Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Tamu
“Ada perlu apa ya, Mas?” tanya Senja, wajahnya serius matanya menatap dengan penuh waspada.
Saya temannya Saka,” jawab Zein sambil tersenyum lembut. “Beliau meminta saya untuk menunggu di rumahnya, karena sebentar lagi dia akan pulang.”
Meskipun penampilan pria di depannya itu tidak seperti orang jahat. Namun Senja masih ragu dengan alasan tersebut. Mengingat, semalam ia nyaris mendapatkan tindakan pelecehan.
“Hmm, maaf Mas! Saya gak bisa menerima tamu seorang laki-laki saat suami saya tidak ada di rumah.”
Tak habis akal, Zein mencari alasan lagi.“Oh.. tapi ini Saka sendiri memintanya. Anda bisa menghubunginya terlebih dahulu.” pria itu meraih benda pipih di saku celananya lalu mengotak atiknya. Setelah kontak menampilkan nama Saka ia mengusap ikon hijau. Selama beberapa saat dia menunggu hingga terdengar suara dari seberang telpon.
“Hallo, Saka, aku sudah di depan rumahmu nih. Istrimu bilang, jika ia tak menerima tamu laki laki karena kau tidak ada di rumah….” ujarnya sambil melirik Senja yang masih menyembunyikan sebagian wajah dan tubuhnya di balik pintu
“… Baiklah akan aku berikan padanya,” ujarnya lagi,, lalu ia memberikan benda pipih itu ke Senja. “Ini dari suamimu.”
Tangan Senja terulur saat menerima benda pipih itu, kemudian dia menempelkannya di telinga. “Halo, Mas!’
“Senja, dia Zein temanku, biarkan saja dia masuk. Sebentar lagi aku akan pulang,” ucap Saka di sambungan telepon, suaranya datar dan tegas.
Senja menelan ludah, menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk lemah. “Baik, Mas…” jawabnya pelan, lalu menutup telepon.
Dengan sedikit enggan, ia membuka pintu dan memberi jalan. “Silakan masuk, Mas Zein,” ucapnya sopan meski nada suaranya terdengar dingin dan hati-hati.
Zein melangkah masuk, menatap sekeliling rumah sederhana itu dengan seksama sementara Senja menutup pintu kembali karena masih diliputi rasa tak nyaman dan curiga, tapi berusaha mematuhi perintah suaminya.
Zein berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Bisa bisanya Saka memilih rumah seperti ini untuk tempat tinggalnya,” gumamnya pelan.
“Silakan duduk, Mas!” ucap Senja dengan gugup, dia menunduk agar wajahnya yang cantik saat itu tak terlihat sepenuhnya.
Zein menoleh, sambil berusaha mengintip wajah Senja yang sempat membuat jantungnya berdebar tadi. Namun Sayang, ia tak bisa melihat sepenuhnya karena tertutupi oleh rambut.
Perlahan ia mendaratkan bokongnya di sofa.
“Mas, mau minum apa?” tanya Senja.
“Apa saja, boleh,” jawab Zein lugas.
“Oke, Sebentar ya!”
Senja melangkah menuju dapur. Sementara Zein mengedarkan pandangannya ke segala arah, mengamati sekitar ruang itu, jarinya mengetuk sandaran sofa sambil memikirkan bagaimana caranya menjalankan misi yang diberikan Saka.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki. Zein mengamati Senja yang berjalan melewatinya. Tangan wanita itu terlihat gemetar, saat memegang nampan.
“Ini, Mas minumnya,” ucap Senja sambil meletakkan secangkir minuman hangat di meja.“ Silahkan diminum, Mas.”
“Iya, Terima kasih!” Zein meraih cangkir itu, menyeretnya lebih dekat dengannya.
“Oh, ya Mas! Saya ada kesibukan, maaf saya tinggal ya.”
Suara Senja gemetar. Ekspresinya juga terlihat ketakutan dan beberapa kali terlihat ia menghindari pandangan Zein.
“Oh iya, kamu sibuk ya? Maaf mengganggu kalau begitu….tapi bisa minta waktu sebentar?” tanya Zein. Pandangannya tertuju pada wajah Senja.
