Angin sore berembus pelan, seakan turut menghela napas lega bersama Tanaka. Ia berjalan keluar dari gerbang Bank Pusat Asia (BPS), jantungnya berdegup pelan, berbeda dengan detak liar yang menggebu saat ia membawa uang sebanyak 10 juta di dalam tas selempangnya, lebih tepatnya di dalam dompetnya.
Rasanya seperti ada beban seberat gunung yang terangkat dari pundaknya. Tidak, bukan hanya gunung, tapi seluruh sisa-sisa kegelapan yang selama ini menaunginya. Ia melangkah ringan, senyum tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang sudah lama hilang, kini kembali.
Tanaka berdiri di depan gerbang kantor BPS, matanya menyapu jalanan yang ramai. Ia bermaksud untuk pulang dengan naik taksi daripada menggunakan bus kota.
Sepuluh juta tunai yang ada di dalam dompetnya terasa begitu rentan. Bus kota? Itu adalah opsi termurah, tapi juga yang paling berisiko. Uang itu terlalu berharga untuk dipertaruhkan yang mungkin bisa terjadi hal buruk dalam bus kota tersebut.
Ia mengulurkan tangan saat melihat ada mobil taksi yang akan lewat di jalanan depannya, dan tak lama sebuah taksi berwarna biru melambat dan berhenti di depannya. Kaca jendela bagian supir terbuka, memperlihatkan wajah ramah seorang pria paruh baya.
"Selamat sore, Pak. Ke Jalan veteran, Pandeyan berapa ya?" tanya Tanaka, sengaja tidak langsung masuk. Ia tidak ingin menggunakan sistem argo dan langsung melakukan tawar menawar seperti ojek pangkalan.
Pengalaman mengajarkan bahwa beberapa supir taksi bisa saja memanfaatkan pelanggan yang tidak tahu jalan dengan mengambil rute yang lebih panjang atau macet.
"Ehmmm... 70 ribu, gimana?" tawar supir itu.
Tanaka tahu harga normalnya hanya sekitar Rp40 ribu. Kebiasaan hidup hematnya yang ekstrem langsung bereaksi. Meskipun kini ia punya uang, kebiasaan itu begitu sulit dihilangkan.
"Wah, mahal sekali, Pak," balas Tanaka dengan senyum tipis. "Gimana kalau Rp40 ribu aja, Pak? biasanya segitu harganya."
Supir itu tertawa kecil. "Enggak bisa, Mas. Modal bensin aja sekarang mahal, Mas. Ini sudah paling murah."
Terjadilah tawar-menawar yang cukup alot. Tanaka berusaha keras meyakinkan supir itu, dan supir itu pun tetap bertahan pada tawarannya. Mereka seperti sedang memainkan sebuah permainan, di mana mereka harus menemukan titik tengah.
"Yaudah, deh, Mas. Rp50 ribu pas," kata supir itu akhirnya, mengalah.
Tanaka mengangguk. "Oke, Pak. Deal."
Ia langsung masuk ke dalam taksi, duduk di kursi belakang. Supir itu segera memacu kendaraannya, mengambil jalur paling cepat. Tanaka duduk bersandar, memejamkan mata, merasakan kelegaan yang luar biasa.
Setelah beberapa saat kemudian, mobil taksi itu berhenti di depan rumahnya, dan Tanaka memberikan selembar uang seratus ribu dan driver taksi itu memberikan kembalian selembar lima puluh ribu.
"Fiuh, Alhamdulillah, sampai juga di rumah tanpa ada masalah," gumamnya saat kakinya menginjak pinggir jalan rumahnya. "Bawa uang segini saja sudah deg-degan sepanjang perjalanan. Apalagi tadi membawa lima puluh juta. Bisa jantungan mendadak karena cemas terus-menerus!"
Ia merasa bersalah. Selama perjalanan dari BPS ke rumahnya, ia terus waspada dan curiga terhadap supir taksi yang mengantarnya. Matanya tak pernah lepas dari spion, otaknya penuh skenario buruk. Bagaimana jika supir itu punya niat jahat? Bagaimana jika ia dirampok?
