Damien mengitari ruangan itu sambil membuka tudungan yang menutup kepalanya, sementara para pelayan sibuk menutup jendela dengan tirai dan menyalakan lilin sebagai penerangan.
Putri Agrarta yang sudah berharap Damien tak kan datang sedikit merasa kecewa karena Damien datang tepat saat Sophia sudah menjadi gadis yang membuat banyak kenangan bahagia dengannya.
Matanya tajam menatap Damien sambil menggaruk-garuk kursi, Sophia yang melihat hal itu sadar kalau Putri Agrarta sedang merasa tidak nyaman.
"Kenapa kau baru datang?" tanya putri Agrarta akhirnya.
"Sudah ku katakan aku akan datang setelah dia lahir," sahutnya berhenti berkeliling dan berdiri tepat di seberang meja.
"Ku pikir kau akan datang setelah Sophia lahir."
"Apa bedanya?" tukas Damien.
Putri Agrarta hendak bicara lagi tapi pangeran Thodor menahannya sebab ia tahu putri mulai tersulut emosi, ia tak mau ada kekacauan di hari perpisahan yang penting.
"Makan malam sudah siap, mari!" ajak pangeran Thodor.
Mereka pun beranjak pergi ke ruang makan, menikmati hidangan mewah seperti biasa. Namun makan malam kali ini terlalu hening sampai Sophia merasa aneh, berkali-kali ia mencuri pandang kepada Damien.
Selesai makan malam Damien memberi pakaian kepada Sophia yang harus ia kenakan, ia juga melarang untuk membawa barang apa pun dari istana kecuali uang.
Sophia menurut, dibantu oleh putri Agrarta ia pun bersiap. Tangis tak dapat ditahan olehnya saat membantu Sophia berpakaian, berkali-kali ia membelai Sophia dengan penuh kasih sayang dan penyesalan.
"Ibu... " panggil Sophia pelan.
"Maafkan ibu sayang, andai kami tidak berjanji kau... kau... " putri Agrarta tak dapat menyelesaikan kalimatnya.
Tangisannya terlalu keras menguasai hingga bahkan tangannya bergetar, Sophia segera memeluk putri Agrarta. Ia yang sudah diberitahu sejak kecil akan takdirnya sedikit pun tak menyalahkan orangtuanya, ia telah diajarkan sebagai putri kerajaan terkadang takdirnya akan sulit.
Hewan malam mulai bernyanyi saat Sophia datang dengan menggunakan celana hitam panjang serta baju yang berlapis mantel, meninggalkan gaun serta pernak perniknya Sophia merasa tengah bertelanjang.
Damien berjalan mendekat, mengulurkan tangannya kepada Sophia. Dengan ragu Sophia memberikan tangannya dan tanpa ia sangka Damien mengecup punggung tangannya, ada sensasi dingin yang membuat Sophia merasa tersengat tapi yang membuatnya terpaku adalah tatapan mata Damien.
Begitu tajam menusuk hatinya sekaligus jernih bagai mata air, dengan senyum simpum yang entah mengapa tiba-tiba membuatnya terlihat menawan.
Sebelum malam terlanjur larut Damien segera membawa Sophia pergi, tak mengijinkan perpisahan berlangsung lama sebab itu akan membuat mereka justru semakin sulit berpisah.
Menatap kepergian Sophia dari pintu gerbang pangeran Thodor berkata, "Saatnya kita membawa pangeran Albert pulang."
......................
Seorang pria bertubuh besar dengan jubah putih yang menjuntai hingga ke lantai terus berjalan di koridor, memeriksa setiap pintu yang ada hingga ia berhenti di satu pintu yang nampak cahaya dari dalamnya.
Ceklek
Tanpa peringatan ia membuka pintu itu, membuat seorang pemuda di dalamnya kaget.
"Albert! ini sudah waktunya untuk tidur," ujarnya tegas.
"Maaf pak, aku hanya sedang mengerjakan tugas ku."
Pria itu menatap buku-buku yang berserakan di meja dan ranjang, pemandangan yang biasa saat ia memeriksa kamar Albert.
"Baiklah tapi ingat sebelum tengah malam aku ingin kau sudah tidur," ujarnya.
"Baik pak!" jawab Albert.
Pria itu yang tak lain adalah Dekan menutup pintu kembali, membiarkan Albert kembali masuk dalam dunianya lagi.
Albert membuka kembali bukunya, mencari sampai dimana ia tadi membaca dan melanjutkannya.
Semua orang di Akademi tahu kalau Albert adalah pangeran Meseress, tapi tak ada yang memanggilnya tuan atau pangeran sebab di Akademi itu bukan hanya dia pangeran yang sedang bersembunyi.
