Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Malam mulai merayap perlahan, lampu-lampu rumah menyala hangat.
Di dapur, dua staf kepercayaan Aldric, Maya dan Riko sedang sibuk menyiapkan sesuatu.
“Ini teh madu dan biskuit kacang buatan sendiri. Katanya bagus untuk bantu fokus belajar,” ujar Maya sambil menata nampan kecil.
Riko tersenyum sembari mengangkat piring kecil berisi potongan buah segar.
“Kasihan Nona Arlena. Dia kelihatan capek banget tadi siang.”
Karin mengangguk. “Tapi dia berusaha. Itu yang penting.”
Mereka bekerja cepat, mencampurkan aroma manis dari camilan dan teh yang menenangkan.
Tak lama, mereka berjalan pelan menuju ruang belajar, mengetuk pintu dengan lembut.
Tok tok tok.
Arlena membuka pintu, matanya masih lelah tapi membulat saat melihat nampan camilan.
“Untukmu, Nona,” ujar Maya hangat. “Biar semangat belajarnya nambah lagi.”
Arlena tertegun. Bibirnya membentuk senyum kecil.
“Terima kasih… aku benar-benar… terharu.”
“Semangat, ya. Kamu pasti bisa,” sahut Riko sambil mengacungkan jempol.
Arlena kembali duduk, menatap tumpukan buku… lalu camilan kecil di sebelahnya.
Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa tidak sendirian.
Dan di luar pintu yang tertutup rapat, dari kejauhan Aldric berdiri sebentar, menyaksikan diam-diam… sebelum melangkah pergi ke ruang kerjanya dengan tatapan yang jauh lebih tenang.
Malam semakin larut, jarum jam menunjuk angka satu.
Di ruang belajar yang kini senyap, Arlena tertidur pulas di atas meja, dengan kepala bersandar pada lengannya, dan pulpen masih tergenggam erat di tangan kanan.
Lampu meja masih menyala. Buku-buku terbuka di hadapannya.
Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Aldric berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama satin gelap, rambutnya sedikit berantakan.
Ia terdiam sejenak, menatap gadis yang kini terlelap karena kelelahan.
Dengan langkah hati-hati, ia masuk, lalu membungkuk dan mengangkat tubuh Arlena perlahan.
Ringan… terlalu ringan.
Aldric mengerutkan dahi sekilas.
Sesampainya di kamar, ia membaringkan Arlena di atas tempat tidur dengan lembut, menarik selimut hingga ke bahunya.
Sebelum beranjak, ia berbisik lirih…
“Tidurlah yang nyenyak.”
“Jangan jadi wanita yang lemah…”
“Tunjukkan pada keluargamu kalau kamu bukan Arlena yang dulu.”
Lalu ia berdiri sejenak, memandangi wajah damai Arlena yang tertidur tanpa tahu apa yang baru saja dilakukan pria itu.
Tanpa berkata lagi, Aldric mematikan lampu kecil di sisi ranjang dan meninggalkan kamar membiarkan malam menyelimuti Arlena… dan menyembuhkan luka-luka kecil di hatinya, satu mimpi dalam tidur pada satu waktu.
Sementara itu di rumah orang tua Arlena, dapur yang sempit itu dipenuhi suara berisik dari dua lelaki dewasa yang sedang duduk berselonjor di lantai.
“Bu, masak mie dong. Laper,” rengek Ryan, si sulung, sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
“Iya, Bu. Nambahin air panas doang kok, masa gak bisa sih?” timpal Dimas, adik lelaki kedua, sambil menggenggam remote TV yang sudah hampir aus.
Ibu mereka, Bu Tini, berdiri di depan lemari dapur kosong sambil memijit pelipisnya. Wajahnya penuh kekesalan dan keletihan.
“Uang dari mana, hah? Gas aja tinggal sedikit! Mie tinggal satu bungkus, dan itu juga udah kedaluwarsa!” bentaknya.
Kedua anak laki-lakinya langsung cemberut.
“Biasanya juga Arlena yang beliin!” seru Dimas.
Bu Rani terdiam. Wajahnya berubah kesal bercampur bingung.
Biasanya, memang Arlena yang menyetor uang dari menjual kardus bekas, botol plastik, atau kadang jadi pembantu harian tetangga.
Ketiga lelaki di rumah itu Ayah, Ryan, dan Dimas semuanya pemalas.
“Dasar kalian semua! Maunya enak, makan siap saji, nonton TV, tidur! Tapi kerja? Gak ada yang mau!” omel Bu Rani sambil menutup lemari dengan keras.
Sementara itu, di luar rumah, tong-tong sampah yang dulu sering dipilah Arlena… kosong.
Dan entah kenapa, rumah itu terasa jauh lebih dingin sejak kepergian gadis yang dulu selalu dianggap remeh.
Tapi mereka belum tahu... bahwa kehilangan Arlena adalah kehilangan satu-satunya cahaya di rumah itu.
BRAK!
Suara meja kayu tua ditendang terdengar keras dari dalam rumah. Ryan dan Dimas keluar dengan wajah kesal, meninggalkan Ibu mereka yang masih mengomel di dapur.
“Dasar emak! Gak bisa diandalkan,” umpat Ryan.
“Udah lapar, gak ada mie, malah ngomel,” tambah Dimas sambil menendang batu kecil di jalan.
Mereka berjalan cepat menuju warung kopi milik Pak Baim, tempat biasa mereka nongkrong... dan berhutang.
Sesampainya di sana, warung sudah mulai ramai. Bau kopi hitam dan gorengan menyambut, tapi langkah mereka langsung dihentikan oleh suara yang tegas.
“Stop dulu, kalian berdua.”
Pak Baim menatap tajam. Di tangannya ada buku catatan lusuh berisi daftar hutang yang sudah terlalu panjang.
“Hutang kalian sudah banyak. Kopi, rokok, mie instan… semua nyicil. Terakhir Arlena yang bayar!”
Ryan mencibir. “Ya udah, sekarang catat aja dulu. Nanti juga dibayar.”
Pak Baim menggeleng keras. “Gak bisa! Mana Arlena? Biasanya dia yang tanggung jawab. Kalian berdua mah cuma nyusahin.”
Dimas terdiam. Ryan menunduk dan pura-pura memainkan ponselnya.
“Gak ada Arlena, gak ada utang. Mau ngopi? Bayar. Mau makan? Bayar. Kalau nggak, minggir.”
Warung jadi hening. Beberapa orang menatap sinis pada dua pemuda yang dikenal hanya bisa meminta dan menyalahkan.
Dan di saat itu, tanpa Arlena mereka bukan siapa-siapa.
Setelah ditolak mentah-mentah oleh Pak Baim, Ryan dan Dimas hanya bisa berdiri kikuk di depan warung kopi.
Beberapa pengunjung yang sedang menyeruput kopi dan makan gorengan mulai berbisik-bisik pelan. Tapi cukup keras untuk didengar.
“Itu kan anak-anak Bu Tini i…”
“Iya, yang adiknya itu—si Arlena—dibuang begitu aja...”
“Rumah mereka sekarang kayak sarang pengangguran…”
Wajah Ryan memerah. Dimas mengepalkan tangan.
Mereka menoleh dengan kesal, tapi tak bisa membalas. Tidak ada yang peduli pada gertakan mereka karena semua orang tahu siapa yang benar dan siapa yang menyia-nyiakan.
Seorang bapak tua bahkan menimpali dengan nada getir,
“Dulu Arlena yang paling sering nyapu halaman sini, bantuin bawa belanjaan, meskipun cuma dikasih seribu. Tapi sekarang? Liat aja kalian. Malu gak?”
Malu. Tapi harga diri mereka terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Dan untuk pertama kalinya sejak Arlena pergi, mereka merasakan beratnya hidup… tanpa seseorang yang mereka remehkan selama ini.
Langkah kaki Ryan dan Dimas terdengar berat saat mereka kembali pulang dari warung kopi. Raut wajah mereka masih kesal tak hanya lapar, tapi juga malu.
Namun, belum sempat pantat mereka menyentuh kursi kayu ruang tamu…
BRAKK!!
Pintu rumah didobrak. Seorang pria berbadan tinggi dan tegap berdiri dengan mata merah menahan amarah.
Di belakangnya dua orang pria berbadan besar ikut masuk tanpa permisi.
“KEMBALIKAN UANG SAYA!!” teriak pria itu Semo, pria yang dulu dijodohkan keluarganya dengan Arlena.
Bu Rani terlonjak. Ryan dan Dimas pucat.
“A-apaan sih lo, Semo?!” Ryan berusaha bersuara.
“Jangan pura-pura bego!” bentak Semo sambil menunjuk tajam.
“Pernikahan saya dan Arlena batal karena kalian usir dia dari rumah.TAPI UANG SAYA YANG 500 JUTA?? YANG KALIAN PAKAI BUAT BAYAR UTANG DAN FURNITUR BARU?! KEMBALIKAN!!!”
Dimas mulai gemetar. “I-itukan dulu... kita kira pernikahan jadi...”
“TIDAK JADI! Maka uangnya harus kembali!!”
Bu Rani jatuh terduduk. “Jangan sekarang… belum ada uangnya...”
Semo melangkah maju, wajahnya dipenuhi amarah dan luka harga diri.
“KALIAN SEMUA AKAN MASUK PENJARA JIKA UANG ITU TIDAK KEMBALI! Saya kasih waktu sampai besok siang. Kalau gak, saya bawa ini ke polisi!”
Suasana rumah itu berubah mencekam.
Tak ada Arlena untuk melindungi.
Tak ada penolong.
Hanya ada tanggung jawab… yang selama ini mereka buang bersama harga dirinya.
Suasana rumah penuh kecemasan. Ryan mondar-mandir di ruang tamu, sementara Dimas duduk dengan kepala menunduk. Bu Rani hanya bisa menangis diam-diam, menahan ketakutan atas ancaman Semo.
“Kita harus cari Arlena.”
Ucap Ryan tiba-tiba dengan nada dingin.
“Untuk apa?” tanya Dimas, meski ia sudah tahu arah pikirannya.
“Ya buat nikah sama Semo, lah. Biar dia yang tanggung hutangnya. Kan dia juga yang bikin masalah ini.”
“Kita cari dia.” Dimas akhirnya setuju. “Dia pasti gak pergi jauh. Mungkin tinggal sama temannya. Atau kita cari tahu dari tetangga.”
Ryan mengangguk. “Kalau perlu, kita datangi semua rumah sakit, toko, bahkan stasiun. Dia harus ketemu… sebelum Semo datang besok.”
Mereka tak mencari Arlena karena rindu, apalagi karena sadar.
Mereka mencari karena butuh korban untuk membayar kesalahan mereka.
Dan tanpa mereka tahu…
Arlena sekarang sedang duduk di meja makan, tersenyum kecil saat menyajikan roti panggang dan soto ayam untuk pria yang ia sukai diam-diam.