NovelToon NovelToon
SANG JENDERAL

SANG JENDERAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Yuna seorang dokter muda jenius di pindah tugaskan ke area baku tembak.. Dan pertemuannya membawa nya pada Kenzi sosok dokter senior yang kaku dan dingin... Serta Jendral dari base musuh, menjadi cinta segitiga yang rumit..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ketegangan yg tak bisa diabaikan

Pagi hari di halaman belakang rumah sakit, udara masih dingin dengan kabut tipis menggantung. Sebagian besar staf medis sibuk di dalam, tak menyadari bahwa di sudut lapangan latihan darurat, Mark berdiri dengan postur tegap.

Mantel militernya digantung di pagar, menyisakan kaus hitam ketat yang menonjolkan otot-otot bahunya. Di depannya, Yura berdiri dengan seragam medis longgar, wajahnya masih sedikit pucat tapi matanya tegas.

Di tangannya, pisau lipat berukir bunga lili yang semalam diberikan Mark berkilat samar.

Mark menatapnya, tatapan hijau tajamnya membuat Yura hampir mundur. “Pegang dengan benar,” katanya tegas. “Kalau kau ragu, pisau ini sama berbahayanya untukmu seperti untuk musuhmu.”

Yura menggenggamnya lebih erat. “Aku… aku bukan prajurit. Aku hanya dokter.”

Mark melangkah mendekat, gerakannya seperti bayangan besar yang mendominasi ruang di sekitarnya. “Itulah kenapa kau harus belajar. Dokter atau bukan, semua orang bisa mati jika tak bisa melindungi diri. Dan aku tidak akan selalu berada di sisimu.”

Mark berdiri di belakang Yura, tangannya besar dan kuat menyentuh lengannya, mengatur posisi genggaman. Sentuhan itu membuat Yura merinding bukan karena takut, tapi karena kedekatan yang tak biasa. “Posisikan ibu jarimu di sini… jangan terlalu tegang. Pisau bukan untuk menggertak, tapi untuk bertahan.”

Yura menarik napas, mencoba fokus meski jantungnya berdegup cepat. “Kalau… kalau aku benar-benar harus menggunakannya… aku harus… menusuk?”

Mark berbisik di telinganya, suaranya rendah dan berat. “Jangan ragu. Kalau kau ragu… kau yang akan mati duluan.”

Yura menelan ludah. “Kau bicara seolah… aku benar-benar akan menghadapi itu.”

Mark menoleh sedikit, wajahnya dekat sekali dengan pipi Yura. “Di Namura, semua orang menghadapi itu.”

Mark mundur setengah langkah, lalu berdiri di hadapannya. “Serang aku. Dengan sungguhan.”

Yura membelalakkan mata. “Apa? Aku—aku bisa melukaimu!”

Mark hanya mengangkat satu alis, tatapannya dingin. “Coba saja. Kau tak akan bisa.”

Yura ragu, tapi akhirnya melangkah maju dan menusuk pelan. Mark dengan mudah menangkap pergelangan tangannya, memutar tubuhnya, dan dalam satu gerakan, Yura sudah terjepit di dinding pagar, tubuhnya hampir menempel ke dadanya.

“Begitulah kalau kau menyerang tanpa keyakinan,” Mark berkata pelan, tatapannya menembus mata Yura. “Musuh tak akan memberi kesempatan kedua.”

Yura menggigit bibir, merasakan panas di wajahnya. “Kalau begitu… ajari aku caranya.”

Mark melepaskan tangannya, lalu mengambil pisau tiruan dari sakunya. “Kita ulangi. Kali ini, bayangkan aku bukan aku. Bayangkan aku orang yang mencoba menjatuhkanmu ke tebing.”

Tatapan Yura berubah. Ingatan tentang Mina yang mendorongnya di pinggir jurang kembali. Tangannya mengepal erat, dan kali ini, saat Mark mendekat, tusukan Yura lebih cepat dan tegas.

Mark menepis, tapi gerakan Yura cukup kuat untuk membuatnya mundur setengah langkah. Ia menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis—senyum yang jarang muncul di wajahnya. “Lebih baik. Lanjutkan.”

