Jam istirahat kali ini Agatha memilih untuk tetap tinggal di kelas. Perutnya sakit, datang bulan selalu membuatnya tersiksa.
"Ke kantin, gak?" tanya Chacha.
"Males, perut gue sakit." Agatha meringis sembari memegang perutnya dengan kedua tangan. Dia menunduk, menyandarkan kepalanya pada meja. Sesekali memejamkan matanya menahan rasa sakit.
"PMS, ya? Yaudah gue temenin." Chacha memang sahabat yang pengertian.
"Mau gue ambilin obat, gak? Atau kita ke UKS aja?"
"Enggak usah, Cha," tolak Agatha. Dia paling benci meminum obat.
Kelas XI IPA 1 terasa sepi. Hanya ada beberapa teman sekelasnya yang tetap tinggal. Kebanyakan dari mereka pasti pergi ke kantin untuk mengisi perutnya. Sama seperti Agatha, sebenarnya dia lapar. Tetapi gadis itu terlalu malas untuk berjalan ke kantin yang jaraknya lumayan jauh dari kelasnya.
"Elvan lagi ngapain, ya?" gumam Agatha. Sudah dua hari mereka tidak bertemu. Sejak kejadian pagi itu, Agatha memilih untuk menenangkan hatinya.
Chacha yang mendengar gumaman Agatha pun membalas, "Elvan mulu pikiran, lo."
Agatha mendengus, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menghentikan otaknya agar tidak memikirkan Elvano lagi.
"Gue kangen banget sama Elvan. Rasanya pengen peluk dia."
Agatha menopang dagunya dengan kedua tangan. Tatapannya menerawang, mencoba membayangkan bagaimana rasanya jika dia benar-benar bisa memeluk tubuh Elvano. Ah, pasti rasanya sangat nyaman menyandarkan kepalanya di dada bidang pemuda itu.
"Sadar, woy! Dia gak mau sama, lo. Berhenti halu," ejek Chacha.
Agatha berdecak kesal, Chacha memang selalu mengganggu kesenangannya.
"Jahat banget, lo. Lihat aja nanti. Gue bakal naklukin Elvan sampai dia sendiri yang ngemis-ngemis cinta ke gue," ujar Agatha yakin. Dia tersenyum miring. Jangan panggil Agatha kalau dia tidak bisa membuat Elvano mencintainya.
Semangat Agatha kembali setelah dua hari ini merenung. Kali ini dia tidak boleh mudah menyerah.
Chacha kesal, sahabatnya ini sangat keras kepala. Padahal dia sudah sering meminta Agatha untuk menyukai orang lain saja.
Meski Agatha tau akhirnya akan kembali kecewa, tetapi dia tidak peduli. Masih ada kemungkinan Elvano membalas cintanya, kan? Selagi pemuda itu tidak mempunyai pacar, maka Agatha tidak akan berhenti.
"Kapan lo sadar? Semua itu cuma harapan lo aja, Tha. Nyatanya udah setahun lebih, tetep aja dia gak bales perasaan, lo."
Chacha meminta maaf dalam hati. Sebenarnya dia tidak tega mengatakan ini pada Agatha, tapi dia harus mengatakannya. Agar Agatha tidak semakin sakit hati nantinya.
"Lo nggak capek, Tha?"
Agatha terdiam. Memikirkan ulang tentang apa yang harus dia lakukan setelah ini. Membuang perasaannya tidaklah mudah.
Kilasan masa lalu tentang pertemuan pertama mereka membuat Agatha tersenyum sendu. Agatha jatuh cinta sejak pertama kali bertemu dengan Elvano. Saat itu, dia masih berada di kelas X sedangkan Elvano kelas XI.
Pagi itu, Agatha terjatuh di depan gerbang sekolah. Ada seorang murid yang tidak sengaja menyerempet Agatha. Saat itulah pertama kalinya Agatha mengenal Elvano.
Sosok kakak kelas yang menolongnya dengan tulus. Menggendongnya menuju UKS. Walaupun tidak ada senyuman yang Elvano tunjukkan, tetapi tetap saja wajah datar itu mampu memikat hati Agatha dalam sekali tatap.
Hari itu menjadi hari yang membahagiakan untuk Agatha. Pepatah yang mengatakan cinta pada pandangan pertama itu ternyata memang ada. Buktinya, Agatha merasakannya.
Berbeda dengan Elvano, dia justru menyesal karena telah menolong Agatha. Sejak kejadian itu, Agatha selalu mengganggu hari-harinya. Awalnya hanya sekadar menyapa, memberikan bekal, ataupun bunga.
Semakin lama, Agatha semakin berani. Gadis itu selalu mengikuti kemana pun Elvano pergi. Mengoceh tentang banyak hal meski tidak ada jawaban sama sekali. Membuat Elvano muak dengan segala tingkah laku Agatha.
Sudah satu tahun berlalu, tidak ada yang berubah selain Elvano yang semakin membencinya. Agatha yang selalu mendekat, sedangkan Elvano yang selalu menjauh.
Agatha menghela napas, memikirkan itu semua membuat kepalanya berdenyut sakit. Rasa sakit di perutnya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
"Jujur, gue capek banget. Tapi gue udah terlanjur cinta. Jadi mau gimana, dong?" Agatha menatap Chacha dengan pandangan bertanya.
"Cowok di dunia ini ada banyak. Kenapa harus Elvano?"
Agatha menatap langit-langit kelas, "Hati tidak bisa memilih kemana ia akan berlabuh, Cha."
"Halah, sok puitis," cibir Chacha.
Agatha terkekeh, memang benar. Jika bisa, Agatha tidak ingin memiliki perasaan pada seseorang yang tidak mencintainya. Andai semudah itu membalikkan perasaan, Agatha memilih untuk tidak mencintai Elvano.
Kali ini Chacha menatap Agatha dengan pandangan serius.
"Jangan terlalu berharap, Tha. Lo gak mau kecewa lagi, kan? Lo tau pasti gimana rasa sakitnya."
"Iya, gue tau."
"Gue cuma gak mau liat lo nangis gara-gara cowok. Selama ini, lo udah sia-siain air mata lo cuma buat nangisin cowok gak tau diri kayak Elvano."
"Iyaa Chachaaa. Perhatian banget deh, jadi terharu." Agatha tersenyum lebar menatap Chacha.
"Gue serius, Agatha!" tegas Chacha.
Agatha memeluk Chacha dengan erat. Dia bersyukur memiliki Chacha.
"Makasih, ya. Lo selalu ada buat gue. Makasih udah mau jadi sahabat terbaik buat gue," bisik Agatha di telinga Chacha.
Chacha membalas pelukan Agatha tak kalah erat. Dia berjanji pada dirinya sendiri, apapun yang terjadi, dia tidak akan pernah meninggalkan Agatha.
"Lo ngomong apa, sih? Kita udah sahabatan dari kecil. Kalau Lo bahagia gue juga bahagia. Kalau lo sedih gue juga sedih."
"Makasih, Cha," gumam Agatha.
"Makanya sekarang gak usah galau-galau terus. Lo gak sendirian, ada gue di sini." Chacha menepuk pelan kepala Agatha seakan-akan sedang menasehati adiknya.
Diam-diam Agatha meneteskan air matanya. Gadis itu terkekeh, akhir-akhir ini dia sangat cengeng.
"Gue terharu, sumpah!"
Chacha tertawa, Agatha sungguh tahu caranya merusak suasana.
...***...
Teruntuk para bestie ku, terima kasih banyak :3
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
istrinya THV 🐻💜
pengen punya teman jaya chaca 😔 pasti senang yah nga tha ☺
2022-06-05
0