"Lo ada nomor gue 'kan? Kalau udah beres, langsung telepon gue aja. Nanti gue jemput." Alaska berucap lembut, tepat ketika keduanya telah sampai di depan rumah Sharon.
Sharon menatap segan pada Alaska. Otaknya lagi-lagi memikirkan kejadian kemarin malam yang sialnya begitu rinci, tak ada yang terlupakan.
Sial! Selama ini yang dibilang di drakor ternyata bohongan! Mana ada langsung amnesia setelah minum? Yang ada gue inget semua. Gerutu Sharon dalam hati.
"Shar?" Sahutan Alaska, sontak menyadarkan Sharon. Dengan cepat perempuan itu mengangguk. "Oke. Em, hati-hati!"
Alaska mengangguk disertai salah satu tangannya yang dia angkat membentuk huruf O dengan tiga jari sisanya menghadap ke atas.
Setelahnya, Alaska melenggang memasuki mobilnya. Lewat jendela mobil yang terbuka, Alaska melambaikan tangannya kaku pada Sharon. Bingung. Iya, tentu saja.
Setelah malam panas kemarin dan makan bersama kedua keluarga tadi siang, tidak mungkin Alaska tidak gugup?
Haha. Hidup itu lucu, kawan! Pacaran sama siapa, yang mau nikah siapa, yang jadi nikah siapa.
...****...
"Sharon!" Belum sempat Sharon membuka pintu kamarnya, salah satu lengannya tiba-tiba dicekal oleh seseorang. Ketika menoleh, kedua alis Sharon langsung mengerut tak suka. Dengan cepat Sharon menepis kasar tangan itu yang tak lain ialah tangan kakaknya, Sherly.
"Siapa, ya? Oh! Cewek yang kemaren kabur di acara pernikahan yang digantiin sama adiknya itu, ya? Ada masalah apa, tumben hari ini nampakkin diri?" Sharon bertanya ketus, membuat Sherly menunduk tak enak hati.
"Sharon, Kakak minta maaf! Denger-denger kamu malah nikah sama Alaska? Gimana? Sekarang kalian jadi cerai?"
Sharon menaikkan salah satu alisnya sembari melipat kedua tangan di depan dada. "Maksudnya? Kakak doain aku sama Alaska cerai, gitu? Kakak pikir aku sama kayak Kakak? Sekalipun ini pernikahan yang gak pernah diinginkan, aku juga gak bisa seenaknya. Udah, ya, aku mau beres-beres. Bentar lagi Alaska mau jemput."
Ketika Sharon mulai melenggang masuk kamar dan menutup pintu, air mata Sherly luruh saat itu juga. Tubuhnya merosot ke lantai dengan punggung yang disandarkan di daun pintu.
"Kakak minta maaf, Shar! Kakak udah egois dan malah nempatin kamu disituasi kayak gini. Kamu berhak benci sama Kakak, tapi tolong, dengerin penjelasan Kakak!" Di balik pintu yang lain, tepatnya di dalam kamar, Sharon ikut menitikkan air matanya. Ucapan parau dari Sherly sudah cukup menjelaskan, bahwa dia melakukan hal itu juga terpaksa.
Sayangnya, Sharon terlanjur terbawa emosi. Dia tidak ingin mendengar alasan apa pun dari mulut kakaknya. Sekadar melirik pun rasanya Sharon sudah enggan.
"Mendingan Kakak pergi, jangan duduk ngalangin pintu! Aku capek, mau istirahat!"
...****...
Sesampainya di rumah, Alaska langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Sepasang matanya terpejam untuk beberapa saat, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang sepertinya akan terjadi dalam waktu dekat ini.
"Udah pulang, Al?" Kedua mata Alaska langsung terbuka mendengar panggilan halus dari Sevia, mamanya. Dengan cepat Alaska mengubah posisi menjadi duduk biasa.
Tanpa berniat membalas secara lisan, Alaska tersenyum simpul dengan wajahnya yang perlahan menunduk. Terlihat jelas jika putra bungsunya ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Lagi. Sevia merasa bersalah atas keputusannya untuk menikahkan Alaska dan menggantikan Gibran. Padahal Sevia sendiri tahu, jika Alaska sudah memiliki kekasih. Sudah beberapa kali Sevia bertemu dengan pacarnya Alaska. Dan, dia tidak buruk. Hanya saja sifat pemarahnya cukup membuat Alaska menggila beberapa kali.
"Alaska! Mama ... minta maaf, ya! Mama udah egois. Mama cuma nggak enak sama Priska dan Rafinza." Sevia menunduk segan. Sedangkan Alaska, laki-laki itu hanya menghela napas pendek.
"Semua udah terlanjur, Mah. Em, oh, ya. Udah ada kabar dari Kak Gibran? Kata Sharon, Kak Sherly sekarang lagi ada di rumah." Alaska mencoba mengalihkan obrolan. Berharap mamanya tak lagi menyalahkan dirinya sendiri.
