"Loe?"
"Kamu?"
Kedua gadis yang sama-sama jatuh di pinggir jalan itu terkejut, ketika memandangi wajah mereka di kaca spion. Wajah yang seperti pinang dibelah dua.
"Kamu siapa?"
"Loe siapa?"
Tanya keduanya bersamaan. Mereka bangun lalu duduk meraba wajah masing-masing masih memandangi kaca.
"Kenapa wajah kita sama ya?" Tanya Sarah.
"Gue juga heran" Jawab gadis yang baru Sarah temui. Mulutnya mengulum permen karet sesekali digelembungkan seperti balon.
"Tapi masih lebih cantik gue sih," Sambungnya percaya diri. Sambil menatap wajahnya sendiri dari beberapa sisi.
"Apa mungkin kita kembar?" Lanjut Sarah.
"Kembar gundul loe?! Nyokap gue punya anak yang cantik, imut, dan unyuk, yaitu cuma gue satu-satunya. Mana mungkin kita kembar." Gadis tengil itu menoyor dahi Sarah. Bibirnya nerocos seperti burung betet. Lantas diam sesaat memandangi wajah Sarah seperti merencanakan sesuatu.
Sarah hanya diam termangu menatap wanita di depanya yang tengah bicara tidak pakai titik koma. Wajah boleh sama, tetapi tingkah laku mereka berbeda. Sarah wanita lemah lembut, feninim, berpakaian dengan rapi. Sementara wanita yang dia temui, gayanya petentang petenteng seperti pria, lengan bajunya digulung bawahan rok selutut.
"Kenalkan. Nama gue Salma. Siswi tercantik di sekolah, bukan hanya di sekolah sih, tapi juga tercantik di seluruh dunia. Hahaha..." tawananya pun seperti pria.
Lagi-lagi Sarah hanya bisa mengerutkan kening, lalu menyambut uluran tangan Salma. "Namaku Sarah," Ucap Sarah pendek.
Salma manggut-manggut lalu memandangi rangsel yang masih di punggung Sarah, dan koper besar yang tergeletak di trotoar.
"Ngomong-ngomong... loe mau kemana? Loe calon pembokat yang baru saja merantau ke Jakarta kan? Hahaha..."
"Memang kamu nggak melihat seragam sekolah aku," Kali ini Sarah geleng-geleng kepala. Entah mengapa, bertemu orang yang mirip dengan ini sedikit melupakan kesedihannya.
"Ooh..." Salma menatap pakaian Sarah. Ia baru sadar, rupanya mereka pun sama-sama mengenakan seragam sekolah. Hanya berbeda nemtek yang berasal dari sekolah masing-masing.
"Pasti loe kabur dari rumah kan? Kenapa... Mau dikawinkan seperti gue? Atau loe malah sudah teg dung duluan?" Lagi-lagi Salma melontarkan pertanyaan konyol.
"Enak saja kamu" Sarah menunduk diam, apakah pantas jika dia menceritakan aib istri papanya? Padahal Salma baru saja dia kenal.
"Kok loe diam?" Ulang Salma.
"Kamu sendiri mau kemana? Kok membawa koper juga?" Sarah balik bertanya. Memandangi koper Salma yang tertindih motor.
"Hahaha... kalau gue sih kabur" Jawab Salma jujur, sambil mendirikan motornya, kemudian mengangkat koper mengibas-ngibas membersihkan debu jalanan yang menempel di koper.
"Aku diusir," Sarah yang masih duduk di trotoar, wajahnya sedih mengingat perlakuan ibu tirinya.
"Gue punya rencana," Batin Salma memandangi wajah Sarah yang sedih menopang dagu di lutut.
"Terus... loe sekarang mau kemana?" Tanya Salma. Ia berharap rencananya akan berhasil.
Sarah hanya menggeleng, kali ini memeluk lutut. "Aku bingung Salma. Entah mau kemana" lirih Sarah. Di Jakarta tidak punya siapa-siapa selain papa Aiman yang nyaris tak ada waktu untuknya. Sibuk mencari uang, tetapi hanya untuk mama tirinya. Sementara dirinya, uang sekolah saja sering telat bayar. Entah papanya tahu atau tidak yang jelas, Bianca akan membayar spp jika sudah kepentok dipanggil guru.
"Kalau loe mau nurut sama gue, gue bisa kok. Memberi tempat yang layak untuk loe," Salma kali ini tidak bergurau
"Di mana?" Sarah mengangkat kepalanya cepat.
"Sekarang ikut gue" Ucap Salma, lalu beranjak meletakkan koper di atas motor bagian depan. Lalu minta Sarah agar membonceng.
"Tunggu dulu, tapi kamu nggak mau menjual aku kan?" Sarah tidak percaya begitu saja.
"Elah... memangnya tampang gue kriminal apa? Ayo, jangan sampai gue berubah pikiran. Atau loe mau menjadi gelandangan?" Salma begidik, berlagak cuek kemudian starter motor.
"Ya deh, aku ikut kamu" Sarah pun bangun lalu menarik koper duduk di belakang Salma, meletakan koper di pangkuan. Sarah sudah pasrah akan dibawa ke mana, yang penting bukan dijual atau diajak berbuat yang aneh-aneh.
"Nah... gitu dong. Tariiik..." Seru Salma. Motor pun melesat pergi. Dalam perjalanan mereka ngobrol. Lebih tepatnya Salma yang tanya begini begitu bersaing dengan derung kendaraan. Hingga tiba di mall, motor Salma berhenti.
"Kita ke kesini?" Sarah mengedarkan pandanganya. Walaupun hidup di kota besar jarang belanja di mall. Kecuali sesekali diajak papanya. Itupun ketika sang papa belum menikah dengan Bianca.
"Iya... loe jangan norak gitu, apa" jawab Salma asal nyeplos. Sarah tidak mau menjawab memilih mengikuti Salma. Rupanya Salma ke penitipan barang. Setelah menitipkan koper dan rangsel mereka, Salma mengajak Sarah ke restoran mall.
"Loe pasti belum makan bukan" Tebak Salma, ketika memesan makanan. Sarah menggeleng pelan. Jujur, saat ini perutnya memang lapar sekali. Sebab, sudah jam tiga sore.
"Punya dwit nggak loe?"
"Nggak"
"Sudah gue duga. Loe sekarang mau memesan apa?" Salma mendekati buku kecil, pulpen, dan buku menu.
"Tapi..." Sarah ragu-ragu.
"Takut nggak gue bayar? Jangan khawatir, gue yang akan traktir loe makan sepuasnya. Tetapi loe harus menuruti kemauan gue," Rupanya Salma minta imbalan.
"Tapi aku mau kamu suruh apa?" Sarah agak ragu, takut jika dia beneran dijual. "Kalau kamu tidak bicara dulu, lebih baik aku pergi." Sarah beranjak. Lebih baik mati kelaparan, daripada hidup berlumur dosa.
"Tenang... tenang... Sekarang loe duduk dulu" Salma menarik tangan Sarah.
Sarah menarik napas panjang menatap mata Salma, mencari kebenaran di sana. Jika ucapanya asal ngenjeplak begitu apa mungkin wanita di depanya ini baik.
"Tadikan loe sudah cerita sama gue, kalau loe diusir ibu tiri loe, sekarang gue yang akan cerita sama loe,"
Tanpa ada yang ditutup-tutupi, Salma Haira menceritakan jika dirinya akan dijodohkan dengan guru di mana dia sekolah. Tentu saja dia menolak, lantaran belum ada keinginan untuk menikah. Salma memang tengil, suka kelayapan, jika bicara tidak difilter. Itu alasan sang mama ingin menjodohkan dengan Haris, agar ada yang mendidiknya sedikit demi sedikit.
"Jadi... kamu mau dijodohkan? Terus... apa yang harus aku lakukan?" Tanya Sarah bingung.
"Sekarang kita tukar tempat. Loe tinggal di rumah gue, dan gue sebaliknya tinggal di rumah loe" tutur Salma tersenyum penuh rencana.
"Apa? Nggak mau!" Sarah tak kalah tegas. Otak cerdasnya cepat menangkap. Dengan menerima tawaran tukar tempat, itu artinya, harus menikah dengan Haris.
"Ayolah Sarah... bukankah ini adil? Urusan mama tiri loe, gue bisa kok menghadapi. Masalah perjodohan itu, gue juga yakin kalau loe bisa hadapi," Dengan bergai cara Salma meyakinkan. Dalam ilmu akademik, Salma bisa dibilang nol besar. Tetapi jika masalah meyakinkan orang, dialah jagonya.
"Dengar Sarah, dalam hal ini, loe yang paling diuntungkan bukan? Terbebas dari ibu tiri yang jahat, nyokap gue baik dan penyayang, jangankan hanya makanan, uang jajan pun nggak bakal kekurangan. Bagaimana?" Segudang keuntungan untuk Sarah, Salma utarakan.
Sarah diam termangu, dia memang ingin terbebas dari belenggu ibu tiri dan adik tirinya. Tetapi jika menerima tawaran Salma, bagaimana dengan Rafi? Salma sangat mencintainya.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Eka elisa
asik lok salma tinggl di rumah mu dia psti bisa bles prlkuan jht ibu ma sodara tiri kmu yg jahat itu sarah...
2024-03-11
2
Nur Hidayah
Semangat lawan nenek lampir itu ya Salma
2024-03-04
2
Lee
Salma pasti nanti akan menyelesai usulnya itu...
2024-03-04
1