis Aamira kembali pecah.
“Bunda?” Aazeena menoleh, menatap ibunya dengan mata bingung. “Bunda kenapa?” Ia segera berlutut di samping Aamira dan memeluknya erat.
Tapi Aamira tak menjawab, hanya menangis di bahunya.
“Bunda…” bisik Aazeena lagi, kali ini dengan suara bergetar. Ia menatap ayah dan kakaknya yang masih diam, seolah ada sesuatu yang besar yang ia belum tahu.
Akhirnya, Aamira berucap lirih, “Sayang… kenapa adek diam saja? Kenapa tidak cerita pada bunda, nak…”
Aazeena mengerutkan kening. Ia tak langsung mengerti maksud perkataan itu—hingga Abiyan menatapnya dalam dan berkata dengan suara tegas namun penuh luka,
“Kami sudah tahu, Dek… tentang apa yang Cemal lakukan.”
Dunia Aazeena seketika berhenti.
Tubuhnya membeku.
Ia lupa—bahwa dirinya selalu diawasi pengawal keluarga. Ia lupa bahwa ayah dan kakaknya tak pernah membiarkannya sendirian di luar rumah. Ia lupa bahwa setiap langkahnya selalu dalam lindungan mereka.
Dan sekarang, semua sudah terbongkar.
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Ia menunduk, bahunya bergetar hebat.
Rafiq segera memeluknya lagi, menenangkan putrinya yang kini menangis di pelukannya.
“Sayang… adek tidak sendiri. Ayah di sini, nak. Dia bukan yang terbaik untuk putri ayah,” ucap Rafiq lembut, mengusap kepala Aazeena yang kini terisak tanpa suara. “Tak semua yang kita doakan harus jadi milik kita, Sayang.”
Ciuman lembut jatuh di kening gadis itu. Pelukan ayahnya terasa begitu hangat, menenangkan luka yang seolah tak berujung.
Aazeena menangis semakin keras. Ia merasa aman, tapi juga hancur.
“Maafkan Adek, Ayah…” lirihnya di sela tangis.
Rafiq menggeleng, “Tidak, nak. adek tidak salah.”
“Ayah…” suaranya serak. “Adek tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan Kak Cemal. Adek mundur, ayah…”
Kata-kata itu akhirnya keluar, diiringi air mata yang jatuh tanpa henti.
Aamira mengusap kepala putrinya lembut. “Sayang… ayah dan bunda tidak akan membiarkan adek menikah dengan laki-laki seperti itu. Jika ia tak bisa menjaga dirinya sendiri, bagaimana ia bisa menjaga putri bunda?”
Abiyan menatap adiknya, menahan emosi yang hampir meluap. “Lebih baik batal menikah, daripada hidup dengan laki-laki brengsek itu. adek tidak bersalah, Dek. Biarkan dia yang menyesal.”
Pelukan itu kembali menguat. Tangisan kembali pecah.
Malam itu, mansion keluarga Damian dipenuhi isak yang lirih tapi dalam—suara hati yang patah, tapi tetap saling memeluk dalam cinta keluarga yang tak tergoyahkan.
Dan di tengah kesedihan itu, Aazeena tahu…
mungkin takdirnya tidak bersama Cemal.
Namun ia juga tahu—dalam pelukan ayah dan kakaknya, cinta yang tulus tak akan pernah mengkhianati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Rita Riau
izin mampir thor,,,
menarik kayaknya nih
2024-08-05
0
DreamHaunter
Penasaran banget sama kelanjutan cerita, semoga cepat diupdate lagi 🤞
2024-07-24
0