Mendapat kabar dari rumah sakit, Aiden langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia sangat khawatir pada putri kesayangannya. Benar saja, begitu sampai di rumah sakit, ia langsung mengomeli Aline.
Aline hanya diam saja mendengar Papanya mengomel. Ia tahu kesalahannya, dan juga sudah membuat Papanya khawatir.
"Bisa-bisanya kamu langsung bertindak tanpa berpikir, Aline." gumam Aiden, Papa Aline.
"Papa, kalau aku biarkan, anak itulah yang jatuh. lagipula aku baik-baik saja, kan." kata Aline.
Aiden menghela napas panjang, "Yang seperti ini kamu anggap baik-baik saja? kenapa sifatmu sangat mirip Mamamu, Aline. Benar-benar keras kepala." kata Aiden.
"Kalau bukan mirip Mama, apa akku harus mirip orang lain? bukankah aneh kalau tidak mirip," gumam Aline.
Aiden pun tak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak tahu harus seperti apa untuk mengatasi Putrinya itu.
Tidak berselang lama, Alwin dan Sarah datang. keduanya terengah-engah karena sangat khawatir.
"Papa ... bagaimana keadaan Aline?" tanya Alwin.
Aiden menatap Alwin, "Lihat saja sendiri," kata Aiden.
Alwin dan Sarah berjalan mendekati Aline. Sarah kaget, begitu banyak luka dan memar dati tangan sampai kaki, bahkan ada beberapa memar diwajah Aline.
"Astaga, Aline ... bagaimana bisa kamu jatuh?" kata Sarah panik.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Aline. Jangan buat kami semua khwatir. Bagaimana keadaanmu? apa kata Dokter?" tanya Alwin khawatir menatap sang Adik.
"Tidak ada luka serius, seperti patah atau retak tulang. Hanya untuk berjaga-jaga, Papa minta pada Dokter untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Papa takut ada yang terlewat," kata Aiden.
"Syukurlah kalau hanya luka dan memar, tapi ini juga pasti menyakitkan. Kamu tidak boleh ke mana-mana sampai sembuh total, Aline." kata Alwin.
Aline menatap Alwin, "Itu ... apa maksudnya? apa aku Kakak suruh menginap di sini?" tanya Aline.
"Lalu kamu mau ke mana dengan kondisimu saat ini? jangan menentang dan menurut saja. Sayang, kamu di sini dulu dengan Papa, aku akan minta pada perawat untuk memindahkan Aline ke kamar VIP." kata Alwin.
"Oh, ya. Pergilah ... " kata Sarah.
Baru sajjja Alwin melangkah beberapa langkah, pintu ruangan diketyuk dan terbuka. Seorang Dokter dan dua orang perawat masuk, lalu menyampaikan untuk pemindahan Aline ke kamar VIP. Aiden dan Alwin terkejut.
"Maksudnya? baru saja saya ingin menemui perawat dan minta Adik saya dipindahkan." kata Alwin.
"Ini permintaan dari seseorang yang mengaku keluarga dari anak bernama Max. Asisten beliau pun sudah melunasi tagihan rumah sakit. Jadi, selama sebulan Nona bisa menjalani perawatan di rumah sakit ini." kata Dokter menjelaskan.
"Maaf, Dok. Boleh saya tahu siapa orang yang membayar biaya rrumah sakit putri saya? atau mungkin Asisten itu meninggalkan nomor teleponnya?" kata Aiden penasaran.
"Oh, sepertinya tadi beliau menulis nama dan nomot teleponnya saat melakukan transaksi pembayaran. Nanti saya salinkan, Tuan." kata salah seorang pearwat.
"Terim kasih," kata Aiden.
Aline pun dipindahkan dengan menggunakan kursi roda, dari kamar rawat biasa ke kamar rawat VIP. Seorang perawat mendorong kursi roda dan perawat lain pergi untuk menyalin nama dan nomor telepon Asisten Owen. Dokter berbincang dengan Aiden. Mereka membicarakan tentang hasil pemeriksaan Aline yang pertama. Karena pemeriksaan kedua akan dilakukan esok hari.
***
Owen membawa Maximilian ke kantor. Karena ia harus rapat, ia pun meninggalkan putranya sendirian di ruang kerjanya. Maximilian menurut. Ia duduk tenang membaca buku menunggu Papanya kembali.