Senja semakin tidak nyaman, apa lagi Zein yang terlihat intens menatapnya. “Memangnya ada apa ya, Mas?”
“Duduk dulu!” titah Zein sambil mengarahkan ke empat jari pada sofa yang ada di sampingnya.
Senja menoleh sebentar di tempat duduk yang ditunjuk pria itu. Namun keraguan seketika menghampirinya. “Katakan saja, Mas! Saya gak berani bicara berdua dengan pria asing.” Suaranya bergetar karena takut, sementara pandangannya mengedar sebagai bentuk kewaspadaan.
Melihat wanita itu tampak ketakutan Zein berusaha meyakinkan. “Tenang saja! ! Kamu gak perlu khawatir, saya bukan orang jahat, Anda dengar sendirikan, Saka sendiri yang meminta saya untuk menunggu di sini,” ujarnya dengan tenang.
Senja berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju , lalu berjalan ia mundur perlahan, ketika kakinya menyentuh sofa ia mendaratkan bokongnya. “Katakan saja, apa yang bisa saya bantu?”
“Saya cuma mau tanya ukuran sepatu, warna kesukaan kamu saja,” kata Zein, coba untuk lebih dekat dengan menyebut Senja ‘kamu.’
“Untuk apa?” tanya Senja datar, wajahnya engan melihat lawan bicaranya.
“Ya untuk berikan kamu hadiah, dong,” jawabnya sambil tersenyum penuh arti.
Bukannya terpedaya, Senja justru semakin waspada. “Mas jangan macam macam ya! saya sudah punya suami!” ujarnya dengan tegas.
Zein tersenyum puas karena baru kali ini dia berhasil melihat wajah Senja dengan jelas. “Ternyata dia sangat cantik, apalagi saat mode galak seperti tadi,”batinnya.
“Kamu jangan salah paham. Saya memang mau kasih hadiah sebagai kado pernikahan kamu dan Saka,” ujar Zein dengan nada bicara yang lembut,”hadiahnya bukan cuma untuk kamu saja kok, tapi untuk Saka juga," Paparnya agar tak salah paham.
"Oh ya, aku ini pengusaha sepatu lokal dengan merek Ardinal. Karena itulah aku tanya tentang ukuran sepatu mu."
Kali ini Senja yang salah tingkah karena merasa bersalah telah berpikir negatif. “Maaf, Mas karena saya tadi sempat souzon, itu karena pengalaman mengajarkan saya untuk tidak mudah percaya dengan siapapun,” ujarnya memberikan alasan.
Zein kembali tersenyum kalem. “Tidak apa apa, itu bagus. Karena tidak semua manusia sama kan? Kadang yang terlihat manis, justru paling menyakiti.”
Tit tit… Tiba-tiba terdengar suara klakson.
Sontak Senja dan Zein menoleh.
“Senja!” suara teriakan dari arah luar.
Seketika itu Senja beranjak dari tempat duduknya, kemudian menghampiri pintu. Kreak pintu terbuka.
Senja menelan ludah, wajahnya memucat. … Tante Rita,”gumaman. Ia berdiri perlahan, lalu menatap Zein dengan canggung. “Mas tunggu disini sebentar, ya.”
“Oh iya!”
Senja berjalan ke arah pintu, hatinya berdebar cepat, saat melihat Tante Rita berdiri di depan rumah dengan wajah kesal dengan tangan bersedekap.“Mana uangnya?! ” tanya sambil menadahkan tangan.
“Iya, Tan aku akan bayar tapi tiga juta dulu, ya!” ujarnya dengan lemah lembut berharap dapat pengertian.
“Apa?! Tiga juta?!” Teriak wanita paruh baya itu hingga matanya melotot. “Kamu pikir saya tukang kredit yang bisa kamu cicil!”
Senja melirik ke arah Zein, memastikan pria itu tidak mendengar percakapan mereka, kemudian ia mendekati tantenya dengan wajah pucat menahan malu. “Tante, tolong jangan keras, ada teman suamiku,” bujuk Senja dengan setengah memohon.
