Permintaan Maaf

Di hari pertama skorsnya, Farhan merasa seperti terkurung di dalam rumahnya sendiri. Ia merasa kesepian dan bingung, bagaimana ia harus menghadapi masalah ini. Ia pun memutuskan untuk menghabiskan hari dengan berdiam diri di kamar, merenung.

Sementara itu, Aisyah merasa gelisah. Dia tahu Farhan sedang kesulitan dan dia ingin membantu, tapi dia tidak yakin bagaimana caranya. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk menjenguk Farhan di rumahnya.

"Aisyah?" Farhan terkejut ketika melihat Aisyah berdiri di depan rumahnya. "Apa kamu datang ke sini untuk..."

"Aku ingin berbicara, Farhan," potong Aisyah, wajahnya serius. "Kita perlu menyelesaikan masalah ini."

Farhan menatap Aisyah, ragu-ragu. Namun, melihat ekspresi serius Aisyah, dia memutuskan untuk mengizinkannya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, berhadapan satu sama lain dengan suasana yang tegang.

"Aisyah, aku..." Farhan memulai, namun Aisyah segera memotongnya.

"Biarkan aku bicara dulu, Farhan," katanya. "Aku tahu kamu marah karena apa yang terjadi di sekolah. Dan aku mengerti kenapa kamu merasa seperti itu. Tapi, Farhan, kamu harus tahu bahwa tidak ada yang terjadi antara aku dan Satria. Dia hanya menyatakan perasaannya, dan aku... aku belum memberikan jawaban apa pun."

Farhan tampak terkejut, "Jadi, apa kamu berpikir untuk menerimanya?"

Aisyah tampak ragu sejenak, lalu menatap Farhan dengan tajam. "Tidak, Farhan. Aku mencintaimu. Hanya kamu. Dan itu tidak akan berubah hanya karena ada orang lain yang menyatakan perasaannya padaku."

Farhan tampak lega mendengar jawaban Aisyah. Namun, ada bagian lain dari dirinya yang masih merasa cemas. "Tapi, Aisyah..."

"Farhan, aku tahu kamu cemburu. Dan itu normal," potong Aisyah. "Tapi kamu harus percaya padaku. Aku mencintaimu, dan itu tidak akan berubah."

Farhan tampak terharu mendengar kata-kata Aisyah. Dia merasa lega, dan sekaligus bersalah. "Aku minta maaf, Aisyah. Aku tidak seharusnya meragukanmu."

Aisyah tersenyum, lalu menggenggam tangan Farhan. "Tidak apa-apa, Farhan. Yang penting kita saling percaya dan komunikasi satu sama lain. Jangan biarkan orang lain menghancurkan apa yang sudah kita bangun bersama."

Farhan mengangguk, tersenyum melihat Aisyah. "Terima kasih, Aisyah. Kamu benar. Aku akan berusaha lebih percaya padamu dan tidak membiarkan cemburu mengendalikan diriku."

Aisyah menatap Farhan, mencermati wajahnya. "Farhan, apakah kamu sudah makan?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. "Tampaknya rumah ini sangat sepi."

Farhan menggeleng, wajahnya tampak sedikit pucat. "Aku belum punya nafsu makan, Aisyah."

Mendengar itu, Aisyah tampak lebih khawatir. "Kamu harus makan, Farhan. Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh lupa merawat dirimu sendiri."

Farhan menatap Aisyah dan menggeleng, "Aku tidak lapar, Syah."

Aisyah meremas roknya, tampak tidak nyaman. "Farhan, kau harus makan. Kau harus menjaga kesehatanmu," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu khawatir, Syah. Aku baik-baik saja," ujar Farhan mencoba meyakinkan.

Aisyah memandang Farhan, kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan menuju dapur. Beberapa menit kemudian, dia kembali membawa piring berisi nasi goreng buatannya. "Kau harus makan, Farhan," katanya dengan nada yang tidak bisa ditolak.

Farhan menatap piring di depannya, lalu menatap Aisyah. Dia bisa melihat kekhawatiran di mata Aisyah, dan dia tahu dia tidak bisa terus menolak. "Baiklah," katanya akhirnya, mengambil sendok dan mulai makan.

Ketika Farhan mencicipi nasi goreng buatan Aisyah, seketika rasa dan aroma itu membawa kembali kenangan. Rasanya mirip dengan nasi goreng buatan ibunya, yang sudah lama tidak dia rasakan sejak ibunya meninggal.