Selain itu Dekan tidak suka membeda-bedakan, saat semua anak masuk Akademinya maka mereka semua sama dan harus diperlakukan sama.
Bangun pagi dan mulai dengan sarapan, setelah itu pelajaran pun di mulai. Mulai dari aritmatika, sejarah, pertanaman hingga sihir.
Albert sendiri lebih condong pada sejarah, ia suka membaca buku bahkan jam kosong yang ia miliki selalu ia gunakan untuk membaca. Itulah mengapa meski ia terkurung dalam benteng tinggi tanpa tahu dunia luar ia sudah mengetahui berbagai hal, bahkan sampai ras langka yang ada di bumi.
"Albert!" panggil seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya.
"Dekan memanggilmu," ujarnya saat Albert menengok.
Penasaran Albert segera menemui Dekan di kantornya, rupanya Dekan memiliki surat untuk dirinya.
Itu adalah surat dari istana yang memberitahunya agar bersiap sebab ia akan dijemput untuk kembali ke istana, senang bukan main ia memberitahu semua temannya akan hal itu dan tak sabar menunggu.
......................
Sruk Sruk Sruk Sruk
Berkali-kali pedang itu di asah, kemudian diuji ketajamannya. Masih kurang tajam ia kembali mengasahnya hingga bahkan cahaya dari lilin yang redup dapat membuatnya berkilau.
"Ursula! ini sudah saatnya," ujar seorang pria menghampirinya.
"Afra... lima belas tahun yang lalu tanah kita direnggut, rakyat kita dihabisi dengan brutal. Bahkan mereka tidak merenggut bayi-bayi kita, tapi mereka tidak akan mampu mengambil masa depan kita. Hari ini, sejarah baru untuk kita akan tercipta!" ujarnya sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
Afra mengangguk, lima belas tahun lamanya mereka berusaha membangun tentara yang kuat demi masa depan kaum Elf yang selama ini selalu dibantai.
Ursula sebagai pemimpin berjalan menemui para tentaranya yang pemberani, dengan hati yang berapi dan mata yang tajam ia bicara dengan lantang.
"Kita adalah kaum suci meski tangan kita berlumpur, telinga yang runcing ini bukti bahwa kita berbeda dengan yang lain. Kita memiliki kesempurnaan fisik yang membuat mereka iri dan umur panjang yang membuat mereka dengki. Hari ini, aku mengangkat pedang ku sekali lagi demi kehidupan normal kita. Sudah saatnya kita hidup layak bukan sebagai hewan buruan, angkat senjata kalian dan wujudkan mimpi itu bersama ku!"
"Yeaaaaaayyyhh...."
Gemuruh sorakan itu bergema diseluruh penjuru gua, mandapat kobaran semangat dari tentaranya Ursula segera memimpin jalan. Memacu kudanya ditengah malam mereka menyerbu istana Meseress, membalas apa yang mereka dapatkan lima belas tahun yang lalu.
Dalam hitungan detik itu api membakar pemukiman warga, jeritan dan teriakan saling bersahutan yang membuat para prajurit kalap.
Sementara Jendral yang mengetahui penyerangan itu segera membangunkan pangeran Thodor dan Putri Agrarta, mencari jalan aman agar mereka bisa melarikan diri.
Tapi seolah tahu seluk beluk istana itu Ursula menunggu tepat di pintu keluar rahasia, menatap pangeran Thodor dan putri Agrarta dengan penuh benci ia menodongkan senjata.
"Thodor, ini adalah hari pembalasan ku."
Hanya itu kata yang di ucapkan Ursula sebelum memulai penyerangan, beruntung pangeran Thodor selalu membawa pedangnya sehingga ia siap untuk melawan.
Sementara putri Agrarta menjerit ngeri melihat kekacauan itu, bersembunyi di sudut sambil berharap pangeran Thodor baik-baik saja.
Ini bukanlah kali pertama mereka beradu ketajaman pedang, karenanya masing-masing telah mengetahui tekhnik serangan hingga pertempuran seimbang.
Namun Ursula berjanji kali ini adalah pembalasan maka dia telah menyiapkan senjata lain, setiap pedangnya yang berhasil melukai pangeran itu akan membuatnya kehilangan kinerja otot secara perlahan.
Itu karena sebelumnya Ursula memberi racun pada pedangnya, hingga akhirnya pangeran ambruk.
Senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Ursula melihat ketidakberdayaan pangeran di atas tanah, tanpa belaskasihan seperti yang ia dapat Ursula menarik pedangnya diatas pangeran dan.
Sruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments