Saat hidup mulai rapuh, nyawapun akan jadi taruhan untuk mengakhiri semuanya. Tiada kata lagi yang bisa terucap saat diri ini benar-benar telah berancang-ancang akan menceburkan diri. Mata kuusakan terpejam, dengan nafas menghirup udara sebanyak-banyaknya agar bisa melepaskan segala sesak didada yang sudah lama tertahan. Tangan sudah terbentang lebar-lebar, untuk mencoba mengenggam tiupan angin untuk yang terakhir kalinya.
"MAAF," Satu kata yang terlontar dari mulutku saat detik-detik siap akan meluncur ke bawah.
Kaki sudah terjuntai siap untuk melompat segera.
"HENTIKAN! Apa yang kamu lakukan?" teriak seseorang yang kini telah memegang tanganku, yang sudah ingin jatuh bersiap menyentuh air.
"Lepaskan aku, lepaskan!" pintaku menangis pilu.
"Aaaah, kamu jangan gegabah begini. Saya tak akan pernah melepaskan tanganmu ini," balas cakap orang yang sedang berusaha sekuat tenaga memegang tanganku disebelah kiri.
Tubuh sudah bergoyang-goyang terjuntai ingin segera jatuh, namun sayangnya tak bisa.
"Aku mohon, pak. Biarkan aku mati saja!" ucapku memohon.
"Ngak bisa, nak!" cakap beliau dengan raut wajah mringis kesusahan, akibat menahan berat badanku.
"Lapaskan aku, pak!" pintaku lagi.
"Aaah ... ayo ke sini, cepaaat. Angkat tubuhmu mengikuti tarikan tanganku," ujar beliau berusaha menyelamatkanku.
Hanya geleng-gelengan kepala secara kuat yang dapat kulakukan sekarang, sebab tak ingin bapak-bapak yang menahan tanganku untuk menolong nyawaku.
"Aku mohon, pak. Aku mohon ... aku mohon, biarkan aku mati saja. Jadi jangan selamatkan aku. Lepaskan 'lah tangan ini," pintaku lagi saat tubuh kian lama kian ditarik kuat keatas, oleh orang yang berusaha menyelamatkanku.
"Kamu ngak usah banyak meminta. Haaaah ... heeeh, ayo ... ayo naaaaiiiiik. Sedikit lagi ini, supaya kamu bisa terselamatkan," ucapan bapak itu kelelahan saat masih sibuk berusaha menyelamatkan nyawaku.
Mata kini hanya bisa melihat takjub, saat bapak-bapak yang mau menolong telah kewalahan menarik tubuhku. Netra tak luput juga melihat ke arah bawah sungai yang masih mengalir deraskan air, dimana lama-kelamaan air itu telah jauh dari terjuntainya tubuhku akibat tarikan orang yang mau menyelamatkan.
"Bismilah, heeeh ... heeeh! Alhamdulillah ... heeeh, akhirnya neng terselamatkan juga," ujar beliau kelelahan dengan nafas tersengal ngos-ngosan, sebab sudah berhasil menarik tubuhku keatas lagi.
Badan sudah luruh terduduk. Diri ini hanya bisa menangis pilu dengan tersedu-sedunya, sebab tak jadi meninggal. Kudongakkan kepala keatas mencoba mencari jawaban atas takdir apalagi yang terjadi padaku sekarang.
"Haaaah ... aaaa'aaa!" teriakku sekencang-kencangnya dengan tangisan yang kian menjadi-jadi.
"Neng ... neng, sudah ... sudah, kamu jangan menangis begitu lagi. Tak baik menangisi takdir yang sudah ditentukan oleh tuhan, bahwa kamu masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup didunia ini. Janganlah menyesali semua kejadian bahwa kamu tak jadi mati. Tenangkan dirimu, ambil nafas perlahan-lahan dan dalam-dalam biar tenang," ujar bapak yang menolongku.
Hujan yang sempat lebat telah turun, kini seketika terhenti juga. Namun baju kami berdua telah basah kuyub akibat guyuran yang tadi sempat tak berhenti-henti.
"Tapi pak. Seharusnya bapak tadi tak usah menolongku. Beban hidupku begitu berat sekali, yang akan kutanggung sekarang! Jadi aku tak akan sanggup menjalaninya nanti dan sekarang biarkan aku mati saja," ujarku yang kini sudah berdiri lagi, mencoba berjalan ke jembatan untuk bunuh diri lagi.
