Di sinilah keduanya berada, di hamparan sawah yang luas. Dena berdiri di pematang sawah agar terhindar dari beceknya tanah.
"Ini beneran nyari belutnya di sini?" tanya Dena sekali lagi. Gadis itu tampak ragu. Maklum orang kota yang maunya instan saja. Ia belum merasakannya asik bergelut dengan sawah-sawah.
"Trus, mau nyari di mana? Di kolong jembatan mana ada."
Dena hanya mendengus kesal. Niat hati hanya ingin berjalan menyenangkan hati eh ini malah mendapat hukuman yang membuat hatinya kesal.
"Emangnya ada belut di sawah?" tanya Dena.
"Ada. Ayok! Sini turun, cari sama-sama." balas Fairel sambil mengulurkan tangannya.
"Kotor banget." keluh Dena.
"Enggak kok. Ini asik, coba aja sini turun." bujuk Fairel sekali lagi.
Dena tampak ragu, ia menerima uluran tangan Fairel. Namum, sebelum itu ia melepaskan sendalnya terlebih dahulu.
Saat kakinya pertama kali menginjak sawah, ada rasa geli yang membuat kaki gadis itu gatal. Licin, becek, berlumpur tentunya.
"Ihh! Kotor, Rel." adu Dena sembari mengangkat kakinya sebelah.
"Cuman tanah doang ini, bukannya kotoran sapi." balas Fairel sedikit menertawakan Dena.
"Sekarang kita nyari cacingnya dulu ya untuk umpannya." ujar Fairel seketika membuat Dena bergidik. Gadis itu paling anti dengan yang namanya cacing dan sejenisnya.
"Lo aja deh, Rel, yang nyarinya. Gue tunggu di atas aja ya?"
"Enggak, enggak. Lo harus ikut nyarinya."
"Masalahnya gini loh, Rel. Gue tuh geli sama cacing." sahut Dena.
"Coba aja, pasti lama-lama nggak geli kok." rayu Fairel.
"No no no no no!! Big no! Pokoknya gue gak mau megang cacing. Titik no debat." ujar gadis itu menolak.
"Yaudah, lo tunggu di atas aja biar gue yang nyari cacingnya."
Dena hanya melihat apa yang di lakukan Fairel. Gadis itu meringis mengeluarkan ekspresi gelinya. Ia memejamkan kedua matanya saat pemuda itu mengangkat tinggi-tinggi cacing yang telah ia dapatkan.
Pemuda itu mendekati Dena yang sedang duduk di pematang sawah beralaskan sendalnya. Sontak saja Dena siap siaga.
"Lo mau ngapain, Rel? Jangan deket-deket, jauhan dikit lah!!" titah Dena. Fairel mengabaikan itu, timbul niat jahilnya untuk menakuti Dena mengingat gadis itu sangat takut dengan cacing.
"Ini coba tolongin gue buat nariknya biar cacingnya putus." ujar Fairel mendekat dengan cacing yang betah di tangannya.
"No! Jangan deket-deket. Awas aja lo!" seloroh gadis itu semakin menjauh.
"Ini nggak ada apa-apa loh, Na. Pegang dulu siapa tau nanti kamu suka." celetuk Fairel tertawa.
Suka? Yang bener aja Dena harus mengakrabkan dirinya dengan hewan itu. Melihatnya saja sudah gemeter apalagi menyentuhnya, sudah dipastikan gadis itu akan langsung pingsan.
"Lo jangan macam-macam, Rel. Ntar gue aduin ke Kakek gue kalo lo masih ngeyel." ancam Dena lalu mundur lagi ke belakang.
"Yaudah nih enggak lagi deh."
"Beneran ya? Awas aja kalo boong. Gue pintes kepala lo."
"Wehh... ngeri kali."
"Yaudah, jauhin itu cac---"
"Aaakkkhhhh... Rel..."
Brukkk
Keduanya jatuh tepat di atas pematang sawah yang memiliki tinggi dibawah lutut. Fairel yang niatnya ingin menolong malah ikut terjerembab bersamaan dengan Dena. Cacing yang ia pegang entah ke mana terlemparnya.
Kaki mereka berdua terjuntai ke tanah sawah sedangkan badannya di atas pematang sawah. Dena mengernyitkan dahinya saat mereka ada benda lunak yang menempel di pipinya.
Gadis itu meraba pipinya dan mengambil benda yang melekat itu. Seketika ia berteriak histeris, melemparkan hewan bertubuh panjang itu ke udara. Mendorong tubuh Fairel hingga pemuda itu jauh sempurna di sawah yang basah dan berlumpur.
"Aarrggghhhhhh... geli huwaaaa... hikssss..." gadis itu berteriak histeris menggosok pipinya berulang kali, ingin sekali ia mengelupaskan kulitnya itu agar rasa itu hilang.
Cacing itu tadi langsung jatuh ke pipinya. Mana itu masih hidup. Bergerak-gerak di pipi Dena. Membuat gadis itu seketika pucat pasi.
