Suara langkah kuda berpacu di keheningan senja. Tubuh yang sedikit membungkuk mengimbangi gerakan kuda dilakukan. Perjalanannya masih jauh, hanya bertemankan kuda serta alat tempurnya Hana terus memacu kudanya semakin cepat. Dia berharap dapat melewati hutan itu sebelum cahaya matahari menghilang.
Ketukan sepatu kuda yang semakin cepat menandakan dia yang juga semakin mendekati hutan itu. Langit semakin jingga, tidak lama lagi mega merah akan tiba dan cahaya itu akan benar-benar menghilang.
Detak jantungnya terpacu begitu kencang mengiringi hentakan kaki kuda pada tapakkan tanah. Kantong perbekalan yang tergantung pada pelana kuda juga ikut berguncang mengikuti hempasan angin dari langkah cepat yang ditunggang.
Swing...
Namun seakan tidak mengizinkan dirinya untuk segera sampai sebuah panah melesat cepat, tepat mengenai kaki depan kudanya.
"Aak," teriaknya kaget karena kuda langsung berdiri kaki dua merasa sakit pada kaki depannya. Tangan memeluk erat pada leher kuda itu sambil mengelus mencoba menenangkan, "Tenang Uma, aku akan mengobatimu, tapi sebelum itu tenang dulu agar aku bisa melawan mereka," ujarnya mencoba menenangkan kudanya. Elusan itu membuat kuda itu meringkik tenang lalu melangkah tertatih dengan tiga kaki karena satu kakinya terluka.
Hana turun lalu menuntun kudanya yang diberi nama Uma menuju ke bawah pohon lalu mengikat tali kekangnya kuat kesana. Obat-obat yang juga jadi perbekalannya dikeluarkan dari kantong yang menggantung di pelana. Tatapan mengitari sekitar melirik mencari dari mana asal panah tersebut. Namun dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan.
Segera dia menyalakan api hendak membakar pisaunya agar bisa membelah kulit kuda yang tertunda pisau. Beberapa obat-obatan juga dikeluarkan untuk mengurangi rasa sakit pada kaki itu agar mencabut panahnya nanti tidak membuat kuda itu mengamuk.
Saat sedang berjongkok didekat kaki kuda itu sekelebat bayangan terlihat dibelakangnya. Hana menoleh waspada. Namun tidak terlihat apapun disana. Kembali dia menatap kaki kuda dan membalur luka itu namun lagi-lagi konsentrasi buyar akibat suara gesekan dedaunan dibelakangnya.
Napas panjang ditarik lalu dihembuskan perlahan.
Tenang Hana, kamu pasti bisa. Batinnya berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tidak menentu.
Takut?
Sudah pasti dia rasakan, apalagi seorang diri didepan hutan saat cahaya matahari hanya ada diujung garis cakrawala.
Bayangan itu ada lagi, terlihat karena sinar bulan mulai muncul menerangi pandangannya, begitu juga dengan sinar api kecil yang menyala tidak jauh darinya.
"Huh!" panah itu sudah tercabut, darah segar mengalir dari dari luka itu.
Khihkhihkhihk..., Rintihan kudanya terdengar.
"Tenang Uma, kau pasti bertahan, sedikit lagi lukanya akan kututup,"
Tepat saat dia mengikat perban lapisan terakhir bayangan itu muncul lagi, namun tidak hanya lewat, melainkan...
Traaaang....
Suara pedang yang beradu, Beruntung Hana sigap menarik pedang yang ada didepannya hingga kepalanya tidak terlepas dari leher.
Tidak! Tidak untuk kali ini, dia tidak akan mengorbankan siapa pun. Keputusannya untuk mengambil Bunga Petunia itu seorang diri adalah keputusan yang benar.
Pedang si lawan terus menyerangnya membabi buta, namun latihan hampir sepuluh tahun ini pun tidak sia-sia, pedang datang dari arah samping segera dia tangkis juga dengan pedangnya, pedang datang dari atas dia tahan lalu didorong kedepan sekuat tenaga.
Khihkhihkhihk....
Terdengar lagi suara ringkikan kuda Hana yang merintih membuat wanita itu menoleh.
