SAMPAI Didepan batu besar yang dipakai duduk bersila oleh si Petapa tua itu, Pendekar Mabuk hentikan langkahnya. Ia segera dapatkan kedua kakinya dan tundukkan kepala dengan punggung sedikit membungkuk, sebagai sikap memberi hormat kepada si petapa tua itu. Dan senyum si Petapa tua semakin lebar, Tampak senang menerima sikap hormat pendekar mabuk.
"Jangan heran kalau kau tiba-tiba berada di sini di luar kesadaranmu, Suto Sinting. Akulah yang memanggil hatimu untuk datang ke lereng gunung Brahmana ini," ujar si Petapa tua dengan suara yang semakin lama terdengar semakin jernih. Tidak seserak waktu pertama ia perdengarkan suaranya.
"Pantas aku tahu-tahu mengarahkan langkah kakiku ke sini. Rupanya orang ini yang memanggil hatiku dan menarik rasaku untuk datang kemari?!"
Ujar Suto Sinting dalam hatinya. Tapi di mulutnya ia bicara lain dengan hatinya.
"Aku memang sudah menduga ada yang tak beres pada kendali rasa batinku, Eyang. Tetapi sampai sekarang aku aku belum tahu, apa maksud Eyang menarik kendali rasaku untuk datang ke gua ini?! siapakah Eyang sebenarnya?!"
Sebelum menjawab, bisa Petapa bermata putih itu tersenyum dulu. Senyum tua yang mempunyai kesan bersahabat itu terasa menyejukkan hati Suto dan menentramkan baginya.
"Jika kau ingin tahu namaku, tanyakan pada Sabawana gurumu, yang berjuluk Gila Tuak itu. Tanyakan kepadanya, siapa orang yang mempunyai tato dewa berbentuk bintang di kedua telapak tangannya...."
Petapa itu kini menghadapkan kedua telapak tangan nya ke arah depan. Pendekar Mabuk melihat jelas bahwa telapak tangan itu mempunyai Tato berbentuk bintang. Tato itu aneh, karena menyala biru remang seperti mengandung cahaya fosfor.
"Gurumu pasti mengenali dua bintang di telapak tanganku ini, dan dia akan berkata:' Ooo....itu bekas sahabatku yang bernama si Tapak Lintang'. Lalu dia akan ceritakan siapa diriku."
Kedua tangan itu kini turun ke pangkuan dan telapak tangannya ditempelkan ke paha kanan-kiri.
"Jangan lupa, tanyakan namaku kepada gurumu, Anak Bagus! Sebab kalau kau tidak tahu namaku, kau akan penasaran dan makan apa pun terasa tak enak."
Senyum keramahan Suto Sinting membias di wajah tampannya yang lembut itu.
"Tanpa bertanya kepada Guru pun aku sudah tahu bahwa Eyang bernama Tapak Lintang."
"Ooh....?! Alangkah saktinya kau, Nak!?. Belum bertanya sudah tahu namaku?!"
"Karena tadi Eyang sebutkan nama Eyang sendiri."
"Ooh... alangkah jujurnya kau. Ternyata kau tetap bersikap rendah walau kusanjung."
Suto Sinting tersenyum kecil, ia sempatkan diri memandang ke samping kanan kiri sambil menunggu penjelasan Eyang Tapak Lintang lebih lanjut. Beberapa waktu kemudian, suara si Petapa bermata putih itu terdengar lagi.
"Sebelum aku memilihmu dan menarik kendali rasaku, Lebih dulu aku telah meminta izin kepada Sabawana untuk memanggil muridnya. Bahkan aku telah meminta izin juga kepada Gusti Kartika Wangi, calon mertua mu itu, untuk meminjam panglima perangnya alias Manggala Yudha Kinasih bernama Suto Sinting."
Dalam hati Suto agak kaget mendengar nama Gusti Kartika Wangi itu disebutkan. Setidaknya batin Suto yakin bahwa Eyang Tapak Lintang Itu adalah orang berilmu Tinggi, terbukti dapat mengetahui bahwa jabatan Suto Sinting di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib yang di perintah oleh Ratu Gusti Kartika Wangi.
Seperti Kata Eyang Tapak Lintang, penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib itu memang calon mertua Suto Sinting. Sebab anak gadis ratu itu, yang juga menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi alam nyata , yang bernama Dyah Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati itu, adalah calon istri Suto menurut garis kehidupan si pemuda tanpa pusar itu. Tentunya si Petapa tua itu melihat noda merah kecil di kening Suto Sinting yang hanya bisa di lihat oleh orang-orang berilmu Tinggi.
Noda merah itulah Tanda bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, adalah panglima perang dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam Gaib.
