Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Shenia pulang untuk misi terselubung
Pesawat mendarat dengan hentakan lembut di landasan Soekarno-Hatta, dan di barisan penumpang kelas bisnis, Shenia menggenggam tangan kecil Aaron erat-erat. Bocah itu tampak kelelahan, namun tetap tersenyum ketika melihat jendela yang menampilkan langit Indonesia yang kelabu.
“Kita udah sampai, Mami?” tanyanya lirih, suaranya selembut embun pagi.
Shenia mengangguk pelan, bibirnya berusaha membentuk senyum.
“Iya, Sayang. Kita pulang…”
Kata pulang itu terasa berat. Bukan sekadar kembali ke negeri sendiri, tapi juga kembali ke masa lalu yang selama ini ia hindari mati-matian.
Ia menatap wajah Aaron. Kulit pucatnya, matanya yang menyala lembut, wajah yang begitu mirip dengan seseorang yang dulu ia cintai.
Dalam hati, Shenia berulang kali menegaskan pada dirinya, Ia datang bukan untuk membuka luka lama.
Bukan untuk meminta maaf, apalagi meminta cinta. Ia datang untuk menyelamatkan nyawa anaknya.
Namun rencana yang tampak sederhana di atas kertas, terasa begitu sulit di hati. Bagaimana cara mendekati Alan tanpa membongkar kebenaran tentang Aaron?
Bagaimana cara menjelaskan misi gila ini, membuat seorang anak lagi tanpa menghancurkan semuanya?
Di tengah suara pengumuman bandara dan langkah penumpang yang bergegas, Shenia menarik napas panjang.
“Kita akan baik-baik saja, Aaron,” bisiknya sambil mengecup puncak kepala putranya.
Tapi jauh di dalam dadanya, janji itu terdengar rapuh karena ia tahu, untuk menyelamatkan anaknya, ia harus menghadapi satu-satunya pria yang kini ia takut dan malu untuk ditemui, Alan Casteo Abram.
__
Di sisi lain...
Di Restoran bergaya modern minimalis, dengan aroma pasta dan kopi yang samar memenuhi udara. Di sudut paling tenang, Gideon duduk dengan posisi tegap, penampilannya rapi dalam kemeja abu lembut, kacamata hitam tipis bertengger di wajahnya seolah ingin menyembunyikan sorot mata yang sedang berusaha fokus pada dokumen di layar tab-nya.
Namun semua itu berubah dalam sekejap.
Sekilas pandang yang seharusnya singkat justru membuat jarinya berhenti mengetik. Di seberang ruangan, di dekat jendela besar yang menampilkan langit siang, Chesna duduk dengan seseorang. Seorang pria tinggi, berpenampilan hangat dan berwibawa, menatapnya dengan tatapan yang terlalu lembut untuk disebut biasa.
Gideon tak tahu siapa pria itu. Tapi ia tahu bagaimana caranya pria itu menatap penuh perhatian, seolah dunia di sekitarnya tak ada.
Dan saat sendok itu berpindah dari tangan si pria ke bibir Chesna, sesuatu di dada Gideon bergetar aneh. Panas.
Ia menegakkan punggungnya, mencoba menenangkan diri. Itu hanya makan siang biasa, pikirnya. Tapi pikirannya sendiri menertawakan kalimat itu. Karena bahkan dari jauh, ia bisa melihat bagaimana wajah Chesna sedikit bersemu, menunduk malu saat disuapi.
Pelayan datang mengantarkan makanannya, namun ia bahkan tak menoleh. Matanya terpaku.
Jantungnya berdetak cepat dengan irama yang tak bisa dijelaskan, antara cemburu, kesal, dan bingung mengapa ia begitu peduli. Tidak. Deon tidak bingung. Ia tahu jelas hatinya milik gadis itu.
Gideon berdiri, memandangi dua sosok yang tengah tertawa pelan. Chesna terlihat bahagia, senyumnya lembut, matanya berbinar. Lelaki di hadapannya tampak sopan, penuh perhatian, dan seolah begitu pas di sampingnya. Gideon menggenggam tongkatnya erat, jemarinya bergetar menahan gelombang perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kecewa, cemburu, dan pasrah. Ia sadar, dirinya tak punya tempat di dunia Chesna yang penuh cahaya. Langkahnya perlahan mundur, meninggalkan bayangan mereka berdua sementara di dadanya, sesuatu terasa retak pelan tapi pasti.
Chesna terlihat sibuk mendengarkan Arion bercerita tentang proyek barunya di luar negeri. Chesna sesekali tertawa kecil di sela-sela obrolan mereka.
Arion selalu punya cara membuat suasana hangat, membuatnya merasa dihargai tanpa harus berpura-pura menjadi siapa pun. Namun di balik tatapan ramah itu, Arion menyimpan sesuatu yang tak pernah Chesna sadari, perasaan yang tumbuh sejak pertemuan pertama mereka di acara keluarga beberapa tahun lalu.
Arion menatap Chesna dengan senyum yang nyaris samar, seolah menikmati kebersamaan yang sederhana ini, sementara di hatinya ada doa yang ia simpan rapat, semoga gadis di hadapannya suatu hari bisa melihatnya lebih dari sekadar sepupu. Ya, Arion adalah putra dari Vania dan Gamalio Abra, Vania sendiri adalah adik kiandung Rania, mama dari Chesna.
Sejak awal perkenalan mereka kurang lebih sepuluh tahun lalu, Arion langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Baginya, Chesna adalah gadis yang sangat sesuai dengan tipenya. Perasaan itu tidak pernah berubah sampai detik ini.
Sementara Chesna, tak tahu bahwa seseorang di luar sana, Gideon, baru saja memalingkan pandangan dengan hati yang retak, meninggalkan ruang kosong yang belum sempat ia mengerti.
__
Restoran di lantai atas hotel miliknya itu penuh cahaya lembut dan aroma bunga segar. Alan menatap jam tangannya lagi, mengembuskan napas panjang. Ini jelas bukan ide yang lahir dari dirinya sendiri. Ia ada di sana karena mamanya bersikeras, “Sekali aja, Nak. Kenalan baik-baik. Siapa tahu cocok.”
Lalu muncullah sosok itu. Dea.
Tubuh tinggi semampai, rambut hitam bergelombang yang jatuh di bahu, dan langkah percaya diri seperti sedang melangkah di atas panggung runway. Semua mata menoleh sesaat, termasuk Alan yang refleks menegakkan duduknya.
“Alan?” suara lembut tapi tegas menyapanya.
“Iya. Dea, kan?”
Dea tersenyum, duduk dengan anggun. “Kata Tante Rania, kamu orangnya pendiam. Tapi dari tatapan kamu, aku malah curiga kamu tipe pengamat.”
Alan tersenyum miring. “Tergantung apa yang diamati.”
“Wah, gitu ya?” Dea tertawa pelan. “Kalau begitu, kamu lagi mengamati apa sekarang?”
Alan menatapnya sekilas, tidak mengatakan apapun.
Pelayan datang membawa menu, dan suasana bergeser menjadi lebih santai. Mereka membicarakan hal-hal ringan tentang pekerjaan, hobi, sampai makanan favorit. Tapi sesekali, Dea memiringkan kepala, memperhatikan Alan yang sesekali melamun.
“Kamu kelihatan kayak lagi mikirin seseorang,” katanya tiba-tiba.
Alan tersenyum tipis, menyembunyikan sesuatu di balik tatapan datarnya. “Mungkin.”
“Pacar?”
“Bukan,” jawabnya pelan, menatap ke luar jendela di mana lampu kota mulai berpendar.
Dea menatapnya lama, senyumnya memudar sedikit. “Beruntung banget orang itu.”
Alan menggeleng pelan. “Belum tentu.”
Di antara tawa dan obrolan ringan malam itu, ada jarak yang tak bisa dijembatani oleh cahaya lilin di antara mereka. Dea tahu, Alan hadir secara fisik, tapi hatinya masih berjalan entah di mana, mungkin di masa lalu yang belum selesai.
Suasana restoran yang semula tenang tiba-tiba berubah riuh. Kilatan kamera dan suara langkah tergesa memenuhi ruangan. Dea menoleh cepat, seketika wajahnya menegang. Beberapa wartawan sudah mendekat, mikrofon terulur di antara kerumunan pengunjung yang mulai menonton.
“Dea! Dea! Benarkah rumor soal kamu dan sutradara itu benar?”
“Dea, siapa pria di sebelahmu? Kekasih baru?”
Alan menatap bingung, tak menyangka makan malam santai itu akan berubah jadi sorotan publik. Dea menarik napas, menatapnya sekilas, tatapan cepat, tapi penuh arti.
“Dea, perlu aku-”
Belum sempat Alan menyelesaikan kalimatnya, Dea sudah tersenyum ke arah kamera, suara lembut tapi tegas keluar dari bibirnya.
“Teman-teman media,” katanya anggun, menyandarkan tangan di bahu Alan, “ini Alan. Pria spesial yang selama ini saya jaga hubungannya dari publik. Saya rasa, sudah waktunya kalian tahu.”
Kilatan kamera makin deras. Alan terpaku sepersekian detik, menatap Dea yang tetap tenang di tengah kekacauan itu.
“Dea, kamu yakin mau bilang begitu?” bisiknya pelan.
Dea menoleh, suaranya rendah tapi mantap. “Kamu mau bantu aku keluar dari situasi ini, kan?”
Alan menatap matanya sebentar dan menangkap ada keputusasaan disana. Ia akhirnya tersenyum samar, lalu menautkan jari mereka di atas meja, berpura-pura akrab.
“Kalau begitu, aku mainkan peranku,” katanya datar namun tulus.
Seketika sorakan dan tanya-jawab makin ramai, namun Dea tetap tersenyum di bawah blitz kamera, seolah semua sudah diatur.
Satu hal pasti, malam itu, di hadapan puluhan pasang mata, mereka resmi menjadi “pasangan” yang bahkan tak sempat mereka sepakati.
Dan dari layar ponsel dalam genggaman, Shenia baru saja menyaksikan semua itu. "Oh, jadi dia sudah-"
__
Bersambung....
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??