Mau disalahkan bagaimanapun juga percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Apalagi dengan adanya kejadian tadi malam bersama Sharon. Alaska jadi tidak memiliki alasan untuk cerai dengan Sharon.
"Papa lagi berusaha hubungin Kak Gibran dari kamarin. Cuman ... teleponnya gak aktif." Ujar Sevia, diakhiri menghela napas.
Saat Alaska hendak membalas, suara derap langkah kaki terburu-buru dari arah pintu utama, membuat perhatian Alaska terpecah. Ketika menoleh, amarah yang sedari kemarin Alaska pendam kembali mencuat.
Tanpa pikir panjang, Alaska berjalan tergesa-gesa menghampiri seseorang yang tak lain ialah Gibran. Raut wajahnya tampak datar namun penampilannya terkesan acak-acakan.
Persetan dengan hal itu. Alaska telah muak dengan tingkah kakaknya.
"Habis dari mana lo?" Alaska mencegah langkah Gibran yang hendak menaiki anak tangga tanpa memedulikan sekitar.
Tatapan kacau Gibran lalu berfokus pada Alaska yang menatapnya tajam seolah tengah menyatakan perang.
"Minggir!" Ketika Gibran hendak melewati Alaska, dengan kasar Alaska mendorong Gibran sampai dibuat mundur beberapa langkah.
"Apaan sih lo? Anak kecil mending minggir!" Lagi. Ketika Gibran hendak melanjutkan langkahnya, Alaska kembali mendorongnya. Tak berhenti di sana, satu bogeman mentah mendarat di pipi sebelah kiri Gibran.
Suasana mendadak suram apalagi ketika Sevia yang sedari tadi diam memerhatikan kedua putranya dari jauh mulai berteriak histeris. Beberapa asisten rumah tangga bahkan dibuat berkumpul, takut jika nyonya rumah mereka tengah dilanda kesulitan.
Nyatanya, mereka kembali membubarkan diri saat mengetahui bahwa kedua anak dari nyonya rumah merekalah yang tengah membuat keributan.
"APA-APAAN LO!?" Nada bicara Gibran terdengar meninggi. Salah satu pipinya terasa begitu panas dan sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Ketika Gibran hendak membalas perbuatan Alaska, pergerakan tubuhnya langsung ditahan oleh seseorang. Ketika menoleh dan hendak kembali melakukan perlawanan, sudut hatinya lantas menciut, menyadari bahwa orang yang tengah menahannya tak lain ialah papanya.
"Ingat pulang juga kamu? Kenapa nggak sekalian aja kamu gak usah kembali? Dasar anak gak tahu diuntung! Berani-beraninya membuat kami malu! Sekarang apa lagi, hah?" Kedua bola mata Gavindra menyorot nyalang. Tarikan napasnya berapi-api. Apalagi ketika menerima hasil penyelidikan anak buahnya tentang tingkah Gibran selama ini.
Terdengar decak sebal dari mulut Gibran. "Fine! Maaf! Udah, 'kan?" Ketika Gibran melenggang melewati Gavindra dan juga Alaska, Alaska sudah hendak kembali menghentikannya. Namun cengkraman kuat di salah satu bahunya oleh Gavindra, membuat Alaska mengurungkan niatnya.
"SEKALIPUN WANITA ITU HAMIL, PAPA NGGAK AKAN PERNAH MERESTUI HUBUNGAN KALIAN!" Ucapan dengan nada lantang itu membuat seluruh perhatian lantas beralih fokus pada Gavindra. Semuanya terkejut, tak terkecuali Gibran yang rahasianya dibongkar oleh papanya.
"Hamil? Siapa yang hamil?" Alaska menatap dalam-dalam raut wajah Gavindra lalu beralih pada Gibran yang tampak memaku di pertengahan tangga.
"Kamu sudah dewasa 'kan? Kamu juga selalu melakukan sesuatu yang kamu mau tanpa adanya campur tangan Papa. Kalau begitu mulai hari ini, Papa persilakan kamu untuk tidak menginjakkan kaki lagi di rumah ini."
...****...
Di depan sebuah pintu apartemen, Sharon menatap lekat-lekat punggung tegap Alaska yang tengah mencoba membukakan pintu. Sekelebat bayangan kemarin tiba-tiba memenuhi pikiran Sharon.
Ah, sial!
Apa lagi yang Sharon pikirkan?
"Yuk, masuk!" Ajakan Alaska seketika menyadarkan Sharon dari lamunannya. Kedua bola matanya terbelalak dengan wajah yang terasa memanas.
Alaska yang heran pun lantas menempelkan punggung tangannya di dahi Sharon. "Lo sakit? Merah banget muka lo."
"ENGGAK!" Sharon menepis cepat tangan Alaska seraya sedikit memundurkan langkahnya.
