Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Memberikan Sesuatu
Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya, menembus celah tirai kamar dan menebarkan kehangatan yang lembut. Suara burung yang bersahutan di luar jendela menambah keceriaan dan keindahan suasana pagi itu.
Eliana sudah bangun sejak subuh. Bersama Nadia, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Aroma nasi goreng dan telur dadar memenuhi ruangan, menandakan pagi mereka dimulai dengan penuh semangat.
“Ayah, Ibu, sarapan sudah siap! Ayo, kita makan dulu,” panggil Eliana sambil menata piring di meja makan.
Ridwan dan Fatma yang tengah merapikan beberapa barang di ruang tamu segera menghampiri meja makan. Mereka menikmati sarapan dengan tenang, hanya terdengar bunyi dentingan sendok dan piring yang saling beradu.
Setelah beberapa saat, Eliana menatap ayahnya dengan raut wajah penasaran. Sejak semalam, ia terus memikirkan kedekatan ayahnya dengan papa Revan yang tampak begitu akrab.
“Ayah, apa sebelumnya Ayah kenal dengan papa Revan?” tanya Eliana hati-hati.
Ridwan meletakkan sendoknya perlahan, lalu menarik napas panjang. Ada senyum kecil yang muncul di wajahnya. “Iya, El... Ayah kenal baik dengan papanya Revan. Bahkan, bisa dibilang lebih dari sekadar kenal. Kami dulu sahabat dekat,” jawab Ridwan dengan tatapan seperti mengingat masa lalu.
Eliana mengangguk pelan, matanya menatap ibunya yang sejak tadi diam. “Kalau Ibu juga kenal,?” tanyanya lagi.
Fatma tersenyum lembut. “Kalau Ibu hanya sebatas kenal saja, Nak. Itu pun setelah Ibu dekat dengan Ayahmu.”
Nadia yang duduk di sebelah Eliana ikut menimpali, “Wah, hubungan kalian ini unik juga, ya.”
“Unik bagaimana, Nad?” tanya Eliana penasaran.
Nadia menatap sahabatnya sambil tersenyum. “Ya unik, biasanya. Orang tua yang bersahabat justru menjodohkan anak-anak mereka. Eh, kalian malah sebaliknya, anak-anaknya yang justru mempertemukan kembali kedua orangtuanya.”
Eliana dan Fatma sama-sama tertawa mendengar komentar itu. “Benar juga kamu, Nad,” sahut Eliana sambil tersenyum.
Waktu terus berjalan, tanpa terasa matahari sudah mulai condong ke arah barat. Setelah Zuhur, mereka mulai bersiap untuk berangkat ke kota, tempat acara pertunangan akan dilaksanakan.
Revan sempat berpesan pada Eliana, bahwa semua keperluan mereka sudah disiapkan, jadi tak perlu repot membawa banyak barang.
Sekitar pukul satu siang, mereka semua sudah bersiap untuk berangkat, dan Fatma baru saja keluar rumah untuk mengunci pintu, tiba-tiba. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengilap perlahan masuk ke pekarangan rumah.
“Wah, mobil siapa itu, bagus banget!” seru Sela yang kebetulan sudah berada di sana bersama kedua orang tuanya. Ia ikut kedua orang tuanya untuk mengantar kepergian keluarga Eliana. Dan rencana nya sela beserta kedua orang tuanya akan menyusul besok sore.
Ridwan menatap ke arah mobil itu dengan kening berkerut. “Mobil siapa itu, El?” tanyanya sambil menatap putrinya.
Eliana menggeleng pelan. “El juga nggak tahu, Yah.”
Begitu mobil berhenti, seorang sopir berpenampilan rapi segera keluar dan menunduk sopan. “Maaf, Pak, saya datang agak terlambat. Perkenalkan saya Toni. Saya ditugaskan tuan Revan untuk menjemput Nona Eliana beserta Pak Ridwan dan Bu Fatma,” ucapnya sopan.
“Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat sekarang,” jawab Ridwan dengan ramah.
Sopir itu segera membantu memindahkan koper mereka ke bagasi mobil. Sementara itu, Eliana menghampiri Nadia yang berdiri di dekat mobilnya.
“Nad, kamu nggak apa-apakan nyetir sendirian ke sana?” tanya Eliana dengan nada khawatir.
Nadia tersenyum dan menepuk bahu sahabatnya. “Tenang aja, El. Sudah biasa juga nyetir jauh. Kamu nggak usah khawatir, lagian aku kan nyusul dari belakang.”
Eliana mengangguk, lalu masuk ke mobil bersama kedua orang tuanya.
Baru beberapa menit mobil berjalan meninggalkan halaman, ponsel Eliana berbunyi. Ada pesan masuk dari Revan.
Revan: “Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa bilang ke Pak Sopir bawa mobil nya jangan ngebut."
Eliana tersenyum membaca pesan itu. Ia membalas singkat,
“Iya, kami baru berangkat. ”
Senyum kecil menghiasi wajahnya hingga mobil melaju menjauh, membawa mereka menuju babak baru dalam hidupnya.
---
Perjalanan panjang akhirnya membawa mereka tiba di tujuan tepat waktu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah hotel megah di pusat kota. Di lobi hotel, Surya sudah berdiri menunggu bersama beberapa anak buahnya. Pria itu tampak berwibawa dengan senyum ramah yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Hanya Surya yang datang menjemput mereka kali ini, sementara istri dan ibu mertuanya tetap tinggal di rumah untuk menyiapkan makan malam keluarga yang akan diadakan malam nanti. Sedangkan Revan sendiri tidak diizinkan untuk ikut menjemput dan ia pun memilih menghabiskan waktu di kantor agar bisa menyelesaikan semua pekerjaan agar nanti bisa mengambil cuti lebih awal.
Begitu Ridwan dan keluarganya turun dari mobil, Surya segera menghampiri dan merangkul sahabat lamanya itu dengan hangat. “Alhamdulillah, kalian sudah sampai dengan selamat, Ridwan.”
Ridwan membalas pelukan itu sambil tersenyum lebar. “Iya, Surya.Alhamdulillah perjalanan kami lancar.”
Surya menepuk bahu sahabatnya pelan. “Ayo, langsung masuk. Kami sudah menyiapkan kamar untuk kalian beristirahat.”
Salah satu anak buah Surya segera bergerak sigap, mengambil koper bawaan keluarga Eliana dan mengantarkannya ke kamar yang telah disediakan. Mereka berjalan mengikuti Surya menyusuri koridor hotel yang mewah dan elegan.
Sesampainya di kamar, Surya berpesan dengan ramah, “Istirahatlah dulu, Ridwan. Malam nanti, kita makan malam bersama di rumah. Semuanya sudah disiapkan.”
“Baik, Surya. Terima kasih sudah repot-repot menjemput dan menyiapkan semua ini.” jawab Ridwan tulus.
Surya tersenyum hangat sebelum berpamitan untuk pulang.
Malam pun tiba dengan suasana khas kota. Di lobi hotel, sopir yang ditugaskan menjemput sudah menunggu tepat waktu.
Eliana turun dengan langkah anggun. Malam itu penampilannya benar-benar memukau. Ia mengenakan rok panjang berwarna lembut dipadukan dengan kemeja satin putih keperakan, serta jilbab berwarna senada yang membuat wajahnya semakin cantik. Sepatu hak rendah yang ia kenakan menambah kesan elegan tanpa berlebihan. Sementara di pergelangan tangannya, gelang perak tipis berkilau setiap kali terkena cahaya lampu hotel.
Fatma menatap putrinya dengan senyum bangga, sementara Ridwan hanya bisa menatap dengan haru, putrinya kini benar-benar sudah tumbuh menjadi wanita dewasa.
Sesampainya di kediaman keluarga Wijaya, mereka disambut dengan penuh kehangatan.
Tak butuh waktu lama, mobil yang ditugaskan menjemput keluarga Eliana tiba di kediaman keluarga Wijaya. Dari luar saja sudah tampak kemegahan rumah itu, taman yang tertata rapi, lampu taman berkilau terang, dan halaman luas yang dipenuhi berbagai jenis tanaman hias.
Begitu turun dari mobil, mereka langsung disambut ramah oleh tuan rumah. Surya berjalan lebih dulu, diikuti oleh Revan dan Miranda.
“Selamat datang, Ridwan, Fatma... dan tentu saja, Eliana,” ucap Surya dengan nada hangat.
Fatma menjabat tangan Miranda dengan sopan, namun balasan dari Miranda terasa dingin dan sekadarnya.
“Silakan masuk,” ujar Miranda datar, dengan senyum tipis dipaksakan di bibirnya.
Di sisi lain, Revan yang berdiri di dekat ayahnya tampak tak bisa melepaskan pandangan dari Eliana. Gadis itu terlihat begitu memesona malam ini. Ia bahkan tidak sadar bahwa ayahnya tengah memperhatikannya dengan tawa kecil yang tertahan.
“Revan, sadar!” bisik Surya sambil menyikut perut putranya pelan.
Revan tersentak kecil, wajahnya memerah. “A-ayah… aku cuma”. Jawab Revan gelagapan.
"Cuma apa, nanti ada masa nya kamu bisa memandang nya sepuas hati mu." Goda papanya.
Acara makan malam pun dimulai. Meja besar di ruang makan penuh dengan berbagai hidangan lezat,mulai dari sup, ayam panggang madu, dan beberapa menu yang menggugah selera, hingga kue tradisional favorit keluarga.
Suasana hangat terasa di antara dua keluarga besar itu. Tak ada percakapan yang terlalu serius, mereka hanya berbincang ringan seputar perjalanan Eliana sekeluarga tadi siang dan rencana pertunangan yang akan berlangsung besok. Sesekali terdengar tawa kecil dari Surya dan Ridwan yang mengenang masa muda mereka dulu.
Revan dan Eliana duduk berseberangan. Mereka tak banyak bicara, hanya sesekali saling pandang dan melempar senyum malu-malu.
Setelah makan malam selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. Percakapan orang tua masih berlanjut, sementara Revan dan Eliana duduk manis mendengarkan tanpa banyak berbicara.
Tiba-tiba suara lembut Nyonya Sonya memecah suasana. “Eliana, Nak... ikut Nenek sebentar, ya.”
Eliana menatap kedua orang tuanya, kemudian menoleh ke arah Revan seolah meminta izin. Ridwan dan Fatma mengangguk pelan memberi tanda setuju, begitu pula Revan yang menatapnya lembut sambil tersenyum kecil.
Sementara itu, Miranda hanya memandangi pemandangan itu dengan tatapan datar. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan ibunya memanggil Eliana secara khusus.
Eliana bangkit dan mengikuti Nyonya Sonya menaiki tangga menuju lantai atas. Langkahnya pelan, namun pasti.
Begitu tiba di kamar Nyonya Sonya, wanita tua itu membuka pintu dan mempersilakan Eliana masuk. Kamar itu tampak hangat, dihiasi dengan aroma lembut bunga melati dan beberapa foto keluarga terpajang di meja rias.
Nyonya Sonya menatap Eliana dari ujung kaki hingga ujung kepala, kemudian tersenyum penuh arti.
“Kenapa masih berdiri di situ?” suara lembut Nyonya Sonya memecah keheningan. “Ayo, duduk di sini.” Ia menepuk pelan sisi ranjang tempatnya duduk.
Eliana menarik nafas sebelum berjalan mendekat. Ia duduk perlahan di sisi wanita tua itu, menunduk sopan sambil menunggu Nyonya Sonya berbicara.
Senyum lembut muncul di bibir wanita itu. “El, Nenek ingin memberimu sesuatu...”