Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Napas Devan tertahan. Jantungnya berdetak cepat, menunggu kalimat berikutnya keluar dari bibir Jovita.
Jovita menatapnya lurus, membuat Devan menelan ludah gugup. Pikirannya mulai menebak-nebak, mungkin ini soal batasan fisik, atau peraturan selama menjadi kekasih. Tapi saat akhirnya Jovita membuka mulut, kalimat yang keluar justru tak terduga sama sekali.
“Rawat Brownie untukku.”
Devan terpaku. Sekaligus… bingung. Ia sempat berpikir salah dengar. Namun Jovita terlihat serius, bahkan menunjuk si anjing kecil yang kini menggoyang-goyangkan ekornya di depan mereka.
Devan mengerjap pelan. “Rawat?” ulangnya, memastikan.
Jovita mengangguk pelan. “Aku mau pelihara dia di sini, tapi kakakku alergi bulu hewan. Jadi gak bisa.” Ia mengelus kepala Brownie dengan lembut. “Aku udah coba cari orang buat ngurus dia, tapi belum ada yang mau.”
Tatapannya lalu beralih ke Devan, lembut, tapi sekaligus memaksa. “Jadi… kamu aja yang rawat.”
Devan menatap Brownie, lalu menatap Jovita lagi. Entah kenapa, dua pasang mata itu sama-sama tampak memohon padanya. Dan entah kenapa juga, itu membuatnya semakin sulit untuk menolak.
Dan begitulah akhirnya. Setelah berpikir cukup lama, Devan setuju membawa Brownie pulang. Ia tahu merawat anjing bukan hal mudah, tapi menolak permintaan Jovita hanya akan membuat suasana canggung. Lagi pula, kalau kesulitan nanti, ia bisa meminta bantuan Dania. Yang penting sekarang, statusnya dengan Jovita sudah “resmi”. Mereka menjadi sepasang kekasih, meski hanya pura-pura. Setidaknya, hal itu bisa membuat Rosmala berhenti menjodohkannya dengan wanita lain.
Sejak Brownie ikut Devan, rumah Jovita terasa lebih sepi. Brownie bukan sekadar hewan peliharaan baginya, ia teman setia setelah hari yang melelahkan.
Jovita tersenyum tipis menyadari hal itu. Baginya, Brownie seperti dirinya sendiri, dibuang oleh orang yang dipercaya, lalu berusaha bertahan sendirian dengan luka yang tidak terlihat.
Tak lama, Noah dan istrinya pulang. Hari itu sebenarnya Noah sedang libur karena akhir pekan, tapi ia memilih ikut ke toko roti milik istrinya untuk membantu. Begitu masuk rumah, ia langsung melepas jaket dan berkata santai, “Anjingmu udah gak ada.”
“Hm. Dibawa orang,” jawab Jovita pelan tanpa menoleh. Tatapannya kosong, terpaku pada layar televisi yang menyala tanpa benar-benar ia perhatikan.
Tak lama, Eden keluar dari kamar dan berlari ke arah ibunya. “Tadi temennya Tatty bawa Brownie.”
Noah yang sedang menaruh jaket menoleh heran. “Temanmu? Kalau gitu kenapa susah-susah nyari orang lain buat ngurusin?” tanyanya. “Siapa temenmu? Karen?”
Jovita terdiam, jemarinya yang sedari tadi memegang remote televisi ikut membeku. Napasnya keluar pelan, terasa berat di dada. Ia masih belum benar-benar rela Brownie dibawa pergi oleh Devan.
Sementara itu, Eden menatap Jovita dengan wajah polos. “Bukan temen,” katanya lagi, lalu tersenyum kecil seolah baru teringat sesuatu. “Pacarnya Tatty.”
Noah spontan menoleh cepat, menatap Jovita dengan alis terangkat tinggi. “Pacar?” ulangnya tak percaya.
Jovita spontan menoleh cepat, matanya membulat. Noah memandangnya tak percaya, ekspresinya campuran antara heran dan jengkel. Ia tahu betul apa yang sudah terjadi antara Jovita dan Adam, semuanya diceritakan oleh Asri. Wajar jika Noah masih menyimpan amarah. Saat itu ia bahkan hampir mendatangi Adam untuk memberinya pelajaran, kalau saja Jovita tidak melarangnya.
Sejak ayah mereka tiada, Noah sudah terbiasa mengambil peran itu. Menjadi pelindung, pengganti sosok ayah yang menjaga adiknya dari apapun, terutama dari laki-laki yang bisa menyakitinya.
“Jovita,” panggilnya dengan suara rendah tapi tegas, “Kamu balikan sama Adam?”
Jovita langsung menggeleng cepat. “Bukan gitu. Pacar apanya? Dia bukan pacarku,” ucapnya buru-buru, berusaha menenangkan situasi. Ia baru teringat kalau Eden ada di sana saat ia bilang setuju untuk jadi pacar Devan.
“Kalau gitu, siapa dia?” tanya Noah, nadanya mendesak.
Jovita terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Noah menatapnya lekat, lalu mengalihkan pandangan ke anaknya yang berdiri di samping, dengan wajah polos tapi kejujurannya tak bisa disembunyikan.
“Itu om Adam?” tanya Noah.
Eden menggeleng cepat, wajahnya polos seperti biasa. Jovita mendengus pelan, menatap anak kecil itu dengan tajam. Ia tak menyangka, mulut sekecil itu bisa lebih berbahaya dari siapa pun, tajam dan tanpa ampun.
"Sialan, bocah kecil," geramnya dalam hati, menahan diri agar tak mengucapkannya keras-keras.
Noah kembali menatap Jovita, kali ini tanpa perlu bertanya. Tatapan matanya saja sudah cukup membuat bulu kuduk Jovita meremang. Ia tahu, kakaknya menuntut jawaban.
“Eden salah dengar. Dia bukan pacarku,” ucap Jovita cepat, berusaha terdengar tenang meski suaranya sedikit goyah.
Noah menyipitkan mata. “Jadi siapa dia?” tanyanya, tegas dan dalam, membuat Jovita semakin terpojok.
Beberapa detik hening berlalu sebelum akhirnya Jovita menarik napas panjang. “Devan,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
Noah mengernyit dalam, matanya menyipit seolah berusaha mengorek ingatan lama. Nama itu terdengar familiar di telinganya, tapi ia tak langsung ingat dari mana.
“Itu… teman SMA aku dulu,” jelas Jovita akhirnya. “Dia bukan pacar aku. Kebetulan aja kami ketemu, terus dia numpang ke toilet, dan aku nyuruh dia bawa Brownie.”
Noah menarik napas panjang, akhirnya potongan ingatan itu muncul juga. Ia baru teringat siapa Devan yang dimaksud. Dulu, waktu mereka masih sekolah, Devan memang pernah beberapa kali datang ke rumah. Bukan hanya dia, tapi juga teman-teman Jovita yang lain. Mereka sering mengerjakan tugas bersama di ruang tamu, sambil tertawa dan berdebat soal hal-hal sepele.
Dari situlah Noah dan Asri mulai mengenal nama-nama teman Jovita.
***
Mawar duduk di kursi pijat, matanya terpejam rapat. Alunan musik klasik mengalun lembut di ruangan, berpadu dengan aroma lavender dari diffuser yang menenangkan. Seharusnya suasana itu bisa membuatnya rileks, tapi pikirannya justru terus berputar, kembali ke kejadian siang tadi.
Ia menghembuskan napas pelan, mencoba menyingkirkan rasa kesal yang masih tersisa. Namun seberapa pun ia berusaha, bayangan wajah Devan yang dengan mudah mempermalukannya di depan semua orang tak mau hilang dari pikirannya.
Perlahan Mawar membuka matanya. Rautnya masih tegang, matanya menyiratkan amarah yang belum padam. Sejak pulang dari restoran tadi, suasana makin buruk. Ia dan Heri sempat berdebat panjang.
Mereka memang punya tujuan masing-masing lewat pernikahan itu, tapi sayangnya, tujuan mereka berjalan ke arah yang berlawanan.
“Devan… menolakku?” bisik Mawar pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya mengandung ketidakpercayaan dan sedikit luka yang disamarkan oleh nada datarnya.
Wajah Jovita tiba-tiba terlintas di pikirannya. Semua itu membuat dada Mawar terasa sesak. Ia menatap lurus ke arah dinding, tempat foto besar dirinya terpajang, dengan tatapan yang sulit dijelaskan antara marah dan kecewa.
Selama ini, dunia seolah berputar di sekelilingnya. Tak pernah ada pria yang menolak Mawar, mereka selalu datang mendekat, berusaha memikat hatinya. Tapi kini, untuk pertama kalinya, justru dia yang ditolak.
Rasa itu asing. Membakar harga dirinya perlahan.
Mawar terdiam sejenak. Segala sesuatu tiba-tiba terasa mencurigakan, ada yang janggal antara Devan dan Jovita. Jarinya mengetuk perlahan sandaran kursi pijat, sementara pikirannya berputar menata ulang potongan kejadian yang ia tahu.
Pertemuan pertamanya dengan Devan terjadi sekitar seminggu lalu, atas permintaan ayahnya, Heri, dan juga Rosmala. Logikanya, jika Devan mau menemuinya saat itu, berarti dia tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun. Tapi kini, pria itu memperkenalkan seorang wanita sebagai kekasihnya dan bahkan mengatakan mereka berencana menikah.
“Jangan-jangan…” gumam Mawar pelan, senyumnya tipis tapi tajam. “Dia cuma asal bawa wanita itu untuk menghindari perjodohan denganku?”
Keyakinannya makin kuat saat mengingat ekspresi terkejut Jovita tadi, di hadapan semua orang. Segala gerak-gerik wanita itu seolah menegaskan dugaan Mawar.
Ia menatap sekeliling, lalu matanya menangkap ponsel di meja. Perlahan tangannya meraihnya, jari-jarinya menekan layar. Tanpa ragu, ia menelepon asisten pribadinya, meminta semua informasi tentang siapa Jovita sebenarnya dan apa hubungannya dengan Devan.
Tak hanya Mawar yang merasa ada yang janggal dengan kejadian tadi, Rosmala pun merasakannya. Selama lebih dari setahun, ia selalu menyuruh Devan mengikuti kencan buta. Harusnya, jika Devan sudah punya kekasih, ia pasti menolak tegas, tidak akan mau menemui wanita itu, apalagi sekadar berpura-pura setuju. Rosmala pun tak akan memaksanya jika Devan bilang sudah punya pacar.
“Menurutmu, perempuan itu benar-benar pacarnya?” tanyanya pada suaminya, raut wajah serius. “Kenapa aku belum pernah bertemu dengannya? Mereka bilang berencana menikah,” tambahnya lagi, nada suaranya penuh curiga.
“Mungkin Devan memang punya pacar, cuma belum siap kasih tau kita semua,” jawab suaminya tenang.
Rosmala mendengus, merasa tersisih sebagai seorang ibu. Napasnya terhela pelan, diikuti perasaan tidak enak saat teringat kejadian di restoran. Di depan ayahnya, Devan menolak perjodohan dengan Mawar, membuat semua orang merasakan canggung dan malu.
“Ada yang nggak beres,” gumamnya lirih, tatapannya tajam. “Aku rasa aku harus ketemu perempuan itu.”
Tiga hari berlalu. Mawar duduk di ruang meeting, dikelilingi para karyawannya, membahas proyek yang akan mereka jalankan. Tapi pikirannya entah kemana, semua perhatian tertuju pada satu orang: Jovita. Selama tiga hari terakhir, ia menunggu informasi yang diminta dari asisten pribadinya, namun belum ada perkembangan sedikit pun.
Akhirnya, pertemuan itu selesai. Asisten pribadinya mendekat, menyerahkan setumpuk kertas.
“Bu Mawar, ini data diri orang yang ibu minta,” katanya, suaranya terdengar resmi tapi tegas.
Mawar meraih kertas itu dengan cepat, matanya bergerak cepat menelusuri setiap detail. Setiap baris, setiap angka, setiap nama, ia serap dengan seksama. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia menatap asisten pribadinya, bibirnya menyungging tipis. “Bisa kamu lakukan hal lain?” tanyanya pelan, namun nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lebih.
To be continued