Keluarga Surti

Aku melihat Surti yang masih saja menangisi kepergian Arya. Bagiku wajar, orangtua mana yang tak merasa kehilangan saat anak yang mereka cintai pergi meinggalkan mereka untuk selamanya. Tentu saja aku merasakan hal yang sama. Hanya saja, semua ini ku lakukan untuk membahagiakan Surti, istriku.

Hari ini aku berniat untuk memberikannya kejutan. Sebuah hadiah kecil yang mungkin akan membuatnya melupakan kesedihan yang ia rasakan saat ini. Aku membawa Surti ke sebuah dealer mobil terbesar di kotaku. Senyum lebar ku berikan padanya berharap dia akan menyambutnya dengan gembira. Namun rupanya tak sesuai harapanku, Surti hanya terdiam tanpa ekspresi.

“Mengapa kita kesini, Pak?” Tanyanya bimbang. Kami menuruni mobil bersama. Ku gandeng tangannya dan segera memasuki dealer mobil dengan senyum sumringah. Lain halnya dengan Surti. Ia hanya tersenyum sekedarnya hanya untuk membalas sapaan para sales yang langsung menghampiri kami dan menawarkan beberapa mobil kepada kami.

Aku berbincang sebentar pada salah satu karyawan dealer untuk di berikan rekomendasi mobil mana yang bagus dan banyak di sukai oleh kaum wanita. Namun mataku tertuju pada Surti yang masih tampak murung. Ia terlihat duduk di kursi tunggu sambil memainkan gawainya. Sedikit pun tak tampak rasa senang pada wajahnya.

“Bu, sini.” Surti yang ku panggil langsung menghampiri dengan langkah gontai.

“Kamu mau yang mana?” tanyaku sambil menyodorkan brosur mobil pada Istriku itu. Surti menerimanya dengan malas, hanya sebentar ia melihat brosur yang ku berikan kemudian di kembalikannya lagi padaku.

“Kita pulang saja, Pak. Ibu lelah.” Jawabnya membuatku sedikit kecewa. Bagaimana pun aku sedang berusaha menghiburnya.

“Tapi, kamu belum memilih mobil mana yang mau di beli.” Jawabku.

“Untuk apa, Pak? Ibu tak butuh itu.” Jawabnya menusuk tepat di dadaku.

Aku tak bisa membujuk Surti. Ia tetap ingin pulang tanpa membeli mobil yang sudah ku tawarkan padanya terlebih dahulu.

Sepanjang perjalanan, Surti hanya terdiam. Tak ada obrolan di antara kami. Surti malah terus menatap ke jendela samping, entah apa yang ia lihat di sana.

“Bu.” Panggilku. Surti menoleh sebentar lalu pandangannya kembali pada luar kaca jendela.

“Kita mampir untuk makan dulu, ya.” Tawarku. Namun dia masih terdiam. Tampak dari pantulan kaca jendela kalau ia memejamkan mata. Tarikan nafasnya panjang-panjang, menandakan jika ia sedang merasa tidak baik-baik saja.

“Kamu mau makan apa?” aku menawarkan beberapa menu yang ada di buku. Aku memilih menepikan mobil di sebuah rumah makan yang di sukai oleh Surti. Biasanya, kami pergi ke rumah makan ini bertiga bersama Arya saat malam minggu. Arya suka sekali dengan restoran ini, selain lesehannya luas, ada kolam ikan yang cukup besar di sini.

“Apa saja, Pak. Tapi Ibu belum lapar.” Jawabnya.

“Tapi kamu harus makan. Bapak nggak mau kalau Ibu sakit.” Bujukku.

Akhirnya Surti mau makan setelah berulang kali ku bujuk. Meskipun tak sampai habis, setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.  

“Kamu mau kemana lagi?” tawarku. Hari masih siang, namun Surti sudah tampak kehilangan selera untuk bepergian.

“Kita pulang saja, Pak. Aku benar-benar lelah.” Jawabnya.

Sesampai di rumah, Surti langsung masuk ke dalam kamar Arya dan menguncinya dari dalam. Aku yang berusaha mengejarnya tertahan di depan pintu yang tertutup rapat. Terdengar suara isak tangis Surti dari dalam kamar. Tangisan Surti benar-benar berhasil menyayat hatiku.

Aku memilih untuk masuk ke dalam kamarku dan Surti. Tak lupa ku kunci juga pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau saja tiba-tiba Surti masuk ke dalam. Ku tarik ransel besar yang ku simpan di dalam laci bawah ranjang yang sudah ku siapkan sebelumnya. Surti tak mengetahui jika ranjang yang setiap hari kami gunakan itu memiliki laci rahasia tempatku menyimpan uang hasil pesugihan. Melihat jumlah tumpukan uang dan emas, membuatku langsung melupakan kesedihan yang ku rasakan karena kehilangan Arya. Binar bahagia menyelimuti hati dan pikiranku. Bagaimana tidak, aku yang dulunya seorang pemulung miskin kini jadi kaya raya tanpa takut kekurangan.

Pernah Surti bertanya, dari mana aku memiliki modal untuk membeli sebuah gudang besar untuk di jadikan tempat mengepul barang rongsokan yang di jual oleh para pemulung. Aku mengaku, jika semua itu ku beli dengan hasil menjual sawah almarhum Bapakku di kampung. Aku mengarang cerita jika Bapak meninggalkan beberapa hektar sawah kepadaku sebelum meninggal. Hanya saja, selama ini sawah itu di kelola oleh Bibi, adik dari almarhum Bapak. Padahal sebenarnya, Bapak tak meninggalkan apapun untukku setelah kepergiannya. Surti yang memang baru mengenalku sebentar, ditambah ia seorang pendatang yang merantau mencari pekerjaan, ia tak tahu banyak tentang keluargaku. Jadi apapun yang ku ceritakan padanya tentang keluargaku ia akan percaya.

Surti dulu hanyalah pegawai pabrik sepatu. Aku tertarik kepadanya karena selain cantik, hanya dia yang selalu sopan dan menghargaiku meskipun aku berpenampilan kumal dan bau. Dimana kawan-kawannya selalu memandang rendah kepadaku, Cuma Surtilah yang tak pernah merasa jijik mengobrol denganku. Aku biasa memungut sampah di kawasan industri tempat Surti bekerja. Setiap sore aku melihatnya menunggu ojek langganannya di depan pagar pabrik tempat ia bekerja. Di situlah awal mula kami berkenalan. Aku yang memiliki wajah lumayan, meskipun penampilan kumal dan acak-acakan, berhasil mengambil hati Surti dan akhirnya berhasil menikahinya. Meskipun hidup kami pas-pasan, bahkan untuk biaya hidup dan makan sehari-hari banyak di tanggung oleh Surti dengan gajinya, ia tak pernah mengeluh. Bahkan ia tetap menghargai dan memperlakukan aku dengan hormat. Hanya saja, keluarganya selalu memandangku remeh. Bahkan Surti sering dibilang bodoh karena mau menikah denganku yang hanya berprofesi sebagai pemulung. Namun, Surti tetap membelaku dan tak pernah berubah dalam memperlakukanku. Itulah yang membuatku bertekad untuk membahagiakannya bagaimanapun caranya.

“Jangan di pikirkan, Mas. Rejeki sudah ada yang mengatur. Aku tetap bahagia hidup sama kamu. Aku tidak pernah menyesal meskipun mereka semua mengatakan jika aku bodoh telah memilihmu.” Ucapan Surti benar-benar membuatku merasa di hargai sebagai suami.

Surti seorang yatim piatu. Kami menikah di walikan oleh pamannya, kakak dari Bapaknya Surti. Bapaknya sudah meninggal sejak Surti berumur sepuluh tahun. Sejak saat itu, Surti ikut dengan pamannya serta bibinya. Selepas lulus sekolah, Surti merantau ke kota untuk bekerja hingga akhirnya takdir mempertemukan kami berdua.

“Apa tidak ada laki-laki lain, Ti?” tanya Bi Enoh, istri dari paman yang menikahkan kami berdua.

“Memangnya kenapa, Bi? Mas Rudi itu baik. Apa salahnya jika dia menjadi suamiku?” Surti berusaha memberikan pengertian.

“Ya sudah kalau itu maumu. Tapi, kamu jangan menyesal di kemudian hari.” ucap Bi Enoh.

“Menyesal kenapa, Bi?”

Bi Enoh menghela nafas.

“Pernikahan itu akan banyak cobaannya. Semoga kalian bisa dan mampu melewatinya. Karena cobaan ekonomilah yang sering membuat gagalnya dalam berumah tangga.” Nasehat Bi Enoh yang selalu ku ingat saat tak sengaja mendengar obrolan Bibi dan keponakannya itu.

Sebenarnya Bi Enoh orang yang baik. Bahkan ia sudah menganggap Surti seperti anaknya sendiri. Namun, saudara sepupu Surti yang selalu menghinanya. Dari kecil, mereka memang kurang menyukai Surti yang tiba-tiba saja ikut tinggal bersama mereka. Bahkan mereka merasa cemburu dengan perlakuan Bi Enoh kepada Surti yang dibilang istimewa.

“Adikmu itu yatim piatu. Kalian jangan sekali-kali menyakiti hatinya. Ingat, dosa menyakiti anak yatim piatu seperti adikmu itu.” Itulah pesan Bi Enoh kepada anak-anaknya saat Surti baru saja di buat menangis oleh mereka.

Bi Surti memiliki empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Hanya Mas Andrilah, anak tertua dari Bi Surti dan Paman Sapto yang baik dan menyayangi Surti seperti adiknya sendiri. Bahkan hingga sekarang, hanya Mas Andrilah yang masih berhubungan baik dengan kami, menjaga silaturahmi pada keluarga kecilku. Bahkan, saat kematian Arya kemarin, Mas Andri datang sejak sore hari setelah kami kabari jika Arya meninggal dunia bersama istri dan anaknya. Bi Surti dan Paman Sapto pun turut juga. Ketiga adiknya datang di hari berikutnya, dimana jenazah Arya sudah akan di angkat untuk di makamkan. Namun perlakuan mereka sudah tak seperti dulu. Melihat kondisi ekonomi kami sudah berkembang pesat, jauh dari sebelumnya dimana mereka melihat kami hidup serba kekurangan, membuat mereka seolah sedang menjilat ludahnya sendiri. Memperlakukan kami dengan sangat baik dan di sanjung-sanjung layaknya orang terhormat.

Terpopuler

Comments

FiaNasa

FiaNasa

bagaimana nanti klau Surti tau bahwa Arya dijadikan tumbal oleh suaminya demi harta untuk membahagiakan dirinya

2024-01-24

0

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

melakukan hal yg dilarang agama jg dilaknat Allah untuk membahagiakan istrimu 😒😒😒
sungguh stupid 😡😡

2023-07-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!