Empat

Hari ini, Ana sudah sah menjadi istri dari Andra. Pagi tadi, mereka mengesahkan pernikahannya di Vila milik papanya Andra, itu semua karena tidak ingin ada yang tahu lebih dulu pernikahan Andra dan Ana, karena mereka baru lulus SMA, dan baru masuk kuliah satu bulan. Pernikahan itu dilakukan karena untuk memenuhi keinginan terakhir ayahnya Ana, dan juga sebagai bentuk tanggung jawab Andra yang secara tidak sengaja sudah menghilangkan nyawa seseorang, yaitu ayahnya Ana.

“Kalian sudah SAH sebagai suami istri, mulai hari ini, kamu akan ikut tinggal di rumah mama, Na,” ucap Mama Diana pada Ana.

“Tapi, Ma?” sergah Ana.

“Kenapa, Ana?” tanya Diana.

“Ya gak apa-apa, Ma. Tapi rumahku bagaimana? Ana akan tinggal di rumah Ana saja, Ma,” ucap Ana.

“Ana ... kamu ini sudah menjadi tanggung jawab kami, masa mau tinggal sendiri?” ucap Pak Yaksa.

“Sudah, nanti mama antar kamu pulang, ambil semua barang-barang milik kamu yang kamu butuhkan, hari ini juga kamu harus sudah pindah ke rumah mama.

Ana tidak bisa menolak lagi, mau tidak mau dia harus menuruti apa yang mertuanya atur. Ana terpaksa ikut tinggal di rumah Andra, dan tidak ia sangka, sekarang status dia sudah menjadi istri Andra, meski di Kartu Identitasnya masih berstatus pelajar/mahasiswa

^^^

Ana turun dari mobil. Ia sudah sampai di depan rumah super megah dan mewah milik orang tua Andra. Ana berdiri di sebelah Andra yang masih mengenakan kemeja putih, dengan menenteng jas hitam yang ia kenakan tadi untuk mengesahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama. Andra dari tadi cuek, tidak bicara apa-apa, hanya diam saja, dan menuruti apa yang mama dan papanya inginkan, termasuk menuruti permintaan mamanya kalau Ana mulai hari ini harus tinggal di rumahnya.

“Selamat datang ke rumah kami, Ana. Selamat datang menantu mama, semoga betah tinggal di sini bersama kami,” ucap Diana.

“Terima kasih, Ma,” ucap Ana dengan menunduk.

“Ayo masuk, Sayang ...,” ajak Diana dengan merangkul Ana.

Diana bahagia, akhirnya dia mendapat anak perempuan, mendapat menantu yang sesuai dengan yang diharapkannya. Pintar, cantik, sopan, dan semua yang ada di diri Ana, membuat Diana suka. Ia sudah lama memimpikan memiliki menantu, tapi anak sulungnya malah masih ingin bebas. Kakaknya Andra malah memilih bebas untuk berkarier dulu, sekarang dia memimpin perusahaan papanya yang ada di Paris, dan menjadi Fotografer juga di sana. Pulang ke rumah hanya setahun sekali, itu pun kalau ingat pulang.

“Ini kamar kalian, kamar pengantin kalian, mama sudah siapkan semua ini untuk kalian,” ucap Diana pada Ana dan Andra.

“Ma ... jangan ngadi-ngadi dong! Masih kuliah mah, masa mau belah duren! Gak lucu, Ma!” sergah Andra. “Ya meskipun cukup umur, tapi Andra gak bisa! Orang Andra cintanya sama Astrid!”

“Kalian sudah sah, kenapa tidak? Asal jangan sampai hamil, kan? Kalian bisa menundanya, nanti hamilnya kalau kalian sudah siap? Kan bisa konsultasi dokter dulu,” ujar Diana. “Jangan bawa-bawa Astrdi, Andra! Kamu ini sudah jadi suami Ana!”

“Wah ... mama gak beres nih! Nyuruh anaknya yang gak-gak! Mana mungkin nih Andra begituan? Gak! Andra gak mau! Andra mau tidur di kamar Andra saja, itu biar ditempati Ana!” tolak Andra.

“Ma ... maaf aku juga setuju dengan Andra. Tidak mungkin kami satu kamar, Ma? Lagian aku dan Andra meski satu kampus, dan satu kelas kami tidak saling kenal, ya kenal nama saja, mana bisa langsung begitu? Langsung tidur satu kamar?” ujar Ana.

“Kalian itu ... mama udah nyiapin semua ini untuk kalian, tapi gak menghargai sekali usaha mama!” kesal Diana.

“Mama ... mereka ada benarnya juga, mereka ini masih pengantin baru, biar dong merek menyesuaikan diri dulu, kalau misal Andra mau tidur di kamar sendiri ya biar saja, toh nantinya juga setelah saling kenal, mereka pasti mau tidur berdua? Mama seperti tidak ingat saat dulu kita bagaimana? Sama, kan? Tidur di kamar terpisah, akhirnya bisa tuh punya Indra dan Andra?” ujar Pak Yaksa.

