Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulah Ayah dan Anak
Siang hari di Perusahaan Hutomo Grup
Suasana ruang rapat lantai tujuh terasa tenang saat Angga Hutomo dan putranya, Marvino, sedang berdiskusi mengenai proses rekrutmen karyawan baru. Beberapa berkas terbuka di meja, dan Angga tengah menjelaskan beberapa catatan penting ketika suara ketukan pintu memecah fokus mereka.
Tok… tok… tok.
“Iya, silakan masuk,” ucap Angga tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas.
Pintu terbuka pelan, menampakkan sosok Doni—kepala divisi audit internal.
“Permisi, Pak. Apakah saya mengganggu?” tanyanya sopan.
“Eh, Mas Doni. Masuk, Mas. Kebetulan ini bukan bahasan yang terlalu penting,” jawab Angga ramah.
Marvino segera berdiri. “Yah, Vino keluar dulu ya.”
“Iya, nanti Ayah panggil lagi kalau diskusinya mau dilanjut.”
“Mari, Pak Doni,” ujar Marvino sambil mempersilakan.
“Mari, Pak Vino,” balas Doni.
Saat Marvino berjalan keluar, Angga memanggilnya singkat, “Vin, panggilkan Bu Noni ya. Suruh buatkan vanilla latte untuk Mas Doni.”
“Baik, Yah,” jawab Marvino sebelum menutup pintu.
“Duh, nggak usah repot-repot, Pak,” ujar Doni dengan senyum canggung.
“Ah, Mas, ini cuma kopi. Anggap saja rumah sendiri,” balas Angga sembari tertawa kecil.
Doni ikut tersenyum, lalu duduk ketika Angga mempersilakan.
“Silakan, Mas. Ada yang ingin disampaikan?” tanya Angga langsung ke inti.
Doni menarik napas panjang. Wajahnya tampak serius.
“Begini, Pak. Saya ingin menyampaikan laporan terkait keuangan anak perusahaan Hutomo. Tepatnya Danandra Grup, yang saat ini dipimpin Pak Alfian.”
Angga langsung menegakkan tubuhnya. “Danandra?”
“Iya, Pak.” Doni membuka map yang dibawanya. “Berdasarkan investigasi selama beberapa bulan terakhir, kami menemukan kejanggalan pengeluaran di Danandra Grup yang berlangsung setidaknya dalam lima tahun terakhir.”
Angga mengernyit. “Kejanggalan seperti apa?”
Doni menjelaskan dengan tenang namun tegas. “Dari penelusuran kami terhadap laporan keuangan lima tahun terakhir, terdapat pola ketidakwajaran yang konsisten pada beberapa pos pengeluaran, terutama biaya operasional dan pengadaan. Ada transaksi yang nilainya meningkat setiap tahun tanpa alasan yang jelas. Beberapa bahkan tidak disertai dokumen pendukung atau invoice valid.”
Angga mulai memijit pelipisnya.
“Lalu?” tanyanya pendek.
“Selain itu, audit internal sebelumnya sempat mencatat perbedaan antara laporan keuangan anak perusahaan dan data yang masuk ke sistem pusat. Namun temuan tersebut berulang terus setiap tahun tanpa ada tindak lanjut perbaikan.”
Doni menyodorkan beberapa lembar laporan. “Selisih total dalam lima tahun terakhir cukup signifikan, Pak. Kalau dibiarkan, ini akan memengaruhi laporan konsolidasi Hutomo Grup.”
Angga membaca cepat dokumen di hadapannya. Raut wajahnya perlahan berubah. Matanya mengeras.
“Kira-kira penyebabnya apa? Kelalaian? Atau…”
“Kami belum bisa memastikan, Pak. Bisa jadi kelalaian administrasi yang berlangsung lama, atau… bisa juga ada indikasi penyimpangan. Karena itu, kami merekomendasikan investigasi lanjutan secara menyeluruh, bila Bapak berkenan.”
Doni menambahkan, “Laporan awal sudah saya kirim ke email Bapak. Bukti pendukung juga ada di sana.”
Angga menutup map itu perlahan, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Wajahnya kini tegang.
Selama ini ia selalu memaklumi tingkah sang adik, Alfian—si bungsu dalam keluarga Hutomo. Namun melihat laporan itu, Angga sadar Alfian telah melangkah terlalu jauh.
“Pantas saja Hutomo Grup selalu merugi selama beberapa tahun ini…” gumamnya pahit. “Ternyata dalangnya orang kita sendiri.”
“Kalau melihat pola yang kami temukan,” lanjut Doni hati-hati, “kemungkinan ada beberapa pihak yang mendukung aksi Pak Alfian. Baik dari Hutomo Grup maupun Danandra. Karena laporan yang diterima pusat terlihat rapi dan profesional.”
Angga mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Ya. Itu yang dari tadi saya pikirkan.”
Ia menarik napas panjang, lalu menatap Doni tajam.
“Mas, lanjutkan investigasinya. Baik Alfian maupun siapa pun yang terlibat harus mendapat sanksi. Saya tidak peduli meski dia adik saya sendiri.”
“Baik, Pak,” jawab Doni mantap.
Diskusi mereka pun berlanjut sebentar mengenai strategi bisnis dan langkah pencegahan ke depan.
