Pembebasan Hutang dan Luapan Kemarahan

Sinar matahari Yogya yang mulai meninggi terasa menusuk kulit, menandakan pagi telah beranjak menjadi hampir siang. Udara kota yang lembap bercampur dengan aroma knalpot dan jajanan pasar yang samar-samar, menyambut Tanaka persis saat kakinya menapak aspal di halte pusat kota Yogyakarta. Sebuah gedung bank yang kokoh, berlabel Bank INI, menjulang beberapa puluh meter di hadapannya, target utama perjalanannya hari ini.

​Tanaka berjalan—atau lebih tepatnya, bergerak dengan langkah yang terhitung kaku. Bukan karena lelah, melainkan karena kesadaran akan beban yang ia bawa. Sebuah ransel kain, yang seharusnya tergantung nyaman di punggung, kini dipeluknya erat di dada, tali-tali pengikatnya menegang seolah-olah ia sedang memanggul sebuah peti harta karun.

​Isi ransel itu adalah inti dari semua kegelisahan ini: uang tunai senilai dua puluh lima juta rupiah. Jumlah yang fantastis bagi dirinya, modal yang secara harfiah menentukan masa depan, yang sebagian besarnya akan ia gunakan untuk melunasi utang pinjaman pokok di Bank INI sebesar sepuluh juta rupiah, ditambah segala macam bunga dan denda yang melekat padanya.

​Setiap mata yang berpapasan dengannya, entah itu pedagang kaki lima, pengendara motor yang melintas, atau bahkan seorang ibu yang sibuk dengan ponselnya, terasa seperti sorotan tajam. Di benak Tanaka, mereka semua adalah potensi ancaman. Ia merasa seperti membawa sebuah permata yang berkilauan di tengah keramaian, padahal yang ia bawa hanyalah uang kertas yang terbungkus rapi.

​"Ini pertama kalinya," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, suaranya tercekat oleh ketegangan, "membawa uang tunai sebanyak ini."

​Jantungnya berdebar-debar seirama dengan langkah kakinya. Ia menahan napas sejenak ketika sebuah sepeda motor menyalip terlalu dekat. Matanya tak pernah luput mengawasi sekeliling, dari pantulan kaca ruko hingga bayangan yang bergerak cepat. Sensasi waspada ini adalah harga yang harus ia bayar demi menjaga uang yang ia peroleh dengan susah payah—uang yang juga merupakan kebaikan hati seseorang yang tak terduga.

​Sesampainya di pelataran Bank INI, kemegahan gedung itu terasa kontras dengan kecemasan yang menggumpal di dada Tanaka. Ia baru saja akan mendorong pintu kaca utama yang besar itu ketika tiba-tiba, pintu tersebut terayun terbuka ke arah dalam.

​Seorang satpam bertubuh tegap, mengenakan seragam yang rapi dan topi yang tersemat sempurna, sudah berdiri di ambang pintu, membukakan pintu kaca itu, menyambutnya dengan senyum profesional.

​“Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Satpam itu, suaranya ramah namun tegas, menghasilkan sebuah getaran profesionalisme yang membuat Tanaka sedikit meredakan kekakuannya.

​Tanaka bergeser maju, memastikan ranselnya tetap menempel di dada. "Selamat pagi, Pak. Saya mau mengurus pelunasan pinjaman."

​Satpam itu mengangguk, sorot matanya yang terlatih sekilas menaksir penampilan dan bawaan Tanaka, namun kembali fokus pada tugas.

“Baik, Bapak. Sudah membawa berkas persyaratannya?”

​Tanaka mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin. Berkas itu, meskipun hanya beberapa lembar kertas, terasa seperti tiket kebebasan yang ia genggam.

​Satpam itu berbalik, berjalan menuju sebuah mesin cetak antrean di dekat pintu tersebut. Tanaka mengikutinya dari belakang.

Terdengar bunyi “Klak!” saat Satpam itu menekan tombol bertuliskan ‘Customer Service’.

​Mesin antrian itu bergetar sebentar, lalu mengeluarkan secarik kertas putih dengan bunyi “Srrrrtt…” yang cepat.

​Satpam itu mengambil kertas tersebut dan menyerahkannya kepada Tanaka.

“Nomor antrean Bapak B5. Silakan menunggu di sofa. Layar menunjukkan sudah di B4, sebentar lagi dipanggil.”

​“Terima kasih, Pak,” jawab Tanaka, menerima kertas itu seolah menerima mandat penting.

​Tanaka berjalan menuju area tunggu. Ia memilih sebuah sofa panjang tanpa sandaran punggung yang didesain untuk enam orang, di mana orang duduk saling membelakangi. Ia mencari posisi duduk yang paling strategis, akhirnya memilih tempat yang memungkinkannya menghadap langsung ke deretan meja customer service (CS).

​Ada lima meja CS, tetapi hanya tiga petugas yang tampak bertugas, semuanya sibuk melayani nasabah. Tatapan Tanaka langsung tertuju pada layar digital yang menampilkan nomor antrean: B4 sedang dilayani. Ia adalah B5. Hanya satu langkah lagi.

​Selama menunggu, sensasi ketidaknyamanan tidak pernah meninggalkannya. Ransel itu, yang berisi uang tunai yang begitu banyak, diletakkan di pangkuan kakinya, dan ia memeluknya erat-erat, seolah takut tas itu bisa lenyap tertelan bumi.

​Pikirannya kemudian melayang, menyentuh satu topik sensitif yang ia baca dan dengar setiap hari: korupsi.

