Bab 4 Si Pengawal Pemula

"Kau adalah rakyatku Akemi, sudah jelas bisa dibilang jika kau juga adalah pengikut Kekaisaran Bulan," ucap Hana sambil menatap pemuda itu dari atas hingga bawah.

"Tidak. Bukan itu maksudku Yang Mulia," tugasnya sambil menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Lalu?" tanya Hana dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Bolehkah aku menjadi pengawal Yang Mulia?" dengam segenap keberanian hati akhirnya keinginan pemuda itu terucap.

"Apa alasanmu ingin menjadi pengawalku?"

"Aku ingin mengasah kemampuanku Yang Mulia, juga hidup sebatang kara disini terasa tiada arti lebih baik aku berkelana atau menjadi orang yang berguna bagi negeri,"

"Jika kau ingin berkelana bukan aku orangnya, tapi jika kau ingin mengabdi pada negeri pun aku tidak cocok menjadi pemimpinmu,"

"Lalu aku harus bagaimana Yang Mulia,"

"Ikutlah, setelah kembali ke Kekaisaran kau akan menemukan pemimpin yang cocok untukmu,"

Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk.

Mereka dengan perlahan akhirnya masuk kedalam hutan itu. sepuluh meter kedalam cahaya matahari hanya samar-sama menerangi, tidak jarang kaki-kaki kuda itu terperosok terlebih Uma yang sedang terluka.

Hutan yang begitu luas itu membuat keduanya belum juga mencapai ke tepi yang lainnya hingga tengah hari.

"Kau ingin istirahat makan siang dulu Akemi?"

"Bagaimana dengan Yang Mulia?"

"Ada baiknya kita istirahat dulu mengisi tenaga,"

"Hamba ikut saja,"

Hana mengangguk lalu mencari tanah yang sedikit kering untuk tempat mereka istirahat sejenak, karena kebanyakan tanah ini becek karena cahaya matahari sulit menembus dedaunan yang rapat ini.

Setelah mendapatkan apa yang dicari keduanya menghentikan langkah kaki kuda dan turun sambil membawa kain bekal makan siang masing-masing.

"Kita makan disini saja, cukup sulit mencari tanah yang kering agar kita bisa makan dengan nyaman," ucap Hana lalu membuka ikatan kain yang membungkus kotak makan miliknya.

"Iya,"

Keduanya langsung makan, berusaha secepat mungkin karena mereka tahu jika hutan itu bukanlah hutan yang aman untuk bersantai. Sepuluh menit, isi kotak makan siang masing-masing telah kosong.

Akemi menatap sang Permaisuri yang sedang merapikan barang bekas makan miliknya lalu bangkit menggantungnya pada pelana kuda.

"Kita lanjut sekarang Yang Mulia?" tanya Akemi.

"Lebih baik begitu, lebih baik jika kita keluar dari hutan ini sebelum malam tiba, karena akan berbahaya jika hewan-hewan malam itu terbangun. Aku juga melihat beberapa ular diatas pohon sejak tadi namun mereka tidak mengganggu kita karena mungkin mereka masih cukup kenyang," ucap Hana yang membuat si pengawal baru itu bergidik ngeri.

"Hah? Dimana?" tanya pemuda itu dengan kepala yang menoleh kesana kemari mencari keberadaan ular yang disebutkan Hana.

"Itu disana," tunjuk Hana.

"Astaga," pemuda itu langsung melonjak kaget dan melompat keatas pelana kudanya membuat kuda ikut terkejut dan meringkik. "Ayo," katanya heran telah meminta kudanya jalan namun kuda itu justru tidak bergerak.

"Jangan konyol Akemi, kudamu masih terikat di pohon," kata Hana yang sedang melepaskan ikatan Uma.

Sedang Akemi hanya tertawa garing lalu melompat turun hendak melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan sang Permaisuri.

"Kau berani dengan perampok, tapi takut dengan ular,"

-

Eiji memijat keningnya yang berdenyut kencang. Baru dua hari tidak melihat Hana dia sungguh merindukan istrinya itu. Gadis tanpa kemampuan itu telah berubah drastis sekarang. Tidak ada lagi perasaan butuh perlindungan, dia justru selalu berusaha mencari cara bagaimana agar bisa membuat semua berjalan damai sebagaimana mestinya.

Tangannya beralih memijat alisnya karena denyutan kepalanya semakin kentara terasa. Bahkan kini terasa hingga ke tengkuk kepalanya.

"Astaga ada apa ini?" pikirannya jadi tidak fokus, lembaran-lembaran perkamen yang meminta tanda tangan persetujuanmu kini akhirnya terabaikan karena rasa sakit yang dirasakan. "Pengawal!" panggilnya.

Seorang pria muda masuk tergesa saat mendengar panggilan itu.

"Ya Yang Mulia?"

"Tolong panggilkan Tabib Ito,"

"Baik,"

Lima menit menunggu terasa seperti lima abad bagi Eiji yang kepalanya terus berdenyut. Entah apa yang terjadi dengan tubuhnya.

"Hormat Paduka Kaisar. Yang Mulia memanggil Hamba?" tanya Ito setelah dia diperbolehkan masuk oleh penjaga.

"Ya, kepalaku sangat sakit saat ini, tolong periksa apa yang terjadi denganku?" sahut Eiji mengeluhkan sakit kepalanya.

Ito mengangguk lalu mendekat dan tangannya langsung menyentuh kening Eiji yang tak lagi memakai mahkotanya setelah mengucap izin dan mendapatkannya.

"Anda hanya kelelahan Yang Mulia, atau mungkin ada beban pikiran yang kerap Anda pikirkan hingga menguras waktu dan tenaga Yang Mulia,"

"Aku memikirkan Permaisuriku Ito,"

"Yang Mulia Permaisuri pasti bisa Yang Mulia Kaisar. Anda jangan khawatir perkembangan beliau selama kurang lebih sepuluh tahun ini sangat memukau, kemampuannya di segala bidang sangat memuaskan. Dia tidak akan menjadi Permaisuri dua Kekaisaran jika memang tidak memiliki kemampuan yang mumpuni,"

"Tetap saja dia istriku yang kusayang. Aku tidak rela jika dia tersakiti apalagi terluka,"

Tangan Ito berhenti bergerak.

"Maaf jika Hamba lancang Yang Mulia, tapi apa boleh Hamba bertanya kenapa yang Mulia tidak mencari istri untuk dijadikan selir maupun gundik,"

"Apa maksudmu Tabib Ito? Kau ingin menjadi selirku?" tanya Eiji sambil bangkit membalikkan tubuhnya.

Sedikit menyesal ada juga dia telah memanggil Ito untuk memeriksanya. Dia ingin memanggil Suzu namun tidak nyaman hati jika harus mengganggu wanita tua itu yang sedang beristirahat sambil menjaga Harumi yang hingga kini belum sadarkan diri.

"Kau sangat lancang Ito," ucap Eiji namun tidak keras hanya tegas dan berat agar sang lawan bicaranya tidak merasa dipermalukan. Dia masih menghargai gadis itu karena mengingat pertolongan gurunya akan Eiji sendiri.

"Ampuni Hamba Yang Mulia, Hamba tidak bermaksud. Hamba hanya bertanya,"

"Tapi pertanyaannya sangat lancang, walau kau sudah mengatakan itu, tapi tidak seharusnya kau bertanya perihal ini, sekarang kau keluar," Eiji menunjuk arah pintu mengusir gadis itu. "Dan jangan pernah datang lagi ke paviliun kami. Jika Permaisuri yang memintamu datang tolak secara halus aku tidak ingin melihatmu datang kemari," sambung Eiji.

"Baik," gadis itu mengangguk takut.

Jujur saja perkataan Eiji membuatnya sakit walau dia sadar siapa dirinya, tapi tidak seharusnya pria itu mengusirnya karena dia hanya bertanya.

Setelah Ito keluar Eiji kembali duduk dan menumpukan sukunya keatas meja lalu menopang kepalanya diatas telapak tangan.

"Baru dua hari kau pergi sudah ada yang ingin menggantikan posisi Hanaku? Cepatlah kembali,"

-

"Yang Mulia!" suara Akemi terdengar menggelegar mencari Hana yang menghilang entah kemana. Entah kapan mereka terpisah Akemi tidak sadar. Dia merasa hanya minum sebentar dan setelah dia selesai Hana sudah menghilang dari hadapannya.

Pemuda itu sudah hampir di tepi hutan namun tidak ada tanda-tanda Hana sudah sampai lebih dulu.

"Yang Mulia!" teriaknya lagi namun tetap tidak ada sahutan.

...TBC...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!