“Ya sudahlah, terserah kalian, tapi mama pengin kalian masuk ke kamar ini dulu, setelah itu silakan kalau kamu mau tidur di kamar kamu sendiri, Ndra!” pinta Diana sedikit memaksa.

“Ini harus, Ma?” tanya Andra.

“Iya, kali ini kamu harus mau mama paksa!” tegas Diana.

Huft!

Andra mengembuskan napasnya dengan kasar, dia malas sekali harus menuruti apa yang mamanya inginkan.

“Ayo Andra, Ana masuk,” ajak Diana.

“Mnnchh ... pemaksaan, udah dikawinin paksa, suruh tidur bareng, gak beres hidup gue!” cebik Andra.

“Kali ini mama gak mau kamu membantah mama lagi, Ndra!” tukas Diana.

“Iya kanjeng ratu!” cebik Andra.

Andra masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah disiapkan oleh mamanya. Ana berjalan di belakang Andra. Kamar pengantin bernuansa serba biru muda, dan di atas tempat tidur banyak sekali kelopak bunga mawar merah dan putih. Layak disebut kamar pengantin, karena wangi bunga melati khas pengantin baru pun semerbak tercium di indera penciuman mereka.

“Kayak kamar pengantin beneran, Ma?” ucap Andra.

“Kau kira pernikahan kamu dengan Ana itu main-main? Kalian sudah beneran menikah!” jawab Diana.

“Gak usah ngegas dong mama cantik?” ujar Andra.

“Ya sudah mama dan papa tinggal, kali saja kalian mau ngobrol,” ucap Diana.

“Eh, Ma! Jangan gitu dong?”

“Sudah kalian ngobrol dulu saja,” ucap Diana. “Ayo, Pa,” ajak Diana pada suaminya.

Andra menurutinya, dia malah berjalan mendekati tempat tidur, lalu duduk di tepi ranjang. Ana membuka lemari untuk menata bajunya yang ia bawa dari rumah, tapi dia terkejut dengan isi lemari yang sudah ada banyak baju-bajunya, termasuk baju-baju seksi untuk bertugas malam dengan suami. Banyak sekali baju haram yang tergntung di lemari gantung, ada yang warna merah hati, merah cabai, kuning gading, ungu, biru, merah jambu, hitam, dan tidak tahu lagi warna apa, Ana pusing melihatnya.

“Ndra, ini kok ada baju kek beginian di lemari? Punya siapa?” tanya Ana.

“Mana gue tahu? Ya mungkin milik kamu? Mama paling yang menyiapkan semua itu,” jawab Andra.

“Ini baru semua, Ndra,” ucap Ana.

“Ya iyalah baru, mana mungkin mama beliin kamu pakaian bekas!” tukas Andra. “Wuuuihhh pakaian seksi ternyata, pakai dong, Na?” ucap Andra dengan mengambil pakaian seksi berwarna merah cabai.

“Jangan macam-macam kamu! Sudah sana keluar, aku mau ganti baju!” ujar Ana.

“Ih ngusir, ganti baju saja ribet lo!” tukas Andra.

“Ya kali aku harus ganti baju di depan kamu, Ndra!”

“Ya barangkali mau telanjang di depanku, tapi gak  minat lah, tubuh lo terlalu lempengan, gitu-gitu aja, gak ada menariknya!” sarkas Andra.

“Gak usah body shaming kamu!” umpat Ana.

“Ih emang keanyataannya kok!” tukas Andra.

“Sudah sana keluar!” usir Ana.

“Kalau kita turuti apa yang mama inginkan gimana, Na? Ya kan lo udah sah nih gue sentuh, mau gue apain sah-sah aja, kan?”

“Sembarangan kamu! Gak usah macam-macam!” umpat Ana.

“Ya kan, lo istri gue, Na. Ya meskipun gue gak mau sih, tapi boleh juga buat mainan di kamar, daripada gue mainan di luar saja sama Astrid, ada lo kan bisa sampai dalam, Na?” ujar Andra.

“Enak sekali kamu bilangnya! Aku gak akan ngasih tubuhku sama pembunuh macam kamu!” erang Ana. “Keluar!” usirnya dengan mata berkaca-kaca.

“Oke, aku minta maaf. Aku keluar,” ucap Andra.

Andra kalah, kalau Ana sudah mengatai dia adalah pembunuh ayahnya. Apalagi dengan ekspresi wajah Ana yang jengkel dan matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis.

“Iya gue pembunuh. Iya gue salah. Harusnya gue ini dipenjara, bukan malah disuruh nikahin anak dari orang yang gue tabrak. Gue sudah merusak hidup Ana. Sudah menghancurkan kebahagiaan Ana. Harusnya gue gak bilang seperti itu sama Ana. Dia cewek baik-baik,” batin Andra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!