​Ia teringat sebuah ironi pedih dalam masyarakatnya. Orang-orang di Indonesia, terutama di kota-kota besar yang ia tinggali, jarang sekali mengalami perampokan bank secara dramatis ala film Hollywood. Itu sebuah hal yang bagus tapi dibalik jarangnya perampokan Bank, perampokan di sini, yang ia sebut sebagai perampokan semi-legal dan lebih aman, dilakukan secara halus, terorganisir, dan melibatkan para oknum pejabat negara.

Jumlahnya nilai uang yang dirampok jauh lebih banyak dan dampaknya lebih menghancurkan daripada sekadar perampok jalanan.

​Fenomena ini sudah begitu mendarah daging, menjadi budaya pelicin segala urusan. Ironisnya, masyarakat—termasuk dirinya sendiri—turut mendukungnya.

Banyak masyarakat berkoar-koar menuntut hukuman mati bagi para pejabat korup, tetapi di saat yang sama, mereka pula yang memberikan kesempatan bagi praktik suap halus agar urusan mereka sendiri cepat selesai.

​Tanaka menarik napas panjang. Ia mengakui, dirinya juga pernah melakukan hal yang sama. Ia teringat bagaimana ia mendapatkan SIM motornya. Sebagai penderita introvert stadium empat, ia selalu gagal dalam ujian praktik karena terlalu gugup diawasi banyak orang. Akhirnya, ia menempuh jalur pintas yang ‘simpel’ dengan membayar sejumlah uang—memberikan pelicin—agar SIM-nya bisa segera keluar tanpa harus melalui ujian praktik yang memalukan.

Itu adalah sebuah kompromi moral yang kini ia sesali, sebuah kotoran kecil dalam riwayat pribadinya yang ingin ia bersihkan.

​Ruangan tunggu diisi dengan berbagai macam wajah—pebisnis yang mengetuk-ngetuk sepatu, ibu-ibu yang mengipasi diri dengan map berkas, dan mahasiswa yang sibuk dengan laptop. Semua orang tenggelam dalam urusan masing-masing.

​Beberapa menit berlalu, terasa seperti berjam-jam. Tiba-tiba, suara mesin panggilan antrian memecah keheningan yang tegang itu.

​“Nomor antrean B lima, silakan menuju Customer Service tiga.” Suara robotik itu terdengar jernih dan tegas.

​Tanaka tersentak, refleksnya cepat. Ia berdiri, merapikan kausnya, dan kembali memeluk erat ranselnya. Langkahnya mantap saat ia berjalan menuju meja CS nomor tiga.

​Di balik meja itu, berdiri seorang perempuan dengan setelan kerja semi-formal yang tampak profesional dan ramah. Senyumnya tulus, bukan sekadar basa-basi.

​“Selamat pagi, Bapak. Saya Della Carolin,” sapanya lembut, meskipun papan nama kecil sudah tersemat di meja dan di dadanya, "Dengan Bapak siapa?"

​“Selamat pagi, Mbak Della. Saya Tanaka,” jawabnya, merasa sedikit canggung namun lega karena akhirnya ia berhadapan dengan petugas.

​Della mempersilakan Tanaka duduk dengan isyarat tangan yang sopan. Setelah Tanaka menempatkan dirinya, ia juga ikut duduk dan kembali bertanya, “Baik, Bapak Tanaka. Dengan senang hati. Bisa saya bantu, keperluan Bapak hari ini?”

​“Saya ingin melakukan pelunasan pinjaman, Mbak.”

​Mendengar kata ‘pelunasan’, ekspresi Della sedikit berubah menjadi lebih fokus. Ini adalah transaksi yang serius. “Tentu, Bapak. Boleh saya lihat berkas pinjamannya?”

​Tanaka langsung meraih kantong kedua ranselnya, yang terletak di bagian depan, tempat ia meletakkan berkas-berkas penting yang terpisah dari uang tunai. Ia mengeluarkan map tipis itu dan menyerahkannya kepada Della.

​Della menerimanya, lalu mengalihkan perhatiannya ke layar komputer. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, matanya memindai dokumen. Dalam beberapa detik, sebuah data lengkap muncul di layarnya.

​Della mulai menjelaskan dengan nada bicara yang datar dan informatif, namun setiap angka yang disebutkannya terasa seperti dentuman di telinga Tanaka.

​“Pinjaman pokok Bapak, sepuluh juta rupiah. Dengan bunga pinjaman setahun sebesar tiga juta dua ratus ribu rupiah. Cicilan bulanan yang sudah dibayar enam kali, dari total tiga puluh dua kali angsuran…”

​Ia mengetik lagi, lalu melanjutkan, “Saat ini, sisa pokok pinjaman ditambah bunga yang berjalan adalah delapan juta seratus dua puluh lima ribu rupiah.”

​Tanaka menghela napas, angka itu masih masuk akal.

​“Namun,” Della melanjutkan, tatapannya terangkat sejenak, “Bapak belum melakukan pembayaran angsuran selama tiga bulan terakhir dari waktu jatuh tempo. Jadi, ada pinalti denda keterlambatan sebesar seratus lima puluh ribu rupiah, ditambah bunga tiga bulan yang terakumulasi, tiga ratus ribu rupiah. Total denda keterlambatan adalah empat ratus lima puluh ribu rupiah.”

​Semua angka itu terasa seperti palu yang memukul.

“Empat ratus lima puluh ribu hanya untuk keterlambatan,” pikir Tanaka. “Benar-benar kerugian yang sia-sia.”

​“Jadi, jika Bapak hanya membayar angsuran bulan ini saja—angsuran kesepuluh—totalnya menjadi dua juta seratus ribu rupiah,” pungkas Della.

​“Ya, saya mengerti semua itu, Mbak Della. Tapi saat ini, saya ingin melakukan pelunasan secara penuh. Saya ingin bebas dari utang ini sekarang juga. Apakah bisa?” tanya Tanaka, suaranya mengandung harapan yang kuat.

​Della tersenyum profesional. “Tentu saja bisa, Bapak. Pembayaran pinjaman langsung dan sekaligus lunas sangat kami sarankan. Namun, sesuai dengan kontrak awal Bapak, ada pinalti untuk pelunasan dipercepat.”

​Tanaka mengangguk, ia sudah menduga hal ini. Semua perjanjian keuangan pasti memiliki klausul semacam itu.

“Berapa total yang harus saya bayarkan, dengan semua pinalti itu, Mbak?”

​Della kembali mengetik cepat, “Tik-tak-tik-tok,” suara keyboard berirama dengan detak jantung Tanaka. Ia beberapa kali menggerakkan mouse, memproses data pinjaman.

​“Biaya pinalti pelunasan dipercepat, sesuai kontrak, adalah dua persen dari sisa pokok pinjaman Bapak,” jelas Della. Ia menekan Enter terakhir. Layar komputer berkedip, menampilkan sebuah angka.

​“Baik, Bapak Tanaka. Setelah dihitung, sisa pokok pinjaman ditambah bunga berjalan angsuran ke sepuluh, ditambah denda keterlambatan tiga bulan, dan ditambah pinalti pelunasan dipercepat, total pembayaran yang harus Bapak lakukan saat ini adalah delapan juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah.”

​"Hhhffftt..."

​Sebuah helaan napas lega keluar dari mulut Tanaka, begitu panjang dan tulus hingga ia sendiri terkejut mendengarnya. Angka itu, 8.737.500 rupiah, jauh di bawah sepuluh juta.

Uang yang ia bawa, dua puluh lima juta, sudah pasti lebih dari cukup. Rasa lega itu mengalir deras, membasuh semua ketegangan yang ia rasakan sejak keluar dari halte bus.

​"Baik, Mbak Della. Saya ingin melunasi segera," kata Tanaka, kini dengan senyum yang benar-benar lepas.

​Della mengangguk, ikut merasakan kepuasan nasabahnya.

“Saya proses, Bapak. Untuk pembayarannya, apakah Bapak ingin dilakukan secara transfer—seperti pembayaran angsuran sebelumnya—atau secara tunai?”

​“Tunai, Mbak,” jawab Tanaka cepat, memegang erat ranselnya. Ia ingin menyelesaikan urusan ini secepat mungkin.

​“Baik. Kalau begitu, Bapak bisa melakukan setoran langsung ke Teller. Saya bantu uruskan agar Bapak tidak perlu antre lagi,” kata Della, lalu ia mencetak selembar berkas yang merupakan surat pengantar setoran.

​Della bangkit dari kursinya. Tanaka pun ikut berdiri. Mereka berjalan berdampingan menuju konter teller.

​Della meminta Tanaka menunggu sebentar di sisi luar konter teller. Ia sendiri masuk ke bagian belakang konter, mendekati Teller Nomor Dua yang saat itu sedang sibuk melayani nasabah lain. Della menyerahkan berkas pengantar setoran kepada teller tersebut dan menjelaskan keperluannya.

​“Setelah nasabah ini selesai, Bapak Tanaka bisa langsung ke sini untuk melakukan setoran pembayaran pinjaman,” ujar Della saat kembali mendekati Tanaka.

​“Terima kasih banyak, Mbak,” balas Tanaka tulus. Della mengangguk dan kembali ke mejanya untuk melanjutkan proses pelunasan dan menyiapkan dokumen pengembalian jaminan.

​Suara nasabah yang sedang dilayani Teller Dua terdengar meredup, proses transaksi selesai.

​“Bapak Tanaka?” panggil Teller Dua dengan suara yang jernih.

​Tanaka langsung bergerak dari tempatnya, menuju konter. Teller Dua adalah seorang pria muda yang juga berpakaian rapi. Ia memperkenalkan dirinya dan dengan sigap memverifikasi ulang.

“Benar, Bapak, ingin menyetorkan uang tunai untuk pelunasan pinjaman. Total setoran yang dibutuhkan adalah delapan juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah, betul?”

​“Betul,” jawab Tanaka.

​Inilah saatnya. Tanaka membuka ranselnya. Ia merogoh ke dalam, mengeluarkan satu bundel uang pecahan seratus ribu yang sudah terikat rapi—lima juta rupiah. Kemudian, ia mengeluarkan bundel kedua. Dari bundel ini, ia menghitung dengan cepat dan mengambil beberapa lembar.

​Total yang ia serahkan adalah delapan juta delapan ratus ribu rupiah. Uang kertas seratus ribuan itu tampak tebal, memberikan kesan kekayaan yang menenangkan sekaligus menakutkan.

​Teller Dua menerima uang itu dengan kedua tangan dan segera memasukkannya ke dalam mesin penghitung uang.

​“Grrrrt… grrrrt… grrrrt…”

​Suara mesin itu berputar, mendeteksi setiap lembar, menghitung jumlahnya, dan secara otomatis memverifikasi keasliannya. Bagi Tanaka, suara mesin itu terasa seperti juri yang menentukan nasibnya.

​Setelah proses penghitungan selesai, mesin itu berhenti, dan lampu hijau kecil menyala. Teller Dua memeriksa layar. “Delapan juta delapan ratus ribu rupiah, sudah pas, Bapak. Tidak ada masalah dengan keasliannya.”

​“Iya,” sahut Tanaka, lega.

​Teller Dua dengan cepat memproses setoran pelunasan pinjaman itu di sistem. Bunyi “Klik! Klik!” dari mouse menandakan transaksi sedang berjalan. Tak lama kemudian, printer mencetak sebuah slip nota pembayaran dan Pengembalian uang.

​“Mohon tanda tangan di sini, Bapak,” pinta Teller Dua, menunjuk kolom di slip nota tersebut.

​Tanaka segera membubuhkan tanda tangannya. Teller Dua merobek bagian bawah slip untuk arsip bank, dan menyerahkan bagian atasnya, serta uang kembalian enam puluh dua ribu lima ratus rupiah, kepada Tanaka.

​“Setoran pembayaran pelunasan pinjaman sudah selesai, Bapak. Silakan kembali ke meja Customer Service tiga, Mbak Della untuk kelanjutan proses pelunasan pinjaman.”

​Tanaka menyimpan uang kembalian itu di saku celana, namun ia tiba-tiba teringat satu hal lagi.

​“Pak, apa saya bisa sekalian menyetorkan sisa uang saya ke rekening?”

​Teller Dua menggeleng sopan.

“Mohon maaf, Bapak Tanaka. Keperluan Bapak di sini tadi adalah khusus setoran pelunasan pinjaman. Untuk setoran tunai ke rekening, Bapak harus mengambil nomor antrean lagi.”

​Tanaka mengangguk mengerti. “Ah, baiklah. Terima kasih banyak, Pak.”

​Tanaka kembali ke meja Della Carolin, yang menyambutnya dengan senyum. Ia menyerahkan slip nota pembayaran yang baru ia dapatkan dari teller.

​Della memprosesnya di komputer, mengklik konfirmasi pelunasan, dan mencetak dua dokumen penting: Surat Keterangan Lunas dan Surat Keterangan Pengembalian Barang Jaminan Pinjaman.

​Kemudian, dari laci di sampingnya, Della mengambil sebuah amplop besar berwarna cokelat, yang isinya adalah sertifikat rumah milik Tanaka—jaminan yang membuatnya bisa mendapatkan pinjaman sepuluh juta itu.

Dia sudah mendapatkan dari petugas bagian gudang penyimpanan jaminan hutang.

​“Bapak Tanaka, mohon diverifikasi. Ini adalah sertifikat rumah yang Bapak jaminkan, apakah benar milik Bapak dan data sudah sesuai?” Della meletakkan sertifikat itu di atas meja.

​Tanaka melihat sertifikat itu. Melihat nama dan alamatnya tercantum di sana, terasa seperti melihat potongan jiwanya sendiri yang baru saja dikembalikan.

“Benar, Mbak Della. Ini milik saya,” katanya, merasakan kehangatan di telinganya.

​Della menyerahkan dua surat keterangan yang telah dicetak. “Mohon ditandatangani di dua berkas ini, sebagai bukti bahwa Bapak telah melunasi pinjaman dan menerima kembali barang jaminan.”

​Tanaka menaati. Ia menandatangani dokumen-dokumen itu dengan pena yang disediakan oleh Della. Setelah itu, Della mengambil salinan untuk arsip bank, lalu memasukkan bagian asli dari kedua surat keterangan itu ke dalam sebuah amplop baru yang lebih kecil.

​Amplop itu, bersama dengan sertifikat rumah yang asli, diserahkan kembali kepada Tanaka.

​“Selamat, Bapak Tanaka. Pinjaman Bapak di Bank INI sudah lunas sepenuhnya. Tidak ada lagi tanggungan utang dari bank kami. Semoga sukses untuk bisnisnya,” ucap Della tulus.

​Tanaka mengangguk, senyumnya kini benar-benar lebar. “Terima kasih banyak, Mbak Della. Pelayanannya sangat baik.”

​Rasa lega yang ia rasakan tidak hanya sebatas lunasnya utang, tetapi juga kesadaran bahwa ia kini memiliki modal berlebih dari kebaikan tak terduga yang ia terima. Kebaikan dari seorang dermawan cantik, Ayunindya.

​“Lima puluh juta tunai, ditambah perbaikan motor.”

Ayunindya memberikannya lebih dari yang ia butuhkan, padahal dalam kecelakaan itu, dirinya yang ceroboh, bukan Ayunindya. Itu adalah kemurahan hati yang luar biasa, sebuah jembatan dari lembah kemiskinan menuju potensi kesuksesan, seperti yang sering dibahas dalam novel-novel genre ‘Miskin ke Milioner’. Utang bank sudah lunas. Sekarang, tinggal utang pinjaman online (pinjol) yang masih tersisa, yang akan ia bereskan saat di rumah.

​Tanaka memasukkan amplop berisi surat lunas dan sertifikat tanah yang terasa begitu berharga itu ke dalam ranselnya. Ransel itu kini terasa jauh lebih ringan—bukan dari sisi berat fisik, tetapi dari berat mental. Ia berpamitan dengan Della dan melangkah keluar dari meja CS.

​Ia kembali ke mesin antrean, tempat Satpam yang ramah tadi masih berdiri.

​“Sudah selesai urusannya, Bapak?” tanya Satpam itu lagi, mengingat wajah Tanaka.

​“Sudah, Pak. Terima kasih. Tapi sekarang, saya mau menyetorkan sisa uang tunai ke rekening saya,” jawab Tanaka.

​Satpam itu mengangguk paham. “Baik. Berarti ke Teller, Bapak. Silakan.”

​Bunyi “Klak!” terdengar lagi. Kali ini, Satpam itu menekan tombol ‘Teller’ di samping mesin. Kertas antrean keluar: A30.

​“Mohon isi formulir setoran tunai dulu, Bapak, agar memudahkan Teller saat dipanggil,” saran Satpam itu.

​Tanaka mengangguk dan menuju meja kecil tempat formulir-formulir setoran berada. Ia menuliskan nama, NIK KTP, dan nomor rekeningnya dengan tulisan yang lebih tenang dari sebelumnya.

​Ia kembali ke area tunggu. Sisa uang tunai yang ia bawa—setelah membayar lunas pinjaman dan mendapat kembalian dari Teller—tinggal enam belas juta lebih. Jumlah itu, ia tahu, akan langsung ia gunakan untuk melunasi sisa pinjaman online yang mendesak begitu ia kembali ke rumah.

​Ia duduk kembali di sofa tunggu, di tengah para nasabah lainnya.

​Ia menunggu, dengan pandangan mata yang kini lebih santai, menantikan nomor A30 dipanggil, menatap masa depan yang terasa bersih dari beban utang.

​Dua jam. Itu waktu yang dibutuhkan Tanaka untuk menuntaskan semua urusan keuangannya di Bank INI. Dua jam yang terasa seperti sebuah persidangan mental, diakhiri dengan pembebasan bersyarat. Amplop cokelat tebal yang kini terbungkus rapi di dalam ranselnya—berisi sertifikat rumah dan Surat Keterangan Lunas—adalah bukti bisu bahwa satu beban raksasa telah terangkat.

​Sisa uang tunai senilai enam belas juta rupiah lebih yang ia bawa pulang, sudah ia setorkan ke rekeningnya. Dana itu adalah amunisi terakhir, khusus dialokasikan untuk memusnahkan tunggakan pinjaman online (pinjol) yang selama ini menjadi parasit paling menjijikkan dalam hidupnya.

​Saat kakinya melangkah keluar dari lobi Bank INI yang dingin dan steril, ia menghirup udara siang yang terasa lebih hangat. Ia sempat teringat akan rencana lain: mengurus pencabutan air PDAM. Air itu memang tidak terpakai; sumur di rumahnya sudah lebih dari cukup untuk keperluan sehari-hari. Namun, setelah pertarungan mental selama dua jam di bank, energinya terkuras.

​Tunda. Besok saja ke perusahaan PDAM itu, putusnya. Prioritasnya kini hanyalah satu: sampai di rumah dan melibas habis semua utang pinjol.

​Perjalanan dalam Keheningan Introvert

​Ponselnya dihidupkan. Aplikasi taksi daring terbuka. Dalam waktu singkat, orderannya diterima. Ia segera mengirim pesan singkat kepada pengemudi, memberikan deskripsi lokasi dan pakaiannya yang detail—satu-satunya cara ia berkomunikasi panjang, melalui teks, untuk menghindari percakapan langsung yang canggung.

​“Saya pakai kemeja abu-abu, berdiri di samping tiang lampu Bank INI,” ketiknya, lalu menekan kirim.

​Tak lama kemudian, sebuah mobil mendekat. Tanaka memastikan jenis, merek, dan terutama nomor pelat mobil sesuai dengan yang tertera di aplikasi. Ia adalah orang yang teliti dan waspada; sifatnya sebagai introvert stadium empat membuatnya sangat bergantung pada detail dan keteraturan, terutama dalam interaksi sosial yang minimal.

​Mobil itu berhenti tepat di depannya. Jendela diturunkan dengan bunyi “Sssshhh…” yang halus.

​“Dengan Bapak Tanaka?” tanya pengemudi, melakukan verifikasi akhir.

​Tanaka hanya mengangguk, lalu membuka pintu tengah dan masuk. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambutnya, kontras dengan panasnya luar bank.

​“Tujuan ke alamat ini, ya, Bapak?” Driver itu memverifikasi alamat yang tertera di aplikasi.

​“Iya, benar,” jawab Tanaka singkat.

​“Klik,” sabuk pengaman terpasang. Mobil pun melaju.

​Perjalanan pulang memakan waktu sekitar satu jam lebih. Di atas motor, jarak itu mungkin ditempuh lebih cepat karena kelincahan menyelip di antara keramaian Yogya. Namun, di dalam mobil, kemacetan adalah sebuah realita yang harus dihadapi.

​Selama perjalanan, Tanaka tenggelam dalam keheningan total. Pandangannya terpaku pada pemandangan di luar: ruko-ruko, sepeda motor yang berdesakan, dan langit yang semakin terik. Ia tidak berbicara. Bukan karena ia sombong, melainkan karena ia tidak tahu harus memulai obrolan dari mana, dan setiap kata yang keluar terasa memerlukan usaha yang teramat besar.

​Driver itu, seolah membaca aura penumpangnya, juga memilih diam. Mungkin ia adalah driver berpengalaman yang mengerti bahwa menjaga rating akun lebih penting daripada basa-basi yang dipaksakan. Keheningan itu bagi Tanaka adalah berkah, sebuah ruang privat di dalam ruang publik. Ia lega karena tidak perlu memberikan penilaian buruk hanya karena dipaksa mengobrol.

​Kedamaian dan Ritual di Rumah

​Setelah satu jam berlalu, mobil itu berhenti mulus di depan rumahnya. Pembayaran sudah dilakukan secara otomatis melalui dompet digital, memangkas kebutuhan akan pertukaran uang tunai yang canggung.

​“Terima kasih, Pak,” ucap Tanaka, membuka pintu, keluar, dan menutupnya dengan suara “Bluk.”

​Mobil itu segera melaju pergi, meninggalkan Tanaka dalam kesendirian yang ia dambakan.

​Ia memandang gerbang rumahnya yang sederhana. Ditariknya gembok pintu pagar kecil ke bawah, ia membuka kunciannya, mendorongnya ke depan, dan kembali menutupnya. Gembok itu ia gantungkan di tempatnya, namun dibiarkan terbuka, sebagai simbol bahwa ia sudah kembali dan kini merasa aman.

​Ia berjalan menuju pintu utama. Kunci rumah dimasukkan. “Krek… Ceklek,” bunyi putaran kunci yang familier.

​Ia mendorong pintu ke depan, melangkah masuk, dan mengucapkan, “Assalamualaikum.”

​Tidak ada sahutan. Rumah itu sunyi, hanya ada gema suaranya sendiri. Di rumah ini, hanya ada dia, dan keheningan adalah teman setianya sejak kedua orang tuanya meninggal.

​Segera, ia berjalan ke kamar orang tuanya, yang kini menjadi kamarnya. Ia melepas ransel, menggantungnya di gantungan baju. Kemeja lengan pendek yang ia kenakan untuk urusan bank—seolah menjadi seragam perjuangan—dilepaskannya, menyisakan kaos polos yang sedikit lembap karena keringat kering. Ia mengganti celana panjang kainnya dengan celana pendek selutut yang jauh lebih nyaman.

​Prosesi ini adalah ritual pelepasan, melepaskan ketegangan formalitas Bank INI.

​Lapar menyerang. Ia bergerak ke dapur, membuka kulkas, mengambil telur, sosis, dan daun bawang. Hari ini, ia akan membuat hidangan comfort food-nya: mie goreng. Stok mie instan rebusnya diambil, namun dimasak dengan sentuhan tambahan saus dan kecap agar bertransformasi menjadi mie goreng buatan sendiri. Sedikit nasi putih ditambahkan, menjadikannya porsi ‘kenyang’ untuk mengobati stres.

​FTV dan Api Dendam

​Dengan piring penuh yang mengepul, Tanaka berjalan menuju ruang tengah. Ia duduk di sofa yang sudah usang namun nyaman. Remote TV di tangannya.

​“Klik,” suara TV menyala, memancarkan cahaya biru keemasan di ruangan yang agak gelap.

​Ia memutar saluran hiburan siang hari, yang menayangkan FTV. Judulnya, “Kernet Angkot Cantik Itu Pacarku,” terpampang di layar. Sebuah premis yang absurd dan melebih-lebihkan, khas drama indie Indonesia, namun bagi Tanaka, cerita-cerita lebay ini jauh lebih menghibur daripada sinetron drama India atau film azab yang menyayat hati. Cerita-cerita konyol itu memberikan jeda yang ia butuhkan dari realita pelik yang baru ia hadapi.

​Tanaka menyantap makan siangnya dengan tenang. Suara kunyahan dan sendok beradu dengan suara dialog FTV. Ia makan tanpa terlalu peduli pada alur cerita yang mudah ditebak itu.

​Setelah piringnya tandas dan perutnya kenyang, ia segera membersihkan peralatan makan dan alat masaknya. Kedisiplinan adalah satu-satunya benteng yang ia miliki melawan kekacauan.

​Ia kembali ke sofa, duduk, dan meraih ponselnya. Ini adalah sesi terakhir pelepasan beban.

​Aplikasi pinjol dibuka. Ia melihat jumlah tagihan dan denda yang tertera pada tiga platform legal yang berbeda. Setelah mempertimbangkan untuk melunasi semuanya sekaligus, ia memutuskan untuk tetap membayar sesuai angsuran bulan ini, ditambah tunggakan bulan sebelumnya, beserta dendanya. Ia ingin melihat bagaimana sistem pinjol bereaksi setelah ia memenuhi kewajibannya.

​“Selesai,” gumamnya dalam hati. Saldo rekeningnya terpotong, notifikasi pembayaran sukses muncul di ketiga aplikasi. Rasa lega kedua menyeruak.

​Namun, rasa lega itu segera berubah menjadi api dendam. Selama berbulan-bulan, ia telah diteror tanpa henti. DC-DC itu tidak hanya menghubungi dirinya, tetapi juga kerabat terdekatnya: Bukde, Pakde, mantan pacarnya Saras, dan sepupunya. Hanya empat kontak itulah yang terdaftar di ponselnya; bukti betapa parahnya tingkat introvert stadium empat yang ia derita. DC-DC itu tanpa ampun memanfaatkan keterbatasan pergaulannya.

​Saat itu juga, Tanaka bersumpah. Jika ada DC yang berani menghubunginya sekarang dan berkata kasar, ia akan membalas dengan sepuluh kali lipat kekasaran.

​Letusan Emosi

​Seolah-olah alam semesta mendengar sumpah serapahnya, ponselnya langsung berdering.

​Layar menampilkan panggilan masuk dari aplikasi WhatsApp. Hanya nomor asing, foto profil seorang pria, dan keterangan ‘Spam’ yang muncul. Jantung Tanaka berdenyut cepat. Ia tahu, ini adalah salah satu dari mereka.

​Senyum sinis merekah di wajah Tanaka. Ia mengambil napas dalam-dalam—bukan untuk menenangkan diri, melainkan untuk mengisi paru-parunya dengan udara yang akan ia gunakan untuk meledak.

​“Geser,” Tanaka menerima panggilan itu.

​“Halo, selamat siang. Dengan Bapak Tanaka?” Suara di seberang adalah suara seorang perempuan. Nadanya sopan, namun samar-samar terdengar ada tekanan di baliknya.

​“Iya, saya sendiri. Ada apa, ya?” jawab Tanaka, berpura-pura tidak tahu dan mempertahankan nada sopan.

​Setelah verifikasi identitas, sikap perempuan di seberang sana langsung berubah drastis. Sopan santun itu menghilang ditelan kegarangan. Suaranya meninggi, kasar, dan penuh hinaan.

​“Dasar Bapak! Sudah menunggak pembayaran, hutangmu sudah jatuh tempo! Kamu pikir kami ini bank keliling? Bayar sekarang juga! Jangan buat kami datang ke rumahmu!” Ancamannya khas, penuh retorika penghinaan yang menusuk.

​“JLEB!”

​Ancaman itu adalah percikan api yang membakar bensin amarah yang sudah ia kumpulkan selama berbulan-bulan. Semua frustrasi, ketakutan, dan rasa malu karena dihubungi kerabat, meledak di detik itu juga.

​Tanaka menarik napas—satu tarikan napas penuh—dan ia melontarkan balasan yang begitu vulgar dan menyakitkan, kata-kata yang bahkan ia sendiri jarang dengar:

​“HEI, MONYET! LONTE! PELACUR! ANJING! BAJINGAN SIALAN!” Tanaka berteriak, suaranya menggelegar di ruang tengah, memutus monolog DC itu. “Aku baru saja bayar, dasar pelayan uang haram! Sudah aku bayar angsuran bulan ini, bulan lalu, beserta denda-dendanya! Kenapa kau masih telepon dan menagih?! Buta?! Cek sistemmu sekarang, keparat!”

​Perempuan di seberang itu terkejut, suaranya tercekat. “Tunggu! Kau bohong! Data di sini belum dibayar!”

​Tanaka tak memberinya kesempatan. Ia sudah terbakar. “BACOT! Hei, lonte murahan yang sudah banyak dimasuki burung najis! Aku sudah bayar barusan! Coba kau check lagi, pelacur! Bajingan! Sudah, jangan telepon aku lagi! Aku tambah dosa kalau bicara lama-lama sama perempuan murahan sepertimu ini!”

​“Tuk!”

​Tanaka menekan tombol putus, lalu dengan cepat, ia memblokir nomor tersebut.

​Napasnya terengah-engah. Tangan kirinya mencengkeram erat ponsel. Ada rasa kepuasan yang luar biasa—katarsis yang eksplosif—karena akhirnya ia membalas perlakuan DC yang tidak manusiawi itu. Namun, di saat yang sama, ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap. Ia telah menggunakan kata-kata yang tidak pernah ia duga bisa keluar dari mulutnya.

​Ini wajar. Mereka yang memulainya. Perempuan itu hanya menjadi korban pertama dari kemarahan yang sudah terpendam lama, ia mencoba menenangkan dirinya.

​Kontrol Diri yang Kembali

​Tidak berapa lama, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, pesan WhatsApp masuk.

​Ia membukanya. Itu adalah pesan dari DC aplikasi pinjol yang berbeda. Pesan itu menagihnya, namun isinya tidak menggunakan kata-kata kasar, hanya bernada monoton dengan sedikit ancaman standar tentang denda dan kunjungan lapangan.

​Tanaka membalas dengan ketus, tapi tanpa luapan amarah yang sama.

​“Sudah bayar. Check kembali sistem sialan kalian itu,” ketiknya, lalu segera memblokir nomor tersebut tanpa menunggu balasan.

​Tak lama kemudian, sebuah panggilan WhatsApp masuk lagi. Hanya nomor, foto profil pria, dan keterangan spam di layar. Tanaka menghela napas. Ia merasa energinya terkuras habis setelah ledakan emosi pertamanya.

​Ia menerima panggilan itu. Ia siap untuk kembali meluapkan amarahnya jika DC pria ini memulai dengan kekasaran.

​“Selamat siang, Bapak Tanaka. Saya dari…,” suara di seberang terdengar monoton, dingin, namun tidak ada nada menghina. Hanya nada pengancaman yang terstruktur.

​Karena DC ini tidak memulai dengan hinaan, reaksi Tanaka jauh lebih terkendali.

​“Saya baru saja bayar lunas angsuran bulan ini dan bulan lalu. Kalian check saja sendiri,” jawab Tanaka, suaranya kembali datar dan tegas, tanpa makian.

​Pria itu terdengar sedikit terkejut. “Mohon maaf, Bapak. Kalau begitu, bisa kirimkan bukti pembayarannya kepada kami untuk mempercepat proses update data?”

​Tanaka menolak mentah-mentah. “Tidak ada kewajiban saya memberikan bukti. Bukti sudah ada di sistem kalian. Di aplikasi saya sudah tertera lunas. Cek saja sendiri.”

​Ia memutuskan panggilan itu. “Tuk!”

​Nomor itu diblokir.

​Tanaka meletakkan ponselnya di atas sofa. Matanya menatap kosong ke layar TV yang masih menampilkan “Kernet Angkot Cantik Itu Pacarku,” namun ia tidak melihat apapun. Adrenalinnya perlahan mereda, digantikan oleh kelelahan.

​Ia mematikan TV. Suasana sunyi kembali menyelimuti rumah. Waktu sudah agak lewat dari waktu seharusnya, tetapi ia merasa wajib untuk membersihkan diri, membersihkan jiwa dan pikirannya dari kekotoran yang baru saja ia cemplungkan.

​Tanaka bangkit, melangkah menuju kamar mandi, mempersiapkan diri untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari kembali ketenangan dan penyesalan atas kata-kata keji yang tak sengaja ia lontarkan. Kehidupan bebas utang telah dimulai, namun perang melawan trauma dan sisa-sisa emosi masa lalu masih harus ia menangkan.

Terpopuler

Comments

Yuda Pratama

Yuda Pratama

satu"nya cita" ku adalah bisa bermain saham

2022-10-06

0

Ertuqi Gaga

Ertuqi Gaga

sebenarnya ini mc tolol apa bego dah tau pinjol itu ada bunganya walaupun kecil tapi tetab bunga yang mengarah kepada riba tapi tetap dilakukan percuma aja dong kalo gitumah sholatnya udah rajin tapi tetep ngeriba

2022-08-13

2

ketombee

ketombee

kandani ra percoyo...

2022-07-20

1

lihat semua
Episodes
1 Pria Pengidap Psikologis Introvert Stadium Empat
2 Kesempatan Kedua Untuk Mengubah Nasib
3 Selembar Kertas Seharga Kehidupan
4 Perencanaan keuangan Lima Puluh Juta
5 Pembebasan Hutang dan Luapan Kemarahan
6 Perayaan Kebebasan Finansial Sementara
7 Perubahan Hidup Tanaka
8 Satu Langkah Keluar Zona Nyaman
9 Layar Baru, Dunia Baru
10 Makan Malam yang Berbeda
11 Aku Bukan Pengemis
12 Pembekuan Rekening 1 Miliar
13 Memberikan Tip 500 Ribu Lagi
14 Mantan Pacar Mengajak Bertemu
15 Undangan Pernikahan
16 Membeli Pakaian Branded
17 Menghabiskan Uang 40 Juta Dalam 8 jam
18 Menghadiri Pernikahan Mantan Pacar
19 Bertemu Lagi Dengan Ayunindya
20 Ayunindya Tertarik Pada Tan
21 Pergi ke Jakarta
22 Menginap Di Kamar Presidential Suite
23 Jangan Menilai Orang Dari Penampilan
24 Memberikan Kejutan
25 Happy shopping!
26 Happy Shoping (2)
27 Bertemu Dengan Teman SMA
28 Reuni kelas 12-1 IPS (1)
29 Reuni kelas 12-1 IPS (2)
30 Reuni Sekolah Itu, Acaranya Pamer Kekayaan
31 Biar Aku Yang Bayar
32 Tidak Perlu Dikembalikan
33 Kencan Buta
34 Bertemu Lagi
35 Menjadi Anjing Penurut
36 Ajakan Ayunindya
37 Rasa Canggung
38 Cari Pekerjaan Hanya Untuk Hilangkan Kebosanan
39 Plin Plan
40 Menjual Motor
41 Buat ojek online, motor mana yang nyaman?
42 Dompet Buncit
43 Costumer Perempuan Cantik
44 Mendengar Curhatan Perempuan Cantik (Part 1)
45 Mendengar curhatan perempuan cantik (part 2/akhir)
46 Memberikan pelajaran pada pria Br*ngs*k (part 1)
47 Memberikan Pelajaran Pada Pria Br*ngs*k (part 2/akhir)
48 Apa Kamu Ingin Buat Perusahaan?
49 Fantastis Investment
50 Ke Jakarta Lagi
51 Bertemu lagi
52 Dipermalukan
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Pria Pengidap Psikologis Introvert Stadium Empat
2
Kesempatan Kedua Untuk Mengubah Nasib
3
Selembar Kertas Seharga Kehidupan
4
Perencanaan keuangan Lima Puluh Juta
5
Pembebasan Hutang dan Luapan Kemarahan
6
Perayaan Kebebasan Finansial Sementara
7
Perubahan Hidup Tanaka
8
Satu Langkah Keluar Zona Nyaman
9
Layar Baru, Dunia Baru
10
Makan Malam yang Berbeda
11
Aku Bukan Pengemis
12
Pembekuan Rekening 1 Miliar
13
Memberikan Tip 500 Ribu Lagi
14
Mantan Pacar Mengajak Bertemu
15
Undangan Pernikahan
16
Membeli Pakaian Branded
17
Menghabiskan Uang 40 Juta Dalam 8 jam
18
Menghadiri Pernikahan Mantan Pacar
19
Bertemu Lagi Dengan Ayunindya
20
Ayunindya Tertarik Pada Tan
21
Pergi ke Jakarta
22
Menginap Di Kamar Presidential Suite
23
Jangan Menilai Orang Dari Penampilan
24
Memberikan Kejutan
25
Happy shopping!
26
Happy Shoping (2)
27
Bertemu Dengan Teman SMA
28
Reuni kelas 12-1 IPS (1)
29
Reuni kelas 12-1 IPS (2)
30
Reuni Sekolah Itu, Acaranya Pamer Kekayaan
31
Biar Aku Yang Bayar
32
Tidak Perlu Dikembalikan
33
Kencan Buta
34
Bertemu Lagi
35
Menjadi Anjing Penurut
36
Ajakan Ayunindya
37
Rasa Canggung
38
Cari Pekerjaan Hanya Untuk Hilangkan Kebosanan
39
Plin Plan
40
Menjual Motor
41
Buat ojek online, motor mana yang nyaman?
42
Dompet Buncit
43
Costumer Perempuan Cantik
44
Mendengar Curhatan Perempuan Cantik (Part 1)
45
Mendengar curhatan perempuan cantik (part 2/akhir)
46
Memberikan pelajaran pada pria Br*ngs*k (part 1)
47
Memberikan Pelajaran Pada Pria Br*ngs*k (part 2/akhir)
48
Apa Kamu Ingin Buat Perusahaan?
49
Fantastis Investment
50
Ke Jakarta Lagi
51
Bertemu lagi
52
Dipermalukan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!