Wanita itu langsung menoleh ke arah jendela. “Aku tidak peduli, mau itu selingkuhanmu atau apa, yang penting bayar hutang ku! “
“Astagfirullah Tante, aku pasti bayar, tapi aku gak punya uang seratus juta, tolong kasih aku waktu lebih lama, aku. Mohon,”pinta Senja setelah menangis. Selain terdesak ia juga malu pada Zein. “Tolonglah Tante,” ucapnya sambil menangkup kedua telapak tangannya
“Tidak bisa! Pokoknya kamu harus bayar sekarang, kalau tidak aku akan lapor pada suamimu!” seru tante Rita sambil mencoba menerobos pintu.
Namun Senja menahannya dengan menarik tangan wanita itu. “Tante, percuma tante teriak suamiku gak ada di rumah,” ujarnya mencoba untuk bersikap tenang.
“Aku tidak peduli," desak wanita itu. "aku akan minta dengan selingkuhan mu itu, jika kau tidak membayarnya sekarang!”
Senja semakin panik, sebelum wanita itu masuk, ia coba menghadang dengan tubuhnya sambil merentang tangan. “Astagfirullah Tante, dia itu bukan selingkuhan ku, tapi rekan bisnis suamiku, aku mohon jangan seperti ini, tante,” pintanya dengan setengah menangis.
Zein yang masih di ruang tamu mendengar semuanya. Ia menatap ke arah pintu dengan ekspresi tak terbaca, mulai memahami sedikit demi sedikit kerumitan yang tersembunyi di balik kehidupan rumah tangga Saka dan Senja. Dia pun beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri pintu, dan membukanya.
Senja dan Rita kaget melihat kemunculan pria itu.
“Berapa hutang Senja pada Anda?” tanya Zein.
Seketika itu mata Senja melotot. Belum sempat ia merespon dengan antengnya tante Rita menyebutkan nominalnya. “Seratus dua puluh juta. “
“Baiklah,” ucap Zein sambil mengotak atik handphone miliknya. “Berikan nomornya.”
Reflek senja menjauhkan tangan Zein. “Mas jangan! Kamu tidak perlu membayarnya, aku bisa menyelesaikan sendiri,” ujarnya dengan suara bergetar, takut dan cemas. Matanya menatap Zein penuh harap.
“Ah tidak apa apa, biar saja aku yang bayar, agar dia tidak mengganggumu lagi,” kata Zein dengan santai.
Senja semakin resah. “Gak usah, Mas! Tidak perlu,” cegah Senja lagi.
“Sudahlah Senja, jangan sok jual mahal kau! Biar saja pacarmu itu membayarnya,” celetuk tante Rita yang kegirangan. Ia lalu menunjukkan nomor rekeningnya. Dan seketika itu Zein mengotak atik ponselnya lagi.
Beberapa saat terdengar notifikasi, tante Rita tersenyum. “Oke sudah masuk! Terima kasih,” umar wanita itu sambil melenggang pergi.
Senja semakin canggung. Sungguh kejadian itu begitu cepat terjadi hingga membuatnya tak sempat lagi mencegah. Dia melirik Zein yang memasukkan handphonenya ke dalam saku.
“Mas, kenapa Mas lakukan itu? Bagaimana aku bisa membayarnya pada, Mas?” tanya Senja gugup bercampur emosi dan ketakutan karena beban hutangnya kini berpindah pada Zein.
“Tidak apa-apa tidak usah di pikirkan, kau bisa membayarnya kapan saja,” jawab Zein sambil kembali masuk ke dalam ruangan kemudian keluar lagi setelah meneguk minuman.
“Kalau begitu saya, permisi dulu ya,” ucapnya pada Senja yang masih terpaku di depan pintu.
Saking syoknya dengan apa yang dilakukan oleh Zein Senja kehabisan kata-kata, bahkan untuk menyebut kata ‘ iya. ‘ Tubuhnya terpaku menatap kepergian pria itu. “Ya Allah… Bagaimana ini, kini aku justru berhutang dengan pria yang tak ku kenal,” sesalnya penuh ke khawatiran.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you