Maximilian terus memikirkan Aline. Ia sungguh merasa bersalah dan ingin membalas kebaikan Aline. Ia pun berencana membujuk Papanya untuk mengunjungi Aline esok hari. Ia ingin memberi Aline hadiah.
Pintu ruangan terbuka. Owen masuk dan melihat putranya sedang membaca buku.
"Apa kamu tidak lapar? mau makan dengan Papa?" tanya Owen menatap Maximilian yang duduk di sofa tak jauh darinya.
"Pa ... " Panggil Maximilian.
"Hm?" gumam Owen. Ia berjalan mendekati putranya.
"Apa besok aku boleh mengunjungi Bibi Aline? mmm ... aku mau memberinya hadiah," kata Maximilian ragu-ragu.
Owen mengusap kepala Maximilian. Ia berkata kalau putranya itu tentu saja boleh pergi, dan memberikan hadiah. Saat ditanya, Maximilian akan memberikan hadiah apa? Maximilian menjawab akan memberikan kue dan bunga.
"Hmmm ... sepertinya itu menarik. " kata Owen memuji putranya.
Maximilian tersenyum bangga, sepertinya apa yang disampaikannya disukai Owen. Setelah berbincang tentang kue dan bunga yang akan diberikan pada Aline esok hari, Maximilian pun mengeluh lapar dan ingin makan. Baru saja anak kecil imut itu mengeluh, perutnya tak lama berbunyi.
Owen tersenyum, "Ayo, Papa gendong." kata Owen mengulurkan dua tangan kehadapan Maximilian.
Maximilian meletakkan buku yang dipegangnya dan menyambut tangan sang Papa. Owen lantas menggendong Maximilian dan membawa putranya itu pergi meninggalkan ruang kerjanya.
***
Owen mengajak Maximilian ke restoran tak jauh dari kantornya. Ia langsung memesankan makanan kesukaan putranya.
"Pa ... " panggil Maximilian.
"Ya, sayang?" jawab Owen.
"Kena Bibi-Bibi yang di sana menatap ke arah kita? aku tidak suka," kata Maximilian.
Owen memalingkan pandangan, membuat dua orang wanita yang menatap ke arah Owen dan Maximilian terkejut. Kedua orng itu langsung memalingkan pandangannya.
"Tidak perlu memedulikan hal yang tidak penting." kata Owen menatap Maximilian.
Sifat Maximilian sangat mirip dengan Owen. Mereka tidak senang diperhatikan dan ditatap lekat oleh orang asing. Juga tak akan banyak bicara pada orang yang dikenal. Tak hanya sifat, wajah Maximilian juga sangat mirip dengan Papanya. Maximilian memiliki wajah tampan dan rupawan.
"Max ... boleh Papa bertanya sesuatu?" tanya Owen menatap putranya.
"Ya, Pa." jawab Maximilian.
"Kenapa kamu tidak memberitahu Papa, kalau selama ini kamu diperlakukan tak baik oleh teman sekelasmu? Apa kamu tidak butuh Papa lagi?" tanya Owen. Ia ingin tahu alasan Maximilian hanya diam saja dan menyimpan kesusahannya sendirian.
Maximilian menunduk, "Karena aku tidak mau membuat Papa kerepotan. Papa kan sibuk bekerja. Aku juga tidak mau membuat Papa marah," kata Maximilian menunduk.
"Nak, dengar baik-baik perkataan Papa ini. Mulai sekarang, kamu harus beritahu Papa kalau kamu merasa kesulitan. Beritahu Papa juga saat kamu butuh bnatuan. Papa tidak akan marah. Papa janji," kata Owen.
"Ya, Pa, Maaf ... " kata Maximilian.
Owen merasa bersalah. Ia berpikir, mungkin selama ini ia terlalu fokus pada pekerjaan dan kurang perhatian pada Maximilian, sehingga putrannya itu berpikir jauh, kalau ia akan direpotkan oleh putranya itu. Padahal sebenarnya Ia kerja keras agar bisa terus memberikan yang terbaik bagi Maximilian. Sebagai orang tua tunggal, terkadang Owen kerepotan membagi waktunya bekerjja dan bermain bersama Maximilian. Karena itu juga, setiap akhir pekan Owen hanya akan fokus memerhatikan dan bermain bersama putranya. Ia tidak mau putranya kesepian karea sepanjang hari ia tinggal kerja. Terkadang kalau lembur, saat Owen pulang, pasti Maximilian sudah tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments