"Buka hatimu untukku kak Praja," mohon Ardina Rezky Sofyan pada sang suami dengan penuh harap. Air matanya pun sejak tadi sudah menganak sungai di pipinya.
Pernikahan sudah berlangsung lama tapi sang suami belum juga memberinya kebahagiaan seperti yang ia inginkan.
"Namamu belum bisa menggantikan Prilya di hatiku. Jadi belajarlah untuk menikmati ini atau kamu pergi saja dari hidupku!" Balas Praja Wijaya tanpa perasaan sedikitpun. Ardina Rezky Sofyan menghapus airmatanya dengan hati perih.
Cukup sudah ia menghiba dan memohon bagaikan pengemis. Ia sudah tidak sabar lagi karena ia juga ingin bahagia.
Dan ketika ia menyerah dan tak mau berjuang lagi, akankah mata angin bisa berubah arah?
Ikuti perjalanan cinta Ardina Rezky Sofyan dan Praja Wijaya di sini ya😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bhebz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Sesal Lagi Dan Lagi
Praja Wijaya kembali pulang ke rumahnya karena berhari-hari menunggu di sekitar rumah kediaman keluarga Richard tapi tidak juga mendapatkan informasi tentang istri dan juga mertuanya.
Pulang ke rumah dengan perasaan yang semakin sakit apalagi mendengar kalau Ardina ternyata sedang mengandung anaknya. Tak berhenti ia menyalahkan dirinya sendiri untuk hal ini.
"Praja, ingat untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Lihat dirimu, kamu sudah seperti mayat hidup." Alif Wijaya mengingatkan putra sulungnya itu dengan perasaan khawatir.
"Perusahaan harus kamu kelola dengan baik. Jangan sampai kamu merugi untuk yang kesekian kalinya jika lalai dalam hal ini lagi." Pria paruh baya itu melanjutkan memberinya nasehat. Sedangkan Praja hanya menundukkan kepalanya diam.
"Penyesalan selalu datang terlambat nak. Ardina pergi karena ia telah lelah dan akhirnya menyerah untuk mencari kebahagiaan. Nah sekarang, kamu harus bisa bangkit. Mungkin jodoh kalian memang hanya sampai disini saja." Alif Wijaya menatap sang putra yang saja terdiam. Ia yakin putra sulungnya itu pasti sedang menyelami kata-katanya.
Praja menghela nafas beratnya seraya balas menatap wajah sang papa.
"Ardina sedang mengandung anak aku pah dan saat ini aku sangat merindukan mereka. Aku akui telah salah tapi bolehkah aku masih berharap bisa bertemu dengan mereka?"
"Mengandung? Jadi kamu telah mengakui kalau kamu dan dia telah...," Dewinta tidak melanjutkan kata-katanya. Ia sengaja menggantung kalimatnya karena tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar.
"Iya ma, maafkan aku. Ini karena aku sangat marah dengan keadaan jadi aku terus menyalahkan Ardina." Praja meraup wajahnya kasar kemudian segera meninggalkan kedua orangtuanya. Ia ingin kembali masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
"Ya Allah Pa, jadi kita akan mempunyai seorang cucu? Dan kita tidak menyadarinya. Oh Tuhan semoga engkau memaafkan hambamu ini," ujar Dewinta dengan perasaan sesal di dalam hatinya.
"Penyesalan memang selalu datang di akhir sebuah perjalanan ma. Dan saya rasa kita semua terlibat didalamnya. Papa mendiamkan perlakuan buruk Praja pada Ardina padahal papa tahu kalau itu salah. Namun apa daya, ketika penyesalan telah terjadi, kita mungkin tidak bisa memperbaikinya seperti sediakala. Semoga kedepannya kita bisa lebih berhati-hati lagi."
"Iya Pa, saya sangat merasa bersalah pada Ardina, padahal anak itu baik, dia taat tapi kenapa saya jadi sejahat itu," ucap Dewinta merasa bersalah.
"Iya ma. Kita berdoa saja semoga mereka baik-baik saja," balas Alif Wijaya dengan helaan nafas beratnya. Rasanya ia juga sangat menyesalkan kejadian ini.
Mereka pun saling berpandangan kemudian kembali ke kamar mereka untuk melanjutkan istirahat.
Sementara itu, Praja Wijaya sedang duduk di sofa yang akhir-akhir ini menjadi tempatnya untuk menyatakan perasaan rindu pada sang istri.
Ia meraba sofa itu lagi dengan penuh perasaan. Tlak terasa airmatanya menetes. Saat ini ia sedang sangat lemah dan terlalu terbawa perasaan.
"Ardina kamu sedang hamil dan hanya tidur disini dengan cacian dariku? Pantas saja kamu menyerah. Aku sungguh sangat bersalah sayang, tapi kumohon dengan cintamu yang besar itu bawa dirimu untuk pulang karena aku sangat merindukanmu," bisik pria itu dengan hati pilu.
Dua kali sudah ia merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan, tapi ia merasa yang sekarang adalah yang terburuk karena separuh jiwanya ada disana sedang membutuhkan kasih dan sayangnya sebagai seorang ayah.
"Baiklah Din, kamu sudah berhasil membalasku dengan sangat kejam seperti ini. Satu hal yang aku lupakan ketika aku belajar untuk mencintai seseorang adalah, aku tak pernah belajar. Aku selalu bodoh dalam mengungkapkan cinta."
Praja menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Bayangan malam kelam saat Ardina menjebaknya di dalam kamar di dalam ruang kerjanya waktu itu kini berputar kembali.
Flashback on
Praja Wijaya, sang CEO sedang lembur karena banyaknya proyek yang ditangani perusahaannya. Dalam kesuntukannya dalam bekerja, ia meminta Ardina yang merupakan sekretarisnya itu untuk menemaninya di ruangan itu.
"Kamu temani aku disini sampai semuanya selesai, tidak masalah 'kan?" ucapnya seraya memandang wajah Ardina yang sedang sibuk juga mengetik pekerjaan yang lain.
"Ah iya pak. Aku akan ada di sini kok. Pekerjaan aku juga masih banyak, hehehe." Gadis itu menjawab seraya menunjuk layar laptopnya.
"Baguslah. Jadi kamu tidak suntuk menemaniku disini." Praja tersenyum. Ia sudah menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri. Pesan almarhum Sofyan untuk menjaga putrinya itu sudah ia laksanakan dengan baik. Melanjutkan pendidikan untuk gadis itu dan memberinya pekerjaan adalah caranya agar Ardina memiliki masa depan yang cerah.
Waktu pun berlalu dengan sangat cepat. Ia belum juga selesai dengan pekerjaannya sedangkan Ardina sudah nampak membereskan semua alat yang telah dipakainya bekerja.
"Bapak mau minum apa? Kali aja ngantuk, aku bisa membuatkan minuman yang bisa membuatmu segar dan semangat bekerja," ujar Ardina dengan tatapan lurus kedalam matanya yang nampak sudah sangat mengantuk.
"Ah iya Din. Aku memang butuh yang segar dan bisa membuat tidak ngantuk. Besok pagi-pagi sekali presentasi proyek ini harus segera kita tampilkan."
"Ah iya pak. Aku akan buatkan kopi untuk bapak."
"Gak. Jangan kopi. Aku gak mau. Takutnya dadaku berdebar dan tak bisa bekerja. Buatkan saja minuman yang bisa membuatku tidak tidur."
"Ah iya baiklah pak," ujar Ardina dengan senyum diwajahnya. Gadis itu pun segera menuju ke dapur kecil di ruangan itu dan mulai meracik minuman untuknya yang terbuat dari campuran obat perangsang dengan dosis tinggi.
"Din, aku kok justru merasa gerah ya dan merasakan perasaan yang aneh," ujarnya saat ia telah menghabiskan minuman buatan Ardina sang sekretaris.
Perempuan itu datang mendekat kemudian meraih kemejanya dengan tatapan lurus kedalam bola matanya. Ia merasa seperti terhipnotis. Entah apa yang terjadi hingga ia tidak menolak ketika Ardina mulai membuka kancing-kancing kemejanya sampai semuanya terlepas dari tubuhnya.
"Apa bapak sudah tidak gerah lagi?" tanya Ardina seraya menyentuh dada bidangnya dengan sangat lembut. Ia berusaha untuk tetap sadar meskipun otaknya sudah tidak bekerja dengan baik.
"Ardina, apa yang kamu lakukan padaku hah?!" tanyanya dengan rahang mengeras. Ia sekarang curiga kalau minuman yang dibuatkan oleh sekretaris itu mengandung obat. Pasalnya ia merasakan sebuah hasrat yang tak terbendung dari dalam dirinya. Ia pun berusaha untuk menggelengkan kepalanya yang sudah mulai terpengaruh dengan obat perangsang itu.
"Aku mencintaimu pak sejak dulu, dan aku sangat tahu kalau bapak butuh pelepasan yang sangat menyenangkan," jawab Ardina dengan sangat berani menyentuh miliknya yang sudah sangat menegang dengan sempurna.
"Ardina, aku benci padamu. Aku tidak akan memaafkanmu, aaargh!" Praja tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengerang nikmat saat tangan sekretarisnya itu memperlakukan miliknya dengan sangat lembut dan berirama.
Setengah kesadarannya ingin menolak tapi apa yang dilakukan Ardina padanya membuatnya gila akan kenikmatan dunia yang belum pernah ia rasakan itu.
"Aku akan membantumu Pak," bisik Ardina seraya melepaskan pakaian yang membalur tubuhnya yang sangat indah. Praja Wijaya tak kuasa untuk menolak meskipun hati kecilnya berusaha untuk memberikan sinyal peringatan.
Dan malam itu ia kalah, ia mengatakan sangat membenci Ardina tetapi dilain pihak ia sangat menikmati apa yang disuguhkan oleh perawan itu padanya. Sampai esok paginya ia baru sadar kalau telah dijebak oleh perempuan itu. Ia pun marah dan sangat benci.
"Kebaikan aku kamu balas dengan sangat curang Din. Dan sungguh, aku benci padamu!" Praja berucap dengan sangat marah akan tetapi Ardina tidak merasa bersalah sedikitpun. Ia tersenyum senang karena mereka akhirnya dinikahkan.
Pernikahan mereka berdua dilaksanakan untuk menutupi aib skandal CEO dan sekretarisnya yang kedapatan menghabiskan malam di dalam ruang kerjanya sendiri.
Flashback off.
Praja menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan dada berdebar. Ia rindu Ardina dengan segala kesakitan yang diberikan perempuan itu padanya.
"Ardina cukup! Aku ingin sekali membencimu tapi kenapa aku jadi sangat merindukanmu sekarang!" Ia berteriak keras dan memukul kepalanya sendiri. Ia berlaku seperti orang tidak waras lagi.
"Jika aku tahu akhirnya akan seperti ini, maka kesalahan di masa lalu tidak akan aku ulangi, oh Tuhan, aku bisa bersembunyi dari kesalahanku, tapi tidak dari penyesalanku. Dan mungkin aku dapat bermain dengan dramaku, tetapi tidak dengan karmaku."
"Aaaaargh!" Pria itu kembali memukul meja kaca dengan keras hingga pecah. Tangannya berdarah. Sakit dan perih ia rasakan tetapi tak bisa mengalahkan rasa sakit dan perih dihatinya.
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like dan ketik komentar agar author semangat updatenya oke?
Nikmati alurnya dan happy reading 😊.