"Tunggu ... tunggu, neng. Jangan lakukan itu, bapak mohon!" cegah beliau mencekal tanganku agar tak melompat bunuh diri lagi.
"Tenang ... tenang dulu, neng. Kamu jangan gegabah begini. Tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, semua harus dilakukan dengan sikap bersabar agar kita bisa melewati badai ujian dari Allah. Neng jangan patah semangat begitu, ada bapak yang akan siap membantu kamu, ok. Kalau begitu tenangkan pikiran kamu dulu, dan kamu bisa ikut bapak pulang ke rumah sekarang, agar pikiran kamu lebih jernih lagi, gimana?" tanya beliau dengan sifat mencoba menenangkanku.
"Tapi pak---?" jawabku ragu.
"Ayolah neng. Bapak bukan orang jahat, kok! Mari ikut kerumah saya, ngak jauh cuma dekat-dekat sungai ini. Mari ikut bapak!" tawar beliau menyuruh.
"Tapi, pak. Bapak tidak kenal sama sekali diriku, apakah aku ini orang jahat atau tidak. Yang jelas bapak ngak takut kalau aku ini orang jahat?" jawabku mencoba menolak secara halus.
"Percayakan semua pada Allah. Bapak yakin sekali kalau kamu ini orang yang baik, sebab dalam bathin hati bapak mengatakan bahwa kamu ini orangnya kelihatan ramah dan jujur" jawab beliau yakin terhadapku.
"Tapi, pak!" jawabku ragu.
"Ayolah neng, jagan takut sama bapak. Kamu kelihatan sudah mengigil sekali, mari ikut saya dulu. Kalau kamu sudah ganti baju, neng bisa melanjutkan langkah apa yang diambil selanjutnya termasuk bunuh diri itu," tutur kata beliau ramah sambil sumringah tersenyum.
"Baiklah, pak!" jawabku lemah menurut saja atas perintah bapak-bapak yang baru kukenal.
Langkah berjalan perlahan-lahan mengiringi dari belakang bapak yan telah menolongku barusan. Tangan dari tadi hanya bisa bersedekap diatas perut, atas dinginnya tubuh yang sudah terlalu lama terkena air hujan. Mata terus saja melirik kanan kiri mencoba melihat rumah-rumah kecil namun kelihatan damai, tidak seperti hiruk pikuk kota yang sempat menjadi tempat tinggalku.
"Nah, neng. Kita sudah sampai kerumah bapak. Mari masuk!" perintah beliau menyuruh.
"Hemm," jawab senyuman kecutku akibat mengigil dingin, sambil mata mencoba menerawang rumah yang bangunannya kecil namun cukup bersih sekali.
"Assalamualaikum!" ucap salam bapak yang tak tahu namanya, sedang mencoba masuk ke rumahnya sendiri.
"Walaikumsalam," jawab suara perempuan dari dalam rumah beliau.
Ceklek, pintu telah dibuka perlahan-lahan dari dalam.
"Eeh, bapak sudah pulang. Bapak baik-baik saja 'kan, habis menerobos hujan? Maaf ya pak, tadi ibu tidak menyiapkan jas hujan sebelum bapak berangkat," cerocos wanita paruh baya menyambut bapak yang menolongku.
"Ngak pa-pa, bu."
"Oh ya. Mari sini neng, masuk rumah bapak," tawar beliau.
Hanya tatapan heran saja yang dapat kulakukan sekarang, yaitu saat netra telah mencoba menjelejah pemandangan sekitar rumah.
"Siapa neng ini, pak?" tanya perempuan yang kemungkinan istrinya.
"Nanti bapak ceritakan. Yang penting sekarang ajak neng ini masuk dalam rumah dulu. Kasihan dia, lihat! Bajunya telah basah kuyup sekali, pasti itu dingin sekali," ujar bapak itu memberikan keterangan pada istrinya.
"Oh iya ... iya, pak. Mari neng, kesini! Ibu akan memberikan pakaian ganti, supaya kamu ngak kedinginan lagi," ujar istri beliau ramah, sambil cekatan menarik tanganku segera.
"Sini neng ... sini!" ajak ibu itu langsung mengandeng masuk rumah.