Tak ingin ambil pusing, Alaska mulai mengambil alih koper Sharon dan juga kopernya untuk dibawa masuk. Sesampainya di dalam, Sharon jadi semakin gugup. Batinnya terus bertanya, haruskah mereka mulai tinggal bersama sekarang?
"I-itu, biar gue aja!" Saat Sharon hendak mengambil alih kopernya, Alaska menghentikannya. "Gak usah, biar gue aja,"
"Kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, soalnya tujuannya 'kan sama. Taruh di kamar." Saat Alaska hendak melenggang, Sharon tiba-tiba mencegahnya. Raut wajahnya berubah kaku dan Alaska tahu apa maksudnya.
"Ki-kita ... tidur sekamar?"
Terdengar helaan napas berat dari Alaska. "Cuma ada satu kamar di sini. Jadi, mau nggak mau lo sama gue harus berbagi kamar."
"Ta-tapi ... ada kasur lain 'kan?"
"Hm, nggak tahu, ya. Apartemen ini sebenarnya buat Si Gibran sama Kakak lo. Jadi gue nggak tahu struktur persis di apartemen ini. Gue juga pertama kali ke sini."
Entah ini hanya firasat atau bukan, sedari tadi Alaska begitu santai pada Sharon. Seolah keduanya benar-benar pasangan pengantin baru pada umumnya. Tak ada sedikit pun raut kaku, gugup, dan semacamnya di wajah Alaska. Seolah-olah laki-laki itu sudah sering melakukannya.
"Kenapa lo lihatin gue?" Alaska menatap ngeri Sharon yang menatapnya tajam tanpa berkedip.
Sharon tak berniat membalas. Dengan cepat dia membuang muka seraya mendengus. "Nggak kenapa-kenapa. Em, kamarnya yang mana?"
"Tuh!" Tunjuk Alaska. Tanpa pikir panjang, Sharon berjalan lebih dulu dan membukakan pintu kamar.
Dan, tidak ada yang istimewa. Hanya saja kamar mereka terasa begitu luas. Entah karena memang masih kosong belum diisi dengan barang-barang pribadi.
"Alaska, lemari sebelah sini khusus baju gue, dan yang sebelah sini khusus baju lo. Oke?"
"Hm."
...****...
Alaska menghela napas berat selepas usai membereskan pakaiannya. Tak hanya itu, Alaska dan juga Sharon barusan dikirimi beberapa perabotan rumah tangga oleh kedua orang tua mereka.
Hari yang cukup melelahkan memang, sehingga Alaska memilih merebahkan tubuhnya di sofa panjang di depan televisi. Sementara Sharon, perempuan itu tengah sibuk mandi.
Namun, alasan kuat dibalik helaan napas Alaska bukan karena benar-benar lelah. Melainkan karena permasalahan di hidupnya yang harus segera dibereskan.
Ya, siapa lagi jika bukan pacarnya Alaska. Namanya, Alina. Usianya seumuran dengan Alaska. Saat ini Alina sedang sibuk berkuliah di Amerika. Bisa dibilang, Alaska menjalani LDR dengan Alina.
Padahal, dulu sekali Alaska pernah berjanji hanya akan menikahi Alina di masa depan. Tapi sepertinya semua ucapannya di masa lalu hanya akan menjadi ucapan belaka. Pada kenyataannya, Alaska malah menikah dengan perempuan lain.
"Gue harus bilang gimana, ya? Hubungan kita nggak pernah ada problem. Aneh banget kalau tiba-tiba gue minta putus. Lebih gila kalau bilang gue udah nikah sama cewek lain. Bisa-bisa dia ngamuk dan samperin gue ke sini." Alaska memijit pangkal hidungnya, bingung harus bagaimana.
"Em, Alaska!" Panggilan dari arah daun pintu kamar, mengalihkan atensi Alaska. Dengan cepat dia beranjak dari sofa lalu menoleh pada Sharon.
Sharon tersenyum simpul seraya berjalan menghampiri Alaska. Lewat gestur tangan, Sharon menyuruh Alaska untuk kembali duduk di sofa. Tanpa pikir panjang, Alaska pun kembali duduk di samping Sharon.
"Itu, ada yang mau gue omongin ke lo." Tak ingin terlalu lama berbasa-basi, Sharon mulai membuka suara.
Alaska menatap wajah Sharon dengan begitu serius. Laki-laki itu memilih tetap diam dan menunggu Sharon melanjutkan kalimatnya.
"Hm, lo gak perlu putusin pacar lo demi gue."
Saat itu juga, Alaska membelalakkan kedua bola matanya.
Tunggu! Maksudnya apa?
^^^To be continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Ghania-chan
yhaaa,,, udh ada pcr y alaska,,,,
2023-07-25
1
Ghania-chan
gpplah itung" berkah wqwq
2023-07-25
1
Istrinya Kim Mingyu
keknya bkln susah sih hmmm
2023-07-25
1