Di Kampus Hijau
Siang itu kampus mendadak riuh. Mahasiswa berhamburan menuju area belakang gedung fakultas, tepatnya gudang penyimpanan lama. Namun Tiara, Naura, dan Fadhil, yang baru selesai makan siang, belum mengerti apa yang terjadi.
“Loh, mereka pada kenapa sih, Ti?” tanya Naura bingung.
“Aku nggak tau, Na. Dhil, coba tanya ke mas itu,” ucap Tiara sambil menunjuk salah satu mahasiswa.
Fadhil segera mendekat. “Permisi, Mas. Ada apa ya kok semua orang pada ke belakang?”
Mahasiswa itu menatap Fadhil dengan wajah serius. “Barusan ada mahasiswi yang bunuh diri di gudang. Ramai banget orang ke sana.”
Tiara dan Naura langsung saling pandang, wajah mereka pucat.
Mereka bertiga segera mengikuti kerumunan. Begitu tiba di depan gudang, garis polisi sudah dipasang sementara petugas keamanan menghalau mahasiswa yang terlalu mendekat.
Di dalam, samar-samar terlihat petugas kampus dan beberapa dosen yang tampak panik.
Tiara langsung menutup mulutnya, berusaha menahan tangis.
“Kasihan dia, Na…” Tiara menangis pelan. “Pasti dia menderita banget sampai memilih jalan kayak gini.”
Naura ikut terisak. “Aku nggak bisa bayangin, Ti. Masalahnya pasti berat sekali.”
Fadhil berdiri di samping mereka, menepuk bahu keduanya. “Sudah, sudah. Semoga almarhumah ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Kita ambil hikmahnya saja… walau apa yang ia lakukan memang bertentangan dengan ajaran agama.”
Beberapa menit kemudian, pihak kampus menemukan sepucuk surat di dekat barang-barang korban. Surat itu langsung dibacakan oleh salah satu petugas untuk keperluan dokumentasi.
Isi suratnya membuat semua orang terdiam.
“…Untuk siapa pun yang menemukan surat ini… aku minta maaf. Aku sudah terlalu lelah menyimpan semuanya sendirian. Untuk Ayah dan Ibu, maafkan aku karena tidak bisa menjadi anak yang kuat…”
Tiara memegang tangan Naura lebih erat. Naura hanya menangis tanpa suara.
“…Aku hamil… dan ini bukan pertama kalinya. Aku sudah berkali-kali mengambil keputusan yang salah, dan berkali-kali mencoba memperbaikinya dengan cara yang menyakitiku sendiri…”
Fadhil menunduk, menahan emosi.
“…Teruntuk Aldi Hutomo, aku tidak pernah marah padamu. Yang aku sesalkan, kenapa diriku begitu mudah tergoda. Tanpa sadar aku menaruh cinta di atas harga diriku. Izin membawa janin ini bersamaku. Aldi, di setiap napas dan nyawaku, aku selalu mencintaimu…”
Begitu nama Aldi Hutomo dibacakan, Tiara dan Fadhil langsung menoleh pada Naura yang tampak terkejut.
“Na… kamu kenal?” tanya Fadhil pelan.
Tiara juga ikut menatapnya. “Iya, Na. Itu sepupumu kan?”
Naura tanpa menjawab langsung mengambil ponselnya, memotret isi surat yang ditempel petugas, lalu mengirimkannya kepada ayah dan kakaknya. Jantungnya berdegup keras. Ia tahu keluarga Hutomo tidak akan diam.
Karena insiden ini, kampus segera mengumumkan bahwa seluruh kegiatan akademik diliburkan hingga waktu yang belum ditentukan.
Di media sosial, tagar #KampusHijau, #MahasiswiBunuhDiri, dan #AldiHutomo langsung menjadi trending.
Di Sebuah Kafe
Sementara itu, Aldi Hutomo duduk santai bersama dua temannya, Vanes dan Arga, di sebuah kafe dekat kampus. Mereka tengah membuka-buka ponsel ketika Vanes mendadak berseru.
“Heh, Al! Coba lihat menfes kampus. Lu trending, bray!”
“Ajegile… iya, Nes. Parah banget,” tambah Arga.
Aldi mengerutkan kening. “Apaan sih? Heboh amat lu pada.”
“Cek buruan, Al,” paksa Vanes.
Aldi akhirnya membuka ponselnya, dan wajahnya langsung berubah pucat. Tangannya gemetar.
“Sialan Nina… Kenapa dia mikir gantung diri segala. Nyusahin banget!” ocehnya dengan suara bergetar.
Arga menatap Aldi dengan ekspresi muak. “Gila lu, Al. Dia sampai bunuh diri gara-gara lu. Lu cuma mau enaknya doang. Udah nggak mau, lu buang.”
“Saran gue, lu tobat dah, Al,” ujar Arga sinis.
“Dan lu mending cepetan telepon bokap sebelum lu kena masalah besar,” tambah Vanes.
Namun sebelum Aldi sempat menekan tombol panggil, ponselnya berdering.
Nama pemanggil: Dekan Fakultas.
Aldi menelan ludah.
“Selamat siang, Aldi,” suara dekan terdengar tegas. “Silakan datang ke fakultas sekarang juga
Untuk memberikan klarifikasi terkait peristiwa hari ini. Saya tunggu.”
Telepon terputus. Aldi menunduk lesu, wajahnya sepucat kertas.
Hari itu, hidupnya berubah.