Kaki hanya bisa berjalan pelan saat ibu yang punya rumah masih tetap ingin menyuruh mengikuti langkahnya.
"Kamu tunggu disitu. Ibu akan ambilkan pakaian yang pas sesuai tubuh kamu, tunggu ya!" ujar beliau ramah.
Diriku hanya bisa terdiam tanpa banyak kata dari sembari tadi, yang mencoba menatap menjelajahi sudut demi sudut rumah orang yang berbaik hati padaku.
"Ini neng, pakailah. Pasti ini cocok ditubuh kamu," ujar beliau menyodorkan kaos berwarna merah dengan rok pendek dibawah lutut.
"Makasih, bu."
"Iya, sama-sama. Ya sudah, kalau begitu. Ibu tinggal dulu sementara kamu ganti baju. Oh ya, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil ibu sama bapak," terang beliau.
"Iya, bu."
"Ya sudah, cepatlah ganti baju dulu, sebab nanti kamu akan sakit akibat baju basah itu," suruh beliau sebelum benar-benar pergi dari kamar ini.
"Iya, bu. Makasih," jawabku.
"Heeem," senyum ramah beliau.
Dengan segera aku telah menganti pakaian basah ini. Baju yang basah sudah kutepikan, agar tetesan bekas kena hujan tak mengotori lantai rumah ini. Dirasa agak tenang, kini aku duduk diatas ranjang sempit sambil wajah melamun, disaat bayangan-bayangan akan bunuh diri telah datang meracuni otakku lagi.
"Ya Allah, apakah tindakanku tadi adalah salah, hingga Engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan perantara orang lain? Tapi, apakah aku bisa menjalani kehidupan ini semua, sementara aku tak punya siapa-siapa lagi? Oh tuhan, berikanlah pertolonganmu agar aku bisa melewati masa-masa sulit ini, disaat tak ada lagi orang-orang yang mendukungku," gumanku dalam hati dengan lelehan airmata yang kembali menganak sungai lagi.
Tok ... tok ... tok, pintu kamar tiba-tiba diketuk seseorang. Seketika tangisan kuhentikan dan mencoba menghapusnya saat lelehan airmata telah jatuh dipipi.
Ceklek, pintu telah terbuka.
"Kamu cepat sekali ganti bajunya, neng!" cakap ibu itu.
"Iya, bu."
"Kamu kenapa?" tanya beliau sambil mengelus-elus rambutku yang masih basah, yang seakan-akan beliau tahu atas kegundahan hati ini.
"Aku ngak pa-pa, bu?" jawabku berbohong.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau cerita. Yang jelas sekarang, ayo ikut ibu kedepan. Kita akan makan bersama bapak didapur," ajak beliau.
"Maafkan saya, bu. Saya sedang tidak lapar," tolakku berbicara halus.
"Jangan begitu neng. Walau kamu tak lapar atau sedang banyak pikiran, parut harus tetap diisi supaya bisa memulihkan tenaga," bujuk beliau.
"Tapi, bu."
"Ngak ada tapi-tapian, ayo mari ikut bergabung makan sama kami," pinta beliau menyuruh.
"Heeh ... baiklah bu, kalau kamu memaksa," Kepasrahanku menurut.
"Naaah, gitu dong dari tadi."
Akhirnya kami bertiga makan bersama-sama disebuah dapur yang ada meja makan dan beberapa peralatan sederhana milik mereka. Kehidupan mereka cukup sederhana tak ada barang-barang mewah, namun aku begitu menyukai suasana ini sebab bersih dan terhindar dari kebisingan hiruk pikuk kota.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
🍒⃞⃟🦅HubabahLilit02•§¢•𝐀⃝🥀
tarik terus kak, rayu pakek permen/Sweat/
2025-01-20
2
ˢ⍣⃟ₛᴀʏᴀɴɢɴʏᴀ'𝐆🍁❤️⃟Wᵃf🤎❣️🧡
ladalah mau bundir ini anak 😱☹️
2025-03-19
0
❤️⃟Wᵃf 🤎ˢʰᵉʸₙᵤᵣ𝒻ₐ₳Ɽ💔
beruntungnya km masih diberikan kesempatan.. tetap optimis jangan menyerah begitu saja...
hadapi semua masalah jangan malah lari dari masalah... Terimakasih orang baik..
2024-12-16
7