Latihan berlanjut selama hampir satu jam. Setiap kali Mark memperbaiki posisi tangan Yura, setiap kali ia menangkap pergelangan atau pinggangnya untuk mencegah jatuh, Yura merasa detaknya tak terkendali. Meski tubuhnya lelah, ada sesuatu dalam tatapan mata Mark—dingin tapi fokus, protektif namun mendominasi—yang membuatnya… tidak ingin latihan itu berhenti.

Di akhir sesi, Mark berdiri di hadapannya, napasnya stabil meski mereka baru saja berlatih keras. “Kau cepat belajar,” katanya. “Tapi itu baru dasar. Besok… kita latihan pertahanan jarak dekat. Lebih berbahaya.”

Yura mengangguk pelan, menyeka keringat dari dahinya. “Mark…”

Mark menoleh, tatapan matanya menajam. “Apa?”

“Apa… semua ini hanya agar aku bisa bertahan? Atau… karena kau—”

Ia terhenti, tak sanggup melanjutkan.

Mark mendekat satu langkah, jaraknya begitu dekat hingga Yura bisa merasakan panas tubuhnya meski udara pagi dingin. “Karena aku tak suka membiarkan sesuatu yang berharga… hilang begitu saja,” katanya pelan, tapi tegas. “Dan kau… termasuk di dalamnya.”

Sebelum Yura sempat menjawab, Mark berbalik, mengambil mantelnya. “Istirahat. Besok jam yang sama. Jangan terlambat.”

Ia pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Yura berdiri di lapangan dengan jantung berdebar tak terkendali dan pisau lipat berukir bunga lili yang kini terasa lebih… penting.

\=\=

Langit Namura bergemuruh. Malam itu, kilatan petir menyapu langit hitam, menyinari medan perang yang berubah menjadi neraka terbuka. Udara bau mesiu, darah, dan tanah basah. Pasukan kedua pihak saling menghantam tanpa ampun di dataran berbatu dekat Sungai Karga.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Jenderal Mark berdiri tegap di garis depan, mata hijau tajamnya menyapu medan dengan dingin. Tangan kirinya menggenggam senjata, sementara di tangan kanan, pisau tempur yang sudah ternodai darah. Bahu kirinya robek, darah menetes ke tanah, tapi ia tidak goyah.

Dari balik kabut asap dan kobaran api, Jenderal Farhan muncul. Seragam lorengnya penuh debu, wajahnya berlumuran keringat dan darah. Tatapannya penuh amarah. “Mark! Cukup sudah! Malam ini… aku akhiri semua ini!”

Mark tak menjawab, hanya maju perlahan, setiap langkahnya berat namun mantap. Pasukan dari kedua sisi secara naluriah mundur, membentuk lingkaran, menyadari bahwa duel ini akan menentukan segalanya.

“Ini tanahku, Mark,” Farhan mengangkat pedang tempurnya. “Kau tidak punya hak mengambilnya.”

Mark berhenti beberapa meter di depannya, mata hijau itu berkilat. “Tanah ini… milik yang bertahan hidup. Bukan yang bersembunyi di balik kata ‘hak’.”

Tanpa aba-aba, keduanya maju. Tebasan pedang Farhan menghantam udara, diarahkan ke bahu Mark. Mark menangkis dengan pisau, suara logam beradu memekakkan telinga. Gerakan mereka cepat, setiap hentakan kaki membuat tanah bergetar.

Farhan menendang, Mark mundur setengah langkah lalu berputar, menyerang dari bawah. Pisau Mark hampir mengenai rusuk Farhan, tapi sang jenderal Indonesia menangkis dengan bilahnya dan memukul mundur Mark dengan bahu.

Darah dari bahu Mark menetes, tapi ia tetap maju. Setiap tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi. Farhan berusaha memancing emosi itu. “Kau pikir kau tak bisa kalah? Kau hanya tentara bayaran dengan seragam megah!”

Mark menjawab datar, suaranya berat dan rendah. “Kau terlalu banyak bicara.”

Pertarungan berlanjut ke tebing dekat sungai. Hujan mulai turun deras, membuat tanah licin. Kilatan petir menerangi tubuh mereka yang bergerak cepat, senjata beradu, suara nafas terengah terdengar di sela raungan guntur.

Mark menerima tebasan di lengannya, darah segar mengalir. Tapi ia tidak melambat. Sebaliknya, tatapan hijaunya semakin tajam, tubuhnya bergerak dengan kekuatan yang lebih brutal.

Dengan dorongan tiba-tiba, Mark menebas pedang Farhan dari genggamannya, membuatnya terlempar ke tanah. Sebelum Farhan sempat mengambil senjata, Mark sudah menempelkan pisau di lehernya.

Hujan turun lebih deras, membasahi keduanya. Mark menunduk, suara beratnya terdengar jelas di antara gemuruh langit. “Kau kalah. Dan kau tetap hidup… hanya karena aku memilih begitu.”

Farhan, terengah, menatap Mark dengan amarah bercampur ketakutan. “Ini belum berakhir.”

Mark menatapnya dingin. “Untukmu… sudah.”

Mark mengayunkan gagang pisaunya, memukul kepala Farhan cukup keras hingga ia pingsan. Pasukan Farhan segera menyeret komandannya mundur, meninggalkan medan perang.

Begitu pasukan lawan mundur, Mark baru menyadari betapa parah lukanya. Bahu kirinya hampir tak bisa digerakkan, darah dari pahanya mengalir deras. Napasnya berat, tapi ia tetap berdiri tegap.

Seorang prajuritnya mendekat. “Jenderal, kita harus membawa Anda ke medis sekarang!”

Mark mengangguk pelan. “Ke rumah sakit pusat. Bawa aku ke Yura.”

Pintu ruang perawatan Yura terbuka keras. Yura yang sedang membersihkan meja hampir menjatuhkan botol antiseptik saat melihat sosok Mark berdiri di ambang pintu.

“Mark?! Kau… kau berdarah parah!” Yura segera mendekat, matanya melebar melihat robekan di bahu dan paha Mark.

Mark hanya menatapnya, suaranya rendah. “Hanya luka. Obati cepat. Aku harus kembali ke pos.”

Yura menatapnya tajam. “Kau bahkan hampir tidak bisa berdiri! Duduk. Sekarang.”

Mark tetap diam, tapi akhirnya duduk di ranjang. “Cepat saja.”

Yura menarik napas, mengambil kotak P3K. “Aku harus lihat lukanya. Lepaskan seragammu.”

Mark mengangkat satu alis. “Kau yakin? Kau terlihat… tegang.”

“Mark,” Yura memotong, pipinya sedikit memanas, “aku dokter. Lepaskan. Sekarang.”

Mark menarik resleting seragamnya perlahan. Suara logam yang terbuka terdengar jelas. Seragam itu jatuh, menyingkap dada bidang penuh bekas luka dan otot yang jelas. Air hujan masih menetes dari rambutnya, mengalir di bahunya.

Yura menelan ludah, mencoba fokus, tapi matanya tak sengaja terpaku. Pipinya memerah, dan Mark menyadarinya.

“Kau kelihatan lebih gugup daripada aku yang hampir mati,” ucap Mark datar, sudut bibirnya terangkat tipis.

“Diam, Mark,” Yura balas cepat, suaranya nyaris berbisik. “Biarkan aku bekerja.”

Yura membersihkan luka di bahunya perlahan. Setiap kali jarinya menyentuh kulit hangat Mark, tubuhnya terasa tegang. Mark hanya menatapnya, matanya tak berkedip. “Kau gemetar. Kenapa?”

“Aku… tidak gemetar,” Yura mencoba menyangkal, meski suaranya pelan.

Mark condong sedikit ke depan, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Suara napasnya berat. “Yura… lihat aku.”

Yura terpaksa menatap, jantungnya berdegup kencang. Mata hijau Mark terasa menembus, dingin tapi ada bara samar di dalamnya.

“Lanjutkan,” bisik Mark, nyaris seperti perintah. “Selesaikan lukanya.”

Setelah perban selesai, Yura berdiri, berusaha mengatur napas. “Kau butuh istirahat. Kalau kau paksakan diri lagi, luka ini bisa—”

Mark berdiri, mengenakan kembali seragamnya, tapi resletingnya belum ditutup. “Aku tidak punya pilihan. Tapi…” ia menatap Yura, matanya sedikit melunak, “aku akan kembali lagi. Dan pastikan kau tidak sendirian di sini.”

Yura menunduk, pipinya memerah. “Kau… selalu bicara seperti itu.”

Mark berjalan ke pintu, menoleh sekali. “Karena aku tidak mau kehilangan… apa yang sudah kuputuskan untuk kulindungi.”

Pintu tertutup pelan, meninggalkan Yura sendirian dengan jantung yang masih berdebar.

1
Anonymous
Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!