"Uma," sentak Hana melihat seseorang lagi hendak menebas kudanya yang mengamuk hendak lari. Ada penyesalan di hatinya saat melihat kuda kesayangannya itu tidak bisa melawan karena sakit terlebih tali kekang yang juga terikat ke dahan pohon. Seharusnya aku tidak perlu mengikatnya. Batinnya sangat menyesal.
Susah payah dia melawan pria yang menyerangnya demi menyelamatkan Uma namun tetap saja pria yang ada dihadapan kudanya sangat berniat membunuh kuda itu.
"Tidak.... Uma!" teriak Hana.
Krashhhh....
Hana menutup mulutnya, percikan darah itu terciprat sedikit ke wajahnya.
Khihkhihkhihk....
Masih kuda itu meringkik begitu juga dengan posisi Hana yang terduduk. Matanya terbelalak, seorang pemuda menolongnya, tidak lebih tepatnya menolong Uma.
"Siapa kau?" tanya pria dibelakang Hana.
"Malaikat mautmu," jawab pria yang menebas pria yang hendak membunuh Uma.
Hana tidak bergerak dari posisinya.
"Bawa temanmu itu, dan jangan pernah ganggu ketenangan wilayahku," usir pemuda itu.
Pria dibelakang Hana langsung lari mendekati mayat temannya dan pergi sejauh mungkin dari sana.
Pemuda yang menolongnya itu mengulurkan tangan agar Hana bisa bangkit dari keterkejutannya. Sementara Hana menatap pada pemuda itu lalu menatap tangannya yang terulur. Hana meraih tangan itu lalu berdiri mendekati kudanya yang masih terduduk dengan wajah ketakutan.
"Tidak apa-apa Uma, aku disini, kau sudah selamat," ucap Hana sambil memeluk kepala kuda itu yang masih merintih pelan.
"Apa yang kau lakukan di hutan tepi barat sore menjelang malam seperti ini?" tanya pemuda itu.
"Aku sedang mencari Bunga Petunia," ujar Hana menjawab pertanyaannya.
"Apa kau tidak tau disini sarang perompak, sebaiknya urungkan niatmu, jika kau nekat kesana hanya akan ada kematian menanti," pemuda berusaha memperingati Hana.
"Terima kasih atas pertolongan juga perhatianmu, Tuan. Tapi aku sangat memerlukan bunga itu," sahut Hana yakin.
"Jika kau tetap berniat pergi, lebih baik tunggu matahari kembali terbit, atau setidaknya tunggu keadaan kudamu lebih baik," ujar pemuda itu memberi saran.
Hana mengangguk, "kalau boleh tau siapa nama Tuan?" tanya Hana.
"Aku Akemi," sahutnya.
"Kalau begitu aku Hana, sekali lagi terima kasih, aku akan menginap disini saja," jawab Hana.
"Maaf, bukan aku bersikap kurang ajar, tapi disini cukup rawan wilayahnya, kau bisa menginap di tempat tinggalku jika kau mau, tapi aku hanya tinggal sendiri," Akemi menawarkan karena dia tidak tega.
Hana menimbang, cahaya matahari telah benar-benar hilang diujung cakrawala barat, dan ini mulai berbahaya baginya yang seorang diri mencari Bunga Petunia, "baiklah, aku tidak akan lama juga berusaha untuk tidak merepotkanmu, terima kasih tawarannya,"
Pemuda itu menunggu Hana yang sedang melepaskan ikatan tali kekang kuda pada dahan pohon. Setelah ikatannya terlepas dan Hana mulai menuntun langkah kudanya pemuda itu akhirnya berjalan didepan mendahului Hana, wanita itu mengikuti dari belakang sambil sesekali memandang awas pada kiri kanannya, khawatir sang penyerang datang lagi.
"Untuk malam ini mereka tidak akan berani lagi datang kemari, tapi tidak tau malam besok, mereka selalu bekerja malam hari, jika siang, disini cukup panas," ujar Akemi menjelaskan tanpa ditanya.
Hana hanya mengangguk paham terus melangkah mengikuti penolongnya itu.
"Ngomong-ngomong Hana, namamu sama dengan wanita nomor satu negeri kita," ucap pemuda itu tanpa menoleh.
"Itu memang aku, Akemi," ucapnya tanpa sadar dan santai.
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments