Bagi sebagian orang, cinta laksana dogma, hingga menggiring otak manusia untuk bersikap impulsif—cenderung bodoh.
Novi Wu
**
Haura hanya bisa menelan ludah saat mendengar kalimat menyakitkan dari mantan suaminya, pria itu sama sekali tidak memiliki belas kasih sama sekali, padahal dia tahu betul—Haura tidak memiliki tempat tinggal, rumah satu-satunya peninggalan mendiang sang ibu, telah dijual untuk memberi mobil sport mewah berwarna silver yang terparkir di depan rumah. Haura pasrah, dan mengais baju-bajunya yang berserakan di atas tanah, sembari menahan air mata yang akan menguar. Di dalam benak wanita itu, dia tidak boleh terlihat lemah, atau mantan suami dan ibu mertuanya akan menertawakan air matanya. Haura berdiri dengan sikap percaya diri.
"Baiklah. Aku akan keluar dari rumah ini," ucap Haura, berbalik badan dan hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar hinaan dari mantan mertuanya yang sangat kejam.
"Bagus... wanita sepertimu, memang pantas menjadi gelandangan!"
Haura meremas kain bajunya yang ia peluk, bahkan wanita itu menggerakkan gigi-giginya karena terlalu marah dengan ucapan yang keluar dari mulut kotor Delarosa. Haura lebih memilih pergi, dan tancap gas menuju ke sebuah pom bensin tidak jauh dari rumahnya. Di dalam mobil butut satu-satunya, mantan istri Theo itu hanya bisa menangisi kebodohannya.
Mengapa dulu dia mau menikah dengan pria durjana itu? Untuk apa dia menerima lamarannya? Haura terus memukul-mukul kepalanya sendiri, dan karena lelah dia pun tertidur hingga malam menjelang. Wanita itu terbangun karena suara air hujan yang begitu deras mengenai atap mobilnya hingga menimbulkan suara bising. Haura terkesiap—dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, dia hanya memegang uang lima puluh dollar saja, dan pasti itu tidak cukup untuk hidupnya satu minggu ke depan. Haura harus putar otak, apakah dia harus kembali ke perusahaan CEO sombong itu? Tapi Haura sudah meninggalkan kesan kurang menyenangkan di sana.
"Haura... kau memang wanita bodoh!" gumamnya, mengumpat diri sendiri, sembari memukul-mukul setir mobilnya.
Sekarang apa yang dia harus lakukan? Dia sudah tidak memiliki uang, dan bahkan tempat tinggal, hanya mobil ini saja yang dia punya. Oh, tidak... cobaan macam apa ini?
Haura mulai menjalankan mobilnya tidak tentu arah, tanpa dia sadari Haura berhenti di sebuah pelataran parkir di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Tadpole. Wanita itu merebahkan tubuhnya dan kembali tidur, karena rasa kantuk yang kembali menyerang. Setidaknya di sini lebih aman pikirnya, karena di depan kantor ini ada pos security yang akan menjaga gedung ini selama dua puluh empat jam, jadi mungkin dengan memarkirkan mobilnya di sini untuk malam ini saja, mereka tidak akan tahu dan menganggap Haura sebagai penyusup.
**
Sementara itu di tempat yang berbeda, Alden, Josep, dan Angeline tengah duduk di sebuah bar. Mereka bertiga terlibat obrolan yang santai, layaknya para pekerja kantoran yang menghabiskan malam panjang di tempat ini--pembicaraan mereka semua tertuju pada siapa sebenarnya Haura Oxlay, untuk apa bos mereka berdua sangat ingin mewawancarai sendiri calon karyawan itu, padahal selama ini Alden tidak pernah memikirkan tentang penerimaan karyawan baru. Apalagi untuk urusan bagian marketing, hal itu sungguh membuat Josep dan Angeline sedikit bingung tentunya.
Ketiganya adalah sahabat sejak sama-sama kuliah di luar negeri, Josep dan Angeline memutuskan untuk bekerja dengan Alden si bos yang super perfeksionis ini. Karena merasa jika bekerja di perusahaan ini adalah passion mereka, dan untuk Josep dirinya memang ingin membalas budi baik keluarga Alden yang telah memberinya bea siswa hingga dirinya bisa melanjutkan studi di luar negeri.
"Ada rahasia apa, antara kau dan wanita itu, Alden? Hingga kau harus repot-repot mewawancarainya secara langsung," pungkas Angeline yang merasa jika sahabatnya kali ini benar-benar aneh karena tidak seperti biasanya--Alden selalu bersikap profesional.
"Tidak ada. Aku hanya ingin melihat kualitas karyawan baru itu saja," jawab pria itu tegas, sembari menenggak sampanye yang berada di gelas kristal yang sejak tadi dia genggam.
Meskipun jawaban Alden tidak membuat dirinya puas. Akan tetapi dia tidak ingin ikut campur masalah kantor dengan Alden--karena yang dia tahu jika Alden akan selalu profesional dalam segala tindakan.
Angeline memang telah lama memendam perasaan kepada Alden sejak masa kuliah, maka dari itu dia terus mengikuti Alden ke manapun pria itu pergi.
***
Haura terbangun ketika mendengar sebuah ketukan di kaca mobilnya, dia mengerjapkan mata menatap siapa yang berani membangunkan tidur nyenyaknya. Sejak semalam wanita itu memang sengaja membuka kaca mobilnya sedikit, untuk ventilasi udara agar dia tetap bernapas.