Dia terdiam sejenak, mengunyah perlahan sambil menahan getaran di bibirnya. Rasa nasi goreng itu begitu lezat, tapi juga begitu memilukan, karena membawa kenangan tentang ibunya.

Aisyah yang menatap Farhan, melihat ada yang berubah dari ekspresi Farhan. Dia bertanya-tanya, apa yang membuat Farhan tampak sedih tiba-tiba.

"Farhan, apa... apa ada yang salah?" tanya Aisyah dengan hati-hati.

Farhan menelan nasi gorengnya, lalu menatap Aisyah dengan mata berkaca-kaca. "Rasanya... Rasanya seperti masakan ibuku, Aisyah," jawab Farhan dengan suara serak.

Aisyah merasa hatinya bergetar mendengar itu. Dia tahu bahwa ibu Farhan telah meninggal beberapa tahun lalu, dan dia tahu betapa besar rasa rindu Farhan pada ibunya.

Dia meraih tangan Farhan, memberikan tekanan lembut. "Aku yakin ibumu bangga padamu, Farhan. Dia pasti bahagia melihat kamu sekarang, menjadi pria yang kuat dan baik."

Mendengar kata-kata itu, air mata Farhan akhirnya jatuh. Dia merasakan rasa hangat menyebar di dadanya, sebuah penghiburan bahwa meski ibunya sudah tidak ada di sisi, dia masih dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan memahaminya.

"Aduh, Far. Jangan nangis dong, kasihan nasi gorengku," celetuk Aisyah, mencoba mengalihkan suasana dengan humor.

Farhan mendengus, tersenyum sedikit melihat usaha Aisyah menghiburnya. "Maafkan aku, nasi goreng. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih."

Aisyah tertawa, melepaskan ketegangan di udara. "Itu dia! Senyumnya Farhan yang biasanya. Jangan dibuat hilang lagi ya."

Farhan tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki Aisyah di sampingnya. "Aku beruntung punya kamu, Aisyah."

"Sama. Aku juga beruntung punya kamu, Far," jawab Aisyah, menatap Farhan dengan penuh kasih.

----

Pada hari berikutnya di kampus, Satria merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada kekosongan yang tidak biasa, dan dia tahu itu karena absennya Farhan. Dia menyadari bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk mendekati Aisyah.

Dengan langkah yang mantap, Satria mendekati Aisyah yang sedang duduk di taman sekolah, tampak tenggelam dalam pikirannya. "Hei, Aisyah," sapa Satria, mencoba terdengar sebisa mungkin santai.

Aisyah menoleh, tampak sedikit terkejut melihat Satria. "Oh, hei Satria. Ada apa?"

Satria duduk di samping Aisyah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin menanyakan kabar Farhan. Apa dia baik-baik saja?"

Aisyah tampak sedikit ragu sebelum menjawab, "Ya, dia baik-baik saja. Dia hanya perlu waktu untuk sendiri."

Mendengar itu, Satria merasa lega. Dia tidak ingin ada sesuatu yang terjadi pada Farhan, terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka. "Itu bagus. Beri tahu dia bahwa aku minta maaf ya, tentang apa yang telah terjadi."

Aisyah mengangguk, "Aku akan beri tahu dia. Terima kasih, Satria."

"Oh ya, sebagai permintaan maaf ku. Maukah kamu makan di kantin bersamaku?"

"Baiklah, tapi dengan satu syarat," Aisyah mengatakan, matanya bertemu dengan milik Satria. "Kamu juga harus mengajak Nisa. Aku tidak mau ada kesalahpahaman lagi."

Satria mengangguk, menyetujui syarat Aisyah. "Tentu, itu bukan masalah. Aku akan mengajak Nisa juga."

Satria, Aisyah, dan Nisa kemudian berjalan menuju kantin bersama. Sepanjang jalan, mereka berbincang santai, mencoba untuk menjaga suasana tetap ringan. Di kantin, Satria membeli makanan untuk mereka berdua dan mereka duduk bersama di salah satu meja.

Meskipun awalnya suasana agak canggung, mereka segera mulai berbincang dan tertawa bersama. Satria berusaha keras untuk membuat suasana nyaman dan menunjukkan bahwa dia tulus ingin meminta maaf dan memperbaiki hubungannya dengan Farhan dan Aisyah.