"kau adalah orang yang terpilih dan layak menjadi penolongku, Bocah Bagus!" Ujar Eyang Tapak Lintang.
"Menolong Dalam Hal Apa, Eyang?! Tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keheranannya di dalam Hati.
"Aku hanya ingin memintamu membantu titisan ku yang sedang mencari pedang pusakaku. Pedang itu bernama Pedang Jagal Keramat, Terbuat dari besi anti karat dan tinggi nya setinggi tubuhmu, Bocah Bagus! Pedang itu semula ada di sini, Kutancapkan ditanah belakangmu itu...."
Pendekar Mabuk segera menengok ke belakang. Kerutan dahi nya semakin kuat ketika melihat tanah berlubang besar, garis tengah nya sekitar dua langkah, mirip sumur yang telah tertimbun tanah sebagian. Di kanan kiri lubang itu terdapat bebatuan yang telah berlumut.
"Di tanah berlubang itukah pedang tersebut ditancapkan?!" Tanya Suto Sinting dalam hati.
"Besar sekali bekas tancapan nya?! Jangan-jangan lubang itu bekas sumur tua?!"
Ketika Suto Sinting berpaling ke arah semula, ingin menanyakan kesangsian hatinya itu, tiba-tiba matanya menegang dan hatinya tersentak kaget. Ternyata si Petapa tua yang mengaku bernama Tapak Lintang itu sudah tidak ada. Tapi lilin di sekitarnya masih tetap menyala.
Pendekar Mabuk lebih terkejut lagi dan Mulutnya terbengong melompong dengan mata sulit sikedipkan. Bahkan ia Nyaris tak percaya pandangan matanya sendiri ketika melihat ke arah batu yang dipakai duduk bersila si Petapa tua tadi. Diatas batu itu hanya ada kerangka manusia yang mengering dan berserakan. Sebagian kerangka tampak bersandar pada dinding batu di belakang nya. Benang laba-laba dan debu nyaris membungkus kerangka tersebut, menandakan usia kerangka yang sudah sangat tua.
"Gila! Mengapa jadi begini?! Ke mana Eyang Tapak Lintang tadi?!" Gumam Suto Sinting dengan Tegang , karena bulu kuduk nya segera merinding.
"Oh, lubang yang dikatakan bekas pedang menancap itu juga sudah berlumut semua?! Nyaris menjadi rapat ?!" ujar hati Suto penuh keheranan.
"Lumut ada dimana-mana?!" Gumamnya dengan menatap ke sana-sini.
"Hmm...! Bau debu dan udara pengap terasa kuat sekali? Sepertinya gua ini sudah lama tidak di huni orang?! Sebaiknya aku lekas-lekas keluar dari gua ini!"
Langkah Pendekar tanpa pusar itu dipercepat. Namun bias cahaya lilin-lilin itu masih menerangi lorong menuju keluar. Hanya saja. Kali ini semakin mendekati pintu gua Suto Sinting dibuat semakin heran. Karena lantai dan dinding lorong tidak sebersih tadi, melainkan banyak rumput dan lumut yang tumbuh liar dari situ.
"Edan! Kenapa lumut dan tanaman ini dapat tumbuh sebegitu cepatnya?! Tadi waktu ku susuri lorong ini, tampak bersih dan tak ada sehelai rumput pun?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Jalannya semakin sulit karena semakin dekat dengan pintu Gua semakin banyak tanaman rambat sejenis rumput ilalang.
"Astaga...?!" Suto Sinting terpekik kaget ketika mengetahui pintu gua hanya tampak sedikit sekali. Sisanya tertutup oleh ilalang yang tumbuh subur dan merimbun. Tinggi ilalang itu nyaris menyamai tinggi tubuh Suto Sinting sendiri.
Pendekar Mabuk terpaksa berjalan sambil menyingkap ilalang ke kanan-kiri, bagaikan ingin berburu kelinci hutan.
Duuurrr!
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Tanah tempat nya berpijak mulai terasa bergetar. Dinding gua itu pun tampak bergetar dan langit-langitnya meruntuhkan tanah serta bebatuan kerikil lembut.
"Celaka! Gua ini akan runtuh dan aku akan tertimbun di dalamnya kalau tak lekas-lekas keluar dari sini?!" Ujar Suto Sinting, Bicara sendiri sambil menghibur hatinya yang sempat tegang, sebab suara gemuruh itu terdengar lagi dan langit-langit gua semakin banyak meruntuhkan tanah dan batuan kecil.
Getaran yang dirasakan sudah berubah menjadi guncangan. Pendekar mabuk terpaksa harus berlari menerabas ilalang tinggi, Berusaha mencapai luar gua sebelum gua itu benar-benar runtuh dan menguburnya hidup-hidup.
...*...
...* *...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
arumazam
mantapppp
2025-05-03
0