Dengan tangan berlumuran darah Mawar menekan tombol 911 dan ketika terdengar suara dari telpon itu, handphone di rampas oleh Roy yang langsung mematikan telepon itu.
"Apa yang kau lakukan!!" teriak Mawar. "Kembalikan telepon itu, aku harus menelpon ambulance, aku harus menolongnya!!."
"Tidak ada ambulance untuk siapapun! Biarkan mereka mati disini."
Mawar menurunkan kepala Levin dan mendekati kaki Roy.
"Jangan biarkan dia mati, aku mohon jangan biarkan dia mati." Mawar memohon.
"Kau sudah berhasil membunuh dua pria kuat ini, jadi tidak masalah bila pria lemah seperti dia di biarkan mati." Roy berbicara dengan sangat tenang.
Mawar menggelengkan kepala nya. "Aku mohon selamatkan dia Roy, aku mohon. Aku memohon padamu Roy tolong selamatkan dia, jangan biarkan dia mati aku mohon Roy." Mawar menurunkan kepalanya di kaki Roy.
"Apa untungnya bagi saya menolongnya." Roy mensejajarkan tubuhnya dengan Mawar dan mengangkat wajah Mawar dari kakinya.
"Aku akan membunuh siapapun yang kau perintahkan, aku akan menjadi pembunuh handal dan menuruti semua perintahmu. Aku mohon selamatkan dia Roy. Aku mohon." Mawar menyatukan kedua tangannya agar Roy mengikuti permohonan.
"Apa perkataan mu ini bisa saya pegang?." Mawar mengangguk meyakinkan Roy. "Baiklah masuk kedalam mobil dan pulanglah."
Roy memberikan pisau yang tadi di gunakan Mawar. "Bawa ini bersamamu."
Sebelum Mawar pergi ia melihat nafas Levin yang begitu lemah.
"Pastikan dia selamat, agar aku bisa menepati semua perkataanku."
****
Sudah lebih dari 1 bulan Levin tak membuka matanya dan tubuhnya terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Selama itu juga Mawar tidak pergi ke sekolah, ia terus berlatih dan mengasah kemampuannya untuk menepati janjinya pada Roy.
Mawar menunggu seseorang yang akan memberinya instruksi untuk menyelesaikan transaksi Roy dengan kliennya di taman kota. Tanpa sengaja Mawar melihat sepasang kekasih tengah mengambil foto bersama yang langsung mengingatkannya terhadap Levin, Mawar langsung mengalihkan perhatiannya agar rasa bersalah tidak menguasai dirinya.
"Meja 3 di cafe leci." Suara itu membuat Mawar bangkit dari duduknya.
Mawar menghentikan langkahnya ketika melihat cafe leci yang ia tuju adalah cafe yang pernah ia kunjungi dengan Levin, Mawar menggelengkan kepalanya dan melanjutkan tugasnya.
****
Setelah memberikan kresek berisikan amplop cokelat penuh dengan uang pada Roy Mawar masuk kedalam kamarnya. Mawar mengambil handphone yang ada di laci sebelum menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, menaruh foto dirinya bersama Levin di dada dan membiarkan pikirannya memutar kebersamaan nya bersama Levin, kenangan itu di iringi air mata yang mengalir dan senyuman pahit terlukis di wajahnya.
Matahari yang belum menunjukan sinarnya tidak menghentikan Mawar untuk berolahraga, saat ia akan pergi matanya terus tertuju pada handphone yang terbaring di kasur, tanpa pikir panjang Mawar memasukan handphone itu kedalam saku celananya.
matahari sudah berada di titik tertingginya, Mawar keluar dari mini market setelah membeli makanan dan minuman untuk mengisi kembali tenaganya. Mawar berjalan menyusuri toko toko yang berjejer, matanya menilik setiap toko yang ia lewati sampai langkahnya terhenti di studio foto. Terlintas di kepalanya untuk mencetak fotonya bersama Levin sebelum handphone nya di ambil oleh Roy, Mawar pun masuk kedalam studio dan meminta untuk di cetakan fotonya bersama Levin berukuran dengan nota kecil yang sering ia bawa.
setelah selesai mencetak foto Mawar hendak memasukan handphonenya kedalam saku namun ada seseorang yang menabraknya hingga handphone itu terjatuh dan terinjak.
"Maaf, maaf." Orang asing itu mengambil handphone Mawar. "Maaf saya tidak sengaja. Saya akan menganti rugi -"
"Tidak perlu, saya bisa membenarkan nya sendiri." Setelah mengambil handphonenya Mawar pergi begitu saja.
Saat ini Mawar tidak ingin memiliki urusan dengan siapapun walau sebentar. Mawar masuk ke toko reservasi handphone dan menunggu handphone itu diperbaiki.