"Mohon maaf, Pak Supir, atas pikiran negatif saya pada Bapak selama perjalanan," batinnya sambil menatap kepergian taksi itu, suaranya pelan dan penuh penyesalan.
Ia merenung sejenak, menatap bayangannya di genangan air hujan yang belum sepenuhnya kering. Pakaiannya yang rapi, wajahnya yang sedikit lebih cerah, kontras dengan bayangannya yang kusam dan dipenuhi kecemasan.
"Memiliki uang banyak itu memang tidak selalu membawa kebahagiaan. Kadang, itu bisa membuat orang stres dan berpikiran negatif pada siapa pun," gumamnya lagi, menyimpulkan.
Tanaka melangkah masuk, membuka kunci pagar dan pintu utama rumahnya. Hampa. Sunyi. Hanya ada suara langkah kakinya yang bergema di lantai. Dulu, saat ibunya masih ada, suara salamnya akan disambut dengan tawa riang dan aroma masakan dari dapur. Kini, hanya ada keheningan. "Assalamualaikum," salamnya, setengah berharap ada suara yang menjawab. Tapi nihil.
Ia menutup pintu dengan perlahan, merasakan hampa yang sama, sepi yang merayap di dalam dirinya. Ia senang dengan kesendirian, tapi ketiadaan orang tua memberikan kesan yang begitu menyakitkan.
Ia meletakkan tas selempangnya yang berisi dompet gembung di sofa ruang TV. Ada senyuman kecil di bibirnya saat melihat dompetnya yang mengembung. Itu bukan kebahagiaan yang sejati, hanya kelegaan. Setelah itu, ia melangkah ke kamar mandi. Waktu Ashar sudah lewat. Ia berwudhu, dan segera melaksanakan salat, sebuah momen di mana ia bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan, mencurahkan semua rasa syukur dan bebannya.
Salat Ashar, yang berlangsung kurang dari sepuluh menit, terasa begitu menenangkan. Ia berlama-lama dalam sujud, memohon agar rezeki yang baru ia dapatkan ini membawa berkah, bukan petaka. Setelah itu, ia membersihkan diri. Ia tidak berani keramas karena perban masih menutupi jahitan di kepalanya. Setelah selesai mandi, ia berganti pakaian dengan pakaian rumahan, kaus lusuh dan celana pendek, yang membuatnya merasa nyaman.
Rumah ini, warisan dari orang tuanya, terasa begitu besar untuk ditinggali seorang diri. Dulu, kamarnya di lantai dua. Namun, setelah orang tuanya meninggal, ia pindah ke kamar mereka di lantai satu. Kamar mandi juga hanya ada di lantai satu, jadi ia harus bolak-balik menuruni tangga. Sebagai anak tunggal, ia tidak punya saudara kandung yang bisa diajak berbagi cerita.
Meskipun ia memiliki beberapa kerabat, baik dari pihak ayah maupun ibu, hanya segelintir yang mau mengulurkan tangan. Mereka bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar kerabatnya justru menjauh, bahkan menghina dirinya. Kata mereka, Tanaka adalah beban, aib bagi keluarga besar karena menjadi pengangguran dan terlilit utang.
"Beban," kata itu terasa begitu menusuk, menciptakan luka yang tak kasat mata.
Tanaka tidak terlalu mempermasalahkan hinaan itu. Apa yang mereka katakan memang benar. Dirinya hanyalah beban bagi keluarga. Namun, setidaknya mereka masih punya kesadaran untuk tidak menghina dirinya secara langsung di depan semua keluarga, meskipun ia sendiri jarang datang ke acara kumpul keluarga.
"Tapi apakah mereka sadar, ulu saat papa masih hidup, mereka datang dengan mengemis-ngemis meminta bantuan pada papa dan papa memberikan bantuan ke mereka tanpa banyak tanya, tapi setelah papa meninggal mereka malah menjauhiku padahal aku tidak ada niatan untuk mengemis pada mereka, terlebih utang mereka belum sepenuhnya dilunasi dan seakan akan mereka telah lupa kalau mereka pernah berhutang pada papa dan aku juga tidak ada niatan untuk menagih mereka atas hutang tersebut karena aku anggap itu sebagai sedekah dan amal jariyah papa! Tapi mereka..." bisiknya dalam hati, air matanya menetes.
"Sudahlah, masa lalu biarlah menjadi masa lalu, sekarang yang penting adalah mas depanku dengan uang 50 juta ini... Baiklah, mari kita bagi-bagi uangnya," gumamnya pada diri sendiri, sambil duduk di sofa depan TV.
Ia mengambil buku tulis dan pulpen, yang sudah lama tidak ia gunakan, lalu membuat rencana keuangan yang matang. Ia menguraikan dengan teliti setiap pengeluaran yang akan ia lakukan.
"Pertama, aku harus melunasi semua utang yang kumiliki. Itu tidak bisa ditunda lagi. Utang wajib untuk segera dilunasi, agar pintu rezeki dari Tuhan dibuka selebar-lebarnya dari berbagai arah mata angin," katanya, seraya menuliskan jumlah utang pada pinjaman online dan pinjaman bank konvensional.
Ia mengalokasikan 25 juta rupiah untuk melunasi semua utangnya, termasuk bunga dan denda. Ia merasa lega saat melihat angka itu. Ini adalah langkah pertama untuk kembali ke jalur yang benar.
Selanjutnya, ia memisahkan 10 juta rupiah untuk renovasi rumah, terutama pada bagian plafon dan pintu jendela yang sudah lapuk dimakan rayap. Ia berencana menggantinya dengan bahan aluminium. Ia tahu 10 juta mungkin tidak cukup, tapi ini adalah langkah kecil yang harus ia ambil.
"Aku tidak tahu berapa tepatnya anggaran untuk renovasi ini, tapi 10 juta sudah cukup kayaknya," batinnya.
Setelah memasukkan dua anggaran tersebut, uang yang tersisa hanya 15 juta rupiah. Uang itu akan ia gunakan untuk keperluan sehari-hari, sedikit modal usaha pakaian online, dan pembayaran tagihan air. Ia juga berencana untuk berhenti berlangganan air PAM karena air sumur di rumahnya masih sangat layak.
"Besok, aku akan setor ke bank INI terlebih dahulu, lalu pada pinjaman online, aku sepertinya harus membeli ponsel baru yang paling murah untuk bisa melakukan pelunasan secara online," gumam Tanaka.
Setelah selesai mencatat, ia memandangi bukunya. Rencana keuangan ini terasa lebih nyata daripada skenario-skenario yang pernah ia bayangkan. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain beristirahat. Ponselnya sudah pensiun secara permanen, jadi ia tidak bisa berselancar di dunia maya. Satu-satunya hiburan yang bisa ia lakukan adalah menonton TV.
Namun, pikirannya kembali terganggu. Ia teringat kejadian aneh saat di BPS, di mana ia melihat pergerakan saham yang ganjil, seolah melihat masa depan.
"Apa yang terjadi saat itu? Kenapa aku melihat hal yang begitu aneh?" gumamnya, jari-jarinya menyentuh-nyentuh kepala yang masih terasa berdenyut.
Ia sedikit tahu tentang dunia saham. Ia sempat mempelajarinya sebagai alternatif penghasilan. Namun, ia berhenti karena modal yang dibutuhkan terlalu besar dan hasilnya tidak bisa didapatkan dalam waktu singkat.
Ia ingin menguji pandangan itu, tapi ia tidak punya alat. Ia sudah mencoba dengan hal lain, tapi tidak ada yang terjadi. Ia yakin, ilusi pandangan itu hanya terjadi pada hal-hal yang berkaitan dengan angka-angka saham saja.
"Apa pun yang terjadi pada mataku saat ini, itu akan diketahui semuanya besok hari, saat aku punya ponsel baru dan bisa mencari lebih banyak informasi," ujarnya.
"Dan juga, aku akan memeriksa mata, bila saja memang ada kesalahan pada mataku akibat cedera kepala yang kualami. Mungkin itu hanya halusinasi."
Tanaka membuka buku catatan keuangannya lagi. Ia memikirkan lagi rencananya untuk jangka lebih panjang lagi.
"Aku tidak bisa hanya mengandalkan uang ini. Aku harus punya penghasilan sendiri," pikirnya.
Ia menambahkan satu poin lagi.
"Mendapatkan pekerjaan."
Ia harus mencari pekerjaan yang stabil. Ia tidak bisa lagi menjadi pengangguran.
Keesokan paginya, Tanaka bangun lebih awal, saat langit masih gelap. Ia melaksanakan salat subuh di rumahnya, bukan di masjid. Meskipun masjid tidak terlalu jauh dari rumahnya, ia lebih suka salat di rumah karena penyakit psikologisnya, introvert akut stadium empat.
Setelah selesai salat subuh, ia melakukan olahraga ringan di teras rumahnya, menghirup udara yang masih bersih dan dingin. Gerakan-gerakan peregangan itu terasa begitu menenangkan. Ia mengangkat tangan ke atas, memutar leher, lalu membungkukkan badan.
"Lumayanlah buat pemanasan," gumamnya, tersenyum kecil.
Ia lalu melakukan push up dan sit up secukupnya. "Satu... dua... tiga... empat... lima… ah, punggungku masih sakit ternyata." Ia mengakhiri olahraga ringannya dengan beberapa gerakan yoga.
"Semoga hari ini jadi awal yang baik," bisiknya.
Saat langit mulai terang, ia masuk ke dalam rumah, mandi, dan berganti pakaian. Ia kemudian berjalan ke dapur untuk membuat sarapan.
Ia melihat ke dalam kulkas, isinya hanya ada telur. Bahan makanan yang ia beli sebelum kecelakaan tidak ada dan itu wajar karena dia belum sempat pulang dan menaruh belanjaannya ke dalam kulkas tersebut dan sekarang tidak tahu ada dimana belanjaannya itu.
Ia mengambil dua butir telur, lalu memecahkannya ke dalam mangkuk. Ia menambahkan sedikit garam, lalu mengaduknya. Ia kemudian menyalakan kompor, meletakkan wajan di atasnya, dan menuangkan sedikit minyak. Setelah minyak panas, ia menuangkan adonan telur ke dalam wajan. Kurang dari lima menit, telur gorengnya sudah matang.
Ia mengambil nasi dari rice cooker, menaruhnya di atas piring, lalu menaburi garam dan sisa minyak dari penggorengan. Ia mengaduk-aduk nasi itu hingga merata, lalu meletakkan dua telur goreng di atasnya.
Ini adalah makanan super ekstrem hemat hasil kreasinya sendiri.
"Lumayan enak, bisa mengganjal lambung," gumamnya, bangga.
Setelah sarapan, ia bersiap-siap untuk pergi ke bank INI. Tujuannya: melunasi utang dan mengambil sertifikat rumahnya yang selama ini menjadi jaminan.
Ia berpakaian rapi, sama seperti kemarin. Ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana kain. Setelah memastikan kompor dan listrik sudah aman, ia keluar rumah.
Ia berjalan menuju halte bus kota yang tak jauh dari rumahnya. Ia akan naik bus ke bank INI yang berada di pusat kota Yogyakarta. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia percaya, ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Putra_Andalas
blum apa² sdh Goblok...knpa tadi gk sekalian buka Rekening & ATM 😂
2024-06-29
0
Tan Koto
Wajar ada perbedaan pendapat dalam suatu urusan dan tidak cocok dikatakan sebagai lebay , karena opini dari sisi manapun boleh dimunculkan apalagi isu tentang saham ini termasuk dalam pembahasan fikih kontemporer dalam pelajaran agama islam
2022-08-20
3
Zafrullah Effendy
bukan riya, tapi riba
2022-07-26
4