Bab.3

Tepat pukul tujuh malam, setelah sholat isya. Akhirnya warga bergerak untuk mencari Wisnu dan Saka, para warga membawa alat pukul agar si mahluk tak kasat mata tersebut mau melepaskan anak-anak.

Ibu Wisnu dan Saka sudah menangis, mereka ingin ikut awalnya. Namun, dilarang oleh suami mereka masing-masing.

"Doakan, anak kita kembali dengan selamat." Ujar ayahnya Wisnu, begitu pula ayahnya Saka.

Ibu Wisnu dan Saka pun mengangguk sebagai jawaban, lalu mereka menatap kepergian para warga menuju hutan.

***

Aluna dan Almira menyimak dengan seksama, cerita Oma Lidia.

"Lalu ... apa yang terjadi dengan mereka, Oma?" tanya Raka, dia sudah meninggalkan ponselnya dan mulai mendengarkan cerita.

Oma Lidia tersenyum dan menoleh pada cucu-cucunya.

"Menurut kalian, apa yang terjadi?" Bukannya menjawab pertanyaan, Oma Lidia malah melemparkan pertanyaan.

"Meninggal," celetuk Almira, dan mendapatkan cubitan dari Aluna.

Oma Lidia menggeleng.

"Lalu, mereka bagaimana? Selamat?" Kini giliran Aluna yang kepo.

"Baiklah, Oma akan melanjutkan bercerita." Kata Oma Lidia, Almira, Aluna, Hasan dan Raka menyimak dengan serius.

Mereka berempat duduk lesehan di karpet bulu, sedangkan sang Oma. Duduk di kursi sofa yang berada di ruangan tersebut.

****

Beberapa menit kemudian, para warga sudah sampai di dekat hutan. Mereka terus meneriaki nama Wisnu dan juga Saka, sambil memukul-mukul alat yang mereka bawa, ada yang membawa baskom, wajan, pentungan dan sebagainya.

Agar Wisnu dan Saka kembali, jika mereka sudah diberi jubah oleh makhluk tersebut. Maka, bisa di pastikan Wisnu dan Saka tidak akan kembali ke alam manusia.

Pencarian yang memakan waktu lumayan lama. Namun, tak ada tanda-tanda Saka dan Wisnu.

Sementara itu, di sisi lain. Saka dan Wisnu sudah kelelahan mereka tertidur di pohon besar.

Tak tahu saja, di belakang mereka ada sosok yang menyeramkan. Sosok tersebut sedang membelai rambut Wisnu dan Saka.

"Tidurlah, tidurlah anakku." Ucapnya dengan suara yang menyeramkan, lalu tertawa dengan melengking membuat siapa saja merinding.

Sosok tersebut menyanyikan lagu bahasa jawa, yang tak di mengerti sama sekali. Tapi ... Saka dan Wisnu merasa, mereka tertidur di rumah mereka.

Di mimpi mereka, mereka tengah dipeluk oleh sang ibu.

"Pelukan ibu, selalu membuatku nyaman." Gumam Wisnu.

"Wisnu."

"Saka."

Panggil para warga bersahutan, dengan suara pukulan yang dibuat oleh warga.

"Malam semakin larut, sebaiknya kita pulang saja. Dan meneruskan pencarian besok," ujar pak Rt.

"Tapi pak, anak saya belum ketemu." Kata ayah Wisnu dan Saka.

"Tapi hari semakin malam, dan berbahaya. Kita lanjut saja pencarian besok pak, kita minta tolong pak ustadz nanti." Papar pak Rt.

"Iya benar," seru para warga, mereka juga sudah lelah mencari kesana kemarin. Namun, tak ada hasilnya.

Pasrah akhirnya, ayah Saka dan Wisnu pun menghentikan pencarian. Dan kembali ke rumah, istri-istri mereka terus berdoa meminta perlindungan pada Tuhan.

Waktu bergulir begitu cepat, sudah dua hari Wisnu dan Saka belum ditemukan. Ustad yang membantu pun sedang berusaha, sampai pada akhirnya ibu Wisnu dan Saka yang turun tangan.

"Nak, kembalilah. Ini ibu," lirih ibunya Wisnu.

"Saka, ibu janji gak akan marah-marah lagi. Pulanglah nak!"

Ibunya Wisnu dan ibunya Saka terus menangis di depan pohon bambu, berharap sang anak kembali. Belum sampai di jadikan dari bagian mereka.

"Maafkan kami, jangan ganggu anak-anak kami. Mereka tidak salah," celetuk pak Ustad.

Membuat warga menunduk, mengingat saat mereka menuduh janda yang tak memiliki anak. Dengan keji mereka menyiksa janda tersebut, karena dituduh menyembunyikan anak laki-laki kampung mereka. Padahal pada kenyataannya anak tersebut ketiduran, di kolong kasur rumahnya.

Nasi sudah menjadi bubur, janda tersebut meninggal karena pukulan keras yang menghantam kepalanya. Para warga pun, menguburkan janda tersebut dengan layak.

Pak ustad melantunkan adzan, selang sepuluh menit kemudian. Suara teriakan Saka dan Wisnu terdengar dari arah belakang.

"Wisnu, Saka." Jerit ibu mereka.

Wisnu dan Saka, langsung memeluk ibu mereka dengan erat. Mereka menangis histeris.

"Syukurlah, kalian tidak apa-apa." Ucap sang ibu, mengusap wajah sang anak.

Mereka lupa kejadian sebelumnya, setelah itu warga pun mengadakan doa bersama di masjid dan mendoakan si janda agar arwahnya tak gentayangan.

Jalan menuju sungai dekat pohon bambu pun ditutup, mereka harus memutar lebih dulu. Walau perjalanan mereka menjadi jauh, kini tak ada anak-anak yang keluar magrib atau pulang setelah magrib.

***

"Jadi, sebelum magrib kalian haru sampai rumah." Pesan Oma Lidia, setelah selesai bercerita.

Aluna, Almira, Hasan dan Raka pun mengangguk sebagai jawaban.

"Apakah, Wisnu dan Saka. Warga sini Oma?" tanya Raka.

"Entahlah, mungkin bisa jadi." Jawab Oma Lidia ambigu.

"Sudah sekarang waktunya tidur, sudah malam." Oma Lidia melirik jam di dinding, sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.

"Baik, Oma." Jawab mereka kompak.

"Ingat jangan buka jendela." Pesan Oma Lidia, sebelum keluar kamar.

"Iya." Seru mereka tertawa.

Setelah kepergian Oma Lidia, Aluna dan Almira naik ke atas kasur. Sementara kedua lelaki masih asik dengan aktivitasnya masing-masing.

"Kalian, mau tidur disini?" tanya Almira, menatap Hasan dan Raka.

Raka memandang Hasan, meminta keputusan. Ada baiknya mereka tidur berempat saja, perempuan di atas lelaki di bawah.

"Iya."

"Engga."

Jawaban Hasan dan Raka yang berbeda, membuat Almira dan Aluna bingung.

"Jadi ... Kalian mau tidur,diman?" tanya Aluna.

"Disini," putus Raka dengan tegas.

"Kenapa?" tanya Hasan.

"Gak apa-apa, biar gak sepi aja." Jawab Raka asal, Hasan menggeleng.

"Aku akan tetap tidur di kamar," ujar Hasan, Raka pun mengalah dan akan tidur dengan Hasan.

Almira dan Aluna pun tertawa, lalu mengusir para lelaki untuk keluar kamar. Karena, mereka akan bersiap untuk tidur.

Malam itu, malam yang sangat sunyi bahkan suara binatang malam pun tak ada. Seolah alam, sedang memberi pertanda tentang akan terjadinya sesuatu.

Pagi pun menyapa, matahari sudah menunjukan sinarnya. Pagi yang cerah dan udara yang sejuk, cocok untuk lari pagi di sekitaran kampung.

"Anak-anak, belum pulang bu?" tanya Vita.

"Belum, mereka senang kali keliling kampung. Apalagi ada pasar pagi," kata Oma Lidia. "sudahlah, mereka bersama Bagas. Jangan khawatir."

"Iya bu." Sahut Vita.

Vita melanjutkan membuat sarapan, bersama Nisa. Sedangkan Oma Lidia, duduk di teras rumahnya memperhatikan tanaman yang ditanam tumbuh subur di halaman rumahnya, sambil menikmati udara pagi.

Tak lama suara Aluna dan Almira yang tertawa, mampu di dengan Oma Lidia. Di belakang mereka para lelaki berjalan mengikuti para gadis, layaknya seorang bodyguard. Namun, Oma Lidia memicingkan matanya saat dari kejauhan di lihat ada yang ikut bersama dengan anaknya, Bagas di belakang.

bersambung...

Maaf typo 🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!