"Maaf, apa boleh saya mengunakan telepon anda untuk menelpon?" Pegawai toko itu meminta ijin.
"Menelpon siapa?." Mawar terdengar ketus.
"Kontak yang ada di handphone ini."
"Tidak ada kontak yang bisa di hubungi."
"Kalau begitu saya akan mencoba ke call center kami saja." ujar pegawai.
Ketika mencoba menelpon pegawai itu mengerutkan dahinya, Mawar yang melihat itu langsung bertanya.
"Handphone itu tidak bisa menelpon?"
"Tidak, handphonenya masih bisa untuk menelpon. Tapi sepertinya handphone anda sedang di lacak." Pegawai itu menjelaskan.
"Di lacak?!." Mawar terkejut.
Mawar sangat ingat hari itu Roy memaksa dirinya untuk membawa handphone ini.
"Sejak kapan handphone ini di lacak?." Mawar merasakan kemarahan dalam dirinya.
"Maaf kami tidak bisa mengeceknya."
"Baiklah, terima kasih." Mawar mengambil handphone itu dan memberikan uang sebelum ia pergi meninggalkan toko.
Mawar membuka pintu dengan kasar dan berjalan mendekati Roy yang tengah meminum kopi di ruang tamu, Mawar langsung melemparkan handphone itu ke tubuh Roy.
"kau melacak ku!! kau yang merencanakan semua itu!! kenapa kau melibatkan dia!!!" Teriak Mawar dengan penuh amarah.
Dengan tenang Roy menyimpan cangkir kopi yang ada di tangannya.
"Karena dia kelemahanmu." Jawab Roy dengan tenang. "Tanpa dia kau tidak bisa membunuh 2 orang itu."
Mawar mengepalkan kedua tangannya.
"Dengarkan saya Mawar, kau sudah berjanji akan menjadi pembunuh bayaran untukku, tapi kau tidak mau membunuh, kau merasa kasihan pada targetmu. Tapi lihat sekarang kau sudah berhasil membunuh 2 orang karna teman.. ah bukan teman tapi kekasih mu. dan aku ingin kau menjadi pembunuh yang handal dengan memanfaatkanya."
"Aku tidak akan membiarkan mu memanfaatkanya." Mawar berjalan ke arah dapur dan mengambil sebuah pisau dan menaruh di lehernya.
Roy bangkit dari duduknya. "Apa yang kau lakukan?!!." Teriak Roy.
"Aku tidak akan membiarkanmu memanfaatkanya. Aku lebih baik mati dari pada membiarkan manusia seperti mu memanfaatkanya." Mawar menggerakkan pisau itu ke pelipis lehernya yang langsung di tahan oleh Roy.
Roy mengunakan tenaganya untuk melepaskan pisau di tangan Mawar dan menampar Mawar hingga tubuh kecil itu terjatuh di lantai.
"Kau pikir dengan kau mati dia akan tetap hidup." Roy menurunkan tubuhnya, dan mengangkat dagu Mawar untuk melihat ke arahnya. "Kalau kau mati, dia juga akan mati! Apa kau ingin dia mati bersamamu?! Atau melihatnya hidup sebagai kelemahanmu? Mana yang akan kau pilih?." Roy menunjukan pisau yang ada di tangannya.
Mawar mengambil pisau itu dan mendorong Roy hingga ia berada di bawah tubuhnya.
"Kau ingin membunuh saya? Silahkan saja." Roy mempersilahkan. "Sebagai imbalannya kau tidak akan pernah tau siapa pembunuh orang tuamu." Tekad Mawar untuk membunuh Roy langsung runtuh ketika mendengar itu.
Mawar menurunkan tangannya tubuh nya sudah tidak bertenaga karena ucapan Roy yang menamparnya.
Roy menjauhkan tubuh mawar darinya, "Manusia seperti kita tidak pantas menerima cinta Mawar." Roy beranjak dari duduknya meninggalkan Mawar sendiri di rumah.
Mawar melempar pisau dan menjerit sekencang mungkin dan menangis sekuat tenaganya.
****
Banyak orang berlalu lalang di rumah sakit di mana Levin di rawat, Mawar melihat beberapa bodyguard yang menjaga di depan kamar Levin. Sebelum melanjutkan langkahnya Mawar menarik nafas dalam.
"Kamu mau kemana?." Mawar di hadang oleh salah satu bodyguard.
"Saya temanya Levin, saya ingin mendoakan dan berpamitan padanya sebelum saya pergi meninggalkan kota ini." Jawab Mawar.
"Baiklah, silahkan masuk."