"Huwaaaa... Papa... Dena takut..." ujar gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Seumur-umur baru pertama kalinya ia memegang hewan bertubuh lunak dan panjang itu.
Fairel yang kotor langsung bangkit. Mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, mengenai kulit ditubuhnya yang langsung membuat bulu kuduk pemuda itu merinding karena sejuk.
"Lo gak pa-pa?" tanya Fairel mendekati Dena yang masih histeris.
"Huhuuhuhuuu... takutt." tubuh gadis itu bergetar.
Fairel menjadi bersalah dibuatnya. Setakut itukah gadis itu dengan cacing?
"Lo... jangan nangis lagi dong. Ntar gue dituduh abis ngapa-ngapain lo lagi." ucap Fairel.
"Lo jahat banget sih, Rel. Gue tuh takut, geli, sama cacing. Tapi, lo masih aja ngeyel." balas Dena yang kini sudah melepaskan kedua tangannya dari wajahnya.
"Ya, maaf. Gue kan gak tau kalo lo ampe begini. Yaudah deh, gue aja yang mancing belutnya. Lo tunggu aja di sini." seru Fairel.
"Baju lo basah?"
"Kan lo yang dorong gue. Gak pa-pa deh sekalian ntar mandi di sungai." jawab Fairel.
Dena hanya diam melihat Fairel yang memancing belut di sawah. Cukup lama mereka menunggu hingga sebuah suara tertangkap jelas di telinganya.
"Cu, kamu ngapain di sini?" tanya Kakek yang datang sambil membawa cangkul di pundaknya.
"Nyari belut, Kek. Kakek mau pulang?"
"Iya. Matahari sudah terik. Kakek gak kuat lama-lama di sawah." ujar Kakek berdiri di samping Dena.
"Kakek pulang lah duluan. Dena lagi nungguin Arel dulu."
"Kamu kenal anak nakal itu?" tanya Kakek terkejut.
"Baru tadi, Kek, kenalnya. Noh gara-gara dia maling mangga trus kena hukum eh Dena malah ikut-ikutan."
"Yaudah. Kakek pulang dulu ya? Kamu jangan lama-lama mainnya."
"Hati-hati, Kek." jawab Dena melihat Kakeknya perlahan melangkah jauh.
"Rel, udah belum?" tanya Dena setengah berteriak.
"Iya, nih udah. Lumayan dah bisa dibagi dua." jawab Arel lalu membawa belut hasil pancingannya.
"Wuih! Gede juga belutnya." seru Dena takjub.
"Ya iyalah gede. Lha wong gue yang tangkap." balas Fairel menyombongkan diri.
"Udah, yuk kita pulang. Antar belutnya dulu takut pak somat marah karna kelamaan nunggu."
Mereka berjalan beriringan sambil Fairel membawa belut di dalam wadah berukuran sedang. Saat sudah selesai menyerahkan belut itu, mereka berdua langsung menuju sungai yang tidak jauh berada dari sana.
"Lo gak ikut nyebur juga?" tanya Fairel yang hanya menyaksikan Dena duduk di bebatuan besar sambil kakinya ia masukkan ke air.
"Enggak ah, ribet kalo cewek mah." balas Dena sambil kakinya ia goyangkan.
"Oh iya. Lo tinggal di mana? Warga baru ya, soalnya gue baru liat lo di sini."
"Gue cucu Kakek Hari, lo tau kan?"
"Ooo, cucu Kakek Hari, tau tau." Fairel hanya ber'oh saja.
"Udah siang nih. Gue balik dulu ya? Takut nanti Kakek nyariin di rumah. Lo gak pa-pa kan gue tinggal sendirian di sini?" sahut Dena sambil mengangkat kakinya keluar dari dalam air sungai.
"Iya, gak pa-pa. Hampir lupa. Tuh belutnya lo bawa balik aja ke rumah. Tadi udah gue bagi sama pak somat." ucap Fairel menunjukkan kantong yang ia simpan di dekat batu.
"Btw, lo tau kan jalan pulang? Takutnya lupa trus nyasar deh ke kampung sebelah." ucap Fairel asal.
"Lo... kira-kira dong kalo ngomong. Gue gak pikun ya!" sungut Dena kesal.
"Kali aja pikun abis pegang cacing tadi di sawah." Fairel senyum-senyum menertawakan gadis itu.
"Dah lah. Balik gue... Lo jangan lama pulangnya takut ntar diculik siluman ular."
Dena langsung berlalu meninggalkan Fairel yang tertawa akibat perkataannya tadi.
.
.
.
hmmhhh 😂😂cacing 👀👀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
azril arviansyah
gara2 mangga jadi kenal cacing deh he..he
2022-07-17
1
𝓐𝔂⃝❥Ŝŵȅȩtŷ⍲᱅Đĕℝëe
Jangankan Dena, aku aja pasti juga teriak kenceng karena cacing itu kena muka 😂😂
2022-06-18
1
🅝︎🅐︎🅝︎🅐︎🅩︎ Hiat🍀⃝⃟💙
ish gelay cacing..jail bgt arel
2022-06-18
1