Haura sangat terkejut ketika dia orang security datang menghampirinya dengan wajah yang terlihat aneh.
"Selamat pagi, Madame," sapa salah satu dari dua orang itu.
Cepat-cepat Haura memutar kaca mobilnya agar terbuka, dengan canggung ia menjawab, "Selamat pagi."
"Apakah ada masalah sehingga Anda tidur di pelataran parkir perusahaan kami?" tanyanya lagi.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja tertidur di sini. Kalau begitu lebih baik saya pulang, karena keluarga saya pasti sedang menunggu," jawab Haura lagi. Kedua security itu hanya diam melihat keanehan Haura.
Haura memilih kembali ke tempat pengisian bahan bakar, untuk sekadar membersihkan tubuh menumpang toilet umum di sana. Ia bertekad akan kembali ke perusahaan De Beauty, untuk kembali menemui CEO perusahaan tersebut, berharap bagian marketing kemarin belum terisi.
Wanita itu keluar toilet dengan pakaian seadanya yang dia bawa, ia memakai stelan rok pendek berwarna hitam, dan blezer yang sejak kemarin ia pakai. Dia pergi menuju perusahaan Alden Walsh, dia harus merendahkan diri agar pria tidak waras itu mau menerimanya, Haura harus bersabar hingga bulan depan, setelah ia mendapat gaji, dia akan menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota.
Seorang resepsionis yang kemarin menyambut Haura nampak tersenyum seolah ia mengingat Haura, wanita yang kemarin menemui bosnya untuk melamar pekerjaan.
"Selamat pagi Nona Haura," sapanya ramah.
Haura hanya bisa diam, ternyata ingatan si resepsionis ini sangat tajam, dia mengenali sudah mengenali Haura.
"Selamat pagi," jawab Haura sungkan.
"Tuan Alden sudah menunggu Anda di ruangannya," jawabnya lagi dengan ramah.
Mata Haura terbelalak, bagaimana bisa Alden tahu ia akan kembali, dan apakah dia tidak marah dengan sikap Haura tempo hari? Atau mungkin dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat?
Jantung Haura berdegup dua kali lebih cepat, ia melangkahkan kaki dengan lutut yang bergetar menuju lift yang akan membawanya ke ruangan Alden Walsh.
Beberapa kali dia membetulkan pakaian, dan rambutnya yang berwarna coklat itu. Dia mengatur napas agar tetap tenang dan mencoba biasa saja--hingga pintu lift itu terbuka lebar.
Haura melangkahkan kaki berjalan keluar, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan semua aman. Namun, yang ia lihat seolah lorong besar itu sepi seolah tidak ada satu pun orang yang ada di sana. Tentu saja hal itu membuat Haura semakin gugup. Haura berjalan pelan, hingga heels setinggi tiga sentimeter yang ia kenalan menimbulkan suara, yang membuat seseorang menyadari kedatangan Haura.
"Nona Haura Oxley?" tanya seorang wanita menyapa Haura.
"Ya, saya."
"Tuan Alden sedang menunggu Anda di ruangannya. Mari saya antar," ucap Angeline yang tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya.
Haura mengekor di belakang wanita cantik dengan rambut hitam panjang lurus itu. Langkah kakinya bahkan bak model yang tengah berjalan di atas catwalk, sementara penampilannya luar biasa anggun dan bau parfum yang dia kenakan sangat wangi, tapi tidak menusuk hidung--malah terkesan rileks.
"Silakan, Nona." Angeline mempersilakan Haura masuk, saat Haura membuka pintu, ia melihat seorang pria tengah berdiri di hadapan Alden tengah membacakan jadwal harian untuk pria itu.
"Kau datang." Sapaan Alden membuat pria tadi menghentikan kalimatnya, lalu matanya menyambar wajah Haura yang tidak bisa digambarkan olehnya.
"Kalau begitu saya permisi, Tuan," jawab pria berkaca mata itu, membungkuk memberi hormat dan pergi melewati Haura, tentu saja bau maskulin merangsek masuk ke indera penciuman Haura saat pria itu berjalan di samping Haura , bahkan pria itu juga sangat tampan sama seperti Alden yang duduk di meja kerjanya.
"Kau kembali?" tanya Alden, wajahnya yang tadinya biasa saja kini kembali memperlihatkan ekspresi ironi yang mengejek Haura.
"Ya... Saya pikir, saya membutuhkan pekerjaan ini," jawab Haura merendahkan suaranya.
Alden berdiri dan menghampiri Haura, memindai tubuh wanita itu dari atas hingga ke bawah, dia berhenti tepat di hadapan Haura, tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya.
"Bawa ini! Beli sesuatu dan pergilah ke salon untuk merubah penampilanmu!" perintah Alden, memberikan sebuah kartu kredit berwarna hitam untuk Haura.
To be continue~
Satu like dan komentar dari BesTie bisa membuat aku semangat untuk update~
Terima kasih sudah membaca kisah Alden dan Haura.
luv,
Novi Wu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Emy Chumii
mampir kesini karena recommend dari mommy Ar 🙏😊
2024-01-27
2
Nuraini Aini
kurang suka dgn karakter haura terlalu lemah gampang ditindas terlalu pasrah
2023-02-18
0
Mari Anah
duh...duh...duh blm kerja udh dpt black card,,hayuuu haura rubah penampilan mu byr semua mata tertuju pd mu😉
2023-01-19
0