Setelah makan siang, Satria, Aisyah, dan Nisa kembali ke kelas mereka, merasa lebih lega dan positif. Mereka berharap bahwa ini adalah langkah pertama untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengatasi masalah yang telah terjadi.

---

Malam itu, Farhan mendapat telepon dari Rafi, temannya yang juga suka balap liar. "Far, kami akan mengadakan balapan malam ini. Kamu mau datang?" tanya Rafi, suaranya tampak bersemangat.

Farhan menghela nafas, ragu. Dia tahu balapan liar itu berbahaya, dan dia tidak ingin mencari masalah lagi. "Aku tidak tahu, Raf," jawab Farhan. "Aku sudah cukup masalah minggu ini."

Rafi tertawa, "Oh, datanglah, Far. Kamu tidak perlu ikut balapan. Cukup datang dan nikmati pertunjukannya. Lagipula, kamu pasti butuh sedikit distraksi."

Farhan berpikir sejenak. Memang, dia membutuhkan sedikit hiburan. Dan mungkin sedikit udara segar dan suasana yang berbeda bisa membantu memperbaiki moodnya. "Baiklah," kata Farhan akhirnya. "Aku akan datang. Tapi aku tidak akan ikut balapan."

Rafi bersorak di seberang telepon, "Bagus! Sampai jumpa nanti, Far!"

Malam itu, Farhan pergi ke tempat balapan. Dia berdiri di tepi jalan, menonton teman-temannya berlomba. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia hanya akan menonton malam itu, tetapi suasana dan adrenalin yang mengisi udara membuatnya merindukan hari-harinya di jalur balap.

Tiba-tiba, suara tawa keras dan ejekan memotong melalui keramaian. Farhan menoleh dan melihat geng motor yang selalu mereka jadikan rival berdiri di sisi lain jalan, olok-olok mereka terarah pada teman-teman Farhan.

"Ha! Lihat mereka, berusaha keras namun tidak ada hasilnya!" teriak pemimpin geng itu, membuat gengnya tertawa.

"Sepertinya mereka benar-benar membutuhkanmu, Farhan," ucap salah satu dari mereka, senyum licik menghiasi wajahnya.

Farhan merasakan amarah membara dalam dadanya. Mereka adalah teman-temannya, dan tidak peduli seberapa keras dia mencoba menjauh dari dunia balap motor, dia tidak bisa membiarkan mereka dihina seperti itu.

"Kau tahu apa? Kau semua tidak ada apa-apanya!" bentak Farhan, matanya menatap tajam pada geng musuh tersebut. Dia tidak perduli dengan konsekuensi, yang dia tahu hanyalah teman-temannya butuh bantuan dan dia tidak akan tinggal diam.

"Farhan, kamu tidak harus melakukan ini," protes Rafi, melihat Farhan menghampiri motornya. "Kamu sudah berjanji tidak akan terlibat lagi dalam balap motor."

"Tapi mereka menyerang kita, Raf," sahut Farhan, matanya masih memandang motor Rafi. "Aku tidak bisa hanya berdiri di sini dan tidak melakukan apa-apa."

Rafi tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan memberikan kunci motor pada Farhan. "Baiklah, tapi berhati-hatilah, Farhan. Jangan lupa apa yang telah kamu janjikan kepada Ayahmu."

Farhan mengangguk, menatap Rafi dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Rafi. Aku berjanji akan berhati-hati."

Dengan kunci motor di tangan, Farhan berjalan kembali ke tengah kerumunan, kali ini dengan tujuan yang jelas. Dia akan melawan balik.

Satria, yang ternyata adalah ketua geng lawan, terkejut melihat Farhan mendekat dengan helm di tangan. "Apa kamu mau ikut balapan, Farhan?" tanya Satria, tampak skeptis.

Farhan memasang helm dan memandang Satria, matanya berkilauan dengan determinasi. "Ya, Satria. Aku akan balapan. Dan aku akan menang."

Satria tampak terkejut sejenak sebelum akhirnya tersenyum sinis. "Baiklah, Farhan. Mari kita lihat seberapa jauh kamu bisa pergi."

Mereka berdua naik ke motornya, mesin menderu saat mereka bersiap untuk memulai. Kerumunan semakin menjadi-jadi, penonton menunggu dengan napas yang ditahan.

Dan dengan sekali pacu gas, mereka memulai balapannya, meninggalkan kerumunan di belakang dalam awan debu dan asap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!