Setelah pintu tertutup, mata Mawar terasa panas ketika melihat levin yang berbaring di ranjang dengan alat bantu yang menempel di tubuhnya.
air mata mulai berjatuhan mengikuti setiap langkah kaki Mawar yang mendekati Levin, Mawar duduk di samping ranjang.
"Hai." Suara Mawar bergetar.
Mawar tidak bisa lagi membendung tangisannya tangannya yang bergetar berhasil meraih lengan Levin.
"Maafkan aku.. maafkan aku.. maafkan aku." Mawar menangis tersedu sedu.
tangisan Mawar terdengar ke luar ruangan, yang membuat bodyguard bergerak menjauh dari depan kamar untuk memberikan ruang pada Mawar.
Setelah tangisan nya mereda, dan Mawar bisa kembali mengendalikan dirinya, ia mulai menyentuh pipi Levin.
"Bangunlah, hiduplah seperti sebelum kau mengenalku, lupakan aku! Kau harus hidup bahagia." Mawar kembali menangis. "aku mohon dengarkan aku Levin, bangun dan jalani hidupmu dengan bahagia. Aku mohon padamu." Mawar kembali menangis di samping Levin.
****
12 tahun kemudian.
Suasana kantor terlihat berantakan, dengan tumpukan dokumen dokumen di setiap meja, dan ini adalah pemandangan sehari hari Levin yang bekerja sebagai salah satu polisi badan reserse kriminal. Levin tengah duduk di ruang rapat bersama para atasan nya, Levin memiliki prestasi tinggi daripada teman temanya, kasus pembunuhan yang Levin atasi selalu terpecahkan dan selesai dengan sangat baik, karena kinerjanya itulah para atasan meminta kesediaan Levin untuk dipindah tugaskan ke ibu kota untuk mengatasi pembunuhan yang belum terpecahkan disana. Selain pemindahan nya Levin juga akan di tunjuk menjadi kapten dalam kasus pembunuhan yang terjadi di ibu kota, Levin meminta waktu untuk berpikir sebelum ia memutuskan mengambil kesempatan ini atau tidak.
Levin kembali ke mejanya dan menyalakan komputer, ia kembali membuka kasus yang terjadi padanya 12 tahun lalu, dimana 2 pria yang menghajarnya tidak pernah di temukan keberadaanya, dan tidak ada pula jejak kemana dan bagaimana 2 orang itu bisa menghilang. Begitupun dengan Mawar.
Setelah kejadian itu Levin tidak pernah melihat Mawar lagi, ia hanya mendengar dari bodyguardnya kalau ada teman perempuan yang ingin berpamitan sebelum meninggalkan kota dan menangis selama berjam jam di samping tubuhnya dan Levin menyakini bahwa perempuan itu adalah Mawar. Dengan mengingat perkataan bodyguardnya Levin menyakinkan dirinya untuk mengambil kesempatan ini untuk mencari Mawar di ibu kota, dan setelah menemukan Mawar dia akan kembali kemari dan mencari 2 pria yang menghilang itu.
****
sudah satu minggu Levin berada di ibu kota, ia tidak sempat mencari keberadaan Mawar karena pekerjaan nya yang langsung menumpuk, dokumen dokumen kasus pembunuhan yang belum terpecahkan menenggelamkan pikiran Levin.
Konsentrasi Levin yang tenggelam di dokumen mulai terganggu oleh handphonenya yang terus berbunyi, Levin langsung mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Hallo."
"Hallo," Terdengar suara wanita paruh baya di sebrang telepon. "Bagaimana kabar mu?."
"Kabar ku baik baik saja bu." Jawab levin seraya mengistirahatkan tubuhnya.
"Ibu dengar kau sudah di pindahkan ke ibukota, tapi kenapa kau tidak menemui ibu."
"Maaf bu, pekerjaan ku sudah menumpuk, banyak kasus yang belum terselesaikan."
"Apa kasus lebih penting daripada ibu?." terdengar suara ibunya memelas.
"Setelah aku membereskan dokumen ini aku akan menemui ibu."
"Baiklah ibu tunggu." Ibu menutup teleponnya.
Levin sedikit lega karna memiliki alasan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya.
Di perjalanannya menuju rumah ibunya, Levin tidak sengaja melihat toko bunga dan ia berinisiatif untuk membelikan bunga untuk ibunya.
Levin menepikan mobilnya dan turun untuk membeli bunga kesukaan ibunya, Levin sudah memilih bunga dan saat hendak membayar.
"Permisi, saya ingi membeli bunga ini."
"Ohya tunggu sebentar." Ujar penjaga toko.
Levin tertegun melihat si wanita penjaga toko.
"Mawar."
To be contiuned ~~
Ditunggu kritik dan sarannya. ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments