ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 : Batas yang Terguncang
Pintu ruangan kerja Adrian terbuka dengan satu ketukan singkat. Samuel masuk tanpa menunggu persetujuan, sesuatu yang biasanya tidak ia lakukan.
Adrian sedang menatap layar laptopnya, jemarinya sibuk mengetik. "Ada apa?" katanya tanpa mengalihkan pandangan.
Samuel berdiri di hadapannya, menyilangkan tangan. "Dia di sana, Adrian. Di klub malam itu. Dia melayani tamu, berjalan dari meja ke meja dengan senyum yang tidak sampai ke mata."
Adrian berhenti mengetik. "Aku sudah tahu!"
Samuel sedikit heran "Dan kau membiarkannya?"
Adrian masih berpaku pada pekerjaannya "Lantas?"
Samuel tidak langsung merespon. Ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Tapi aku yakin kau belum tahu bagian ini!"
Adrian mendongak, dahi sedikit berkerut.
Samuel berbicara pelan, seolah menimbang kata-kata. "Ada seorang pria. Pelanggan. Dia menarik lengan Elina... dengan cara yang tidak layak. Seolah dia membeli hak atas tubuhnya dengan segelas anggur."
Adrian diam. Wajahnya tak menunjukkan reaksi sesaat, seolah mencoba merasionalisasi kalimat itu.
Lalu, samar-samar, ada sesuatu yang berubah di matanya, seperti kilatan petir dalam badai yang tenang. Bahunya menegang. Rahangnya mengeras.
"Dia menyingkirkan tangan pria itu?" tanya Adrian akhirnya.
Samuel mengangguk. "Dengan sopan. Tapi pria itu menyeringai. Dan Elina... tampak seperti sudah terbiasa."
Hening membekap ruangan. Adrian bangkit berdiri, mendorong kursinya mundur dengan kasar. Suara gesekan kaki kursi memecah keheningan.
"Dia tidak seharusnya di sana," katanya pelan, nyaris seperti gumaman.
Samuel mengamati perubahan pada pria itu. "Lalu kenapa kau biarkan dia?"
Adrian menghela napas, menatap jendela yang menghadap lanskap kota malam. Lampu-lampu tampak seperti bintang yang tidak berjiwa.
"Karena aku tidak berhak!"
Samuel tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu, pertahanan dingin Adrian mulai retak. Bukan hanya karena rasa bersalah, tapi karena ada yang lebih dalam dari itu. Sesuatu yang selama ini Adrian coba sembunyikan: rasa peduli.
Dan mungkin... rasa memiliki.
...****************...
Ketukan di pintu terdengar seperti guntur di pagi yang masih gelap. Elina terperanjat dari tidurnya yang dangkal di atas kasur yang keras, selimut tipis masih melilit tubuhnya. Pintu itu kembali diketuk, lebih keras kali ini.
Dia bangkit dengan kaget, membenahi rambut dan jubah tidurnya seadanya, lalu melangkah ke pintu dengan jantung yang berdentum. Siapa yang datang sepagi ini?
Ketika daun pintu dibuka, wajah Adrian Leonhart berdiri di ambang, dibalut mantel gelap dengan ekspresi tak terbaca. Udara pagi menyeruak masuk, membawa serta aroma maskulin yang begitu dikenalnya.
"Elina," suara pria itu rendah dan datar, namun nadanya lebih tajam dari biasanya. "Kita perlu bicara."
Elina mengerjap, tidak yakin ini nyata. "Sekarang? Pagi-pagi begini?"
"Sekarang."
Ia melangkah masuk tanpa diundang. Elina hanya bisa menutup pintu perlahan, lalu berdiri mematung saat pria itu membalikkan badan, menatapnya lekat-lekat.
"Aku akan langsung pada intinya," katanya. "Aku didesak untuk menikah oleh nenekku. Tapi aku tidak siap untuk memulai hubungan sungguhan."
Elina menahan napas.
"Aku menawarkan pernikahan kontrak," lanjutnya. "Ini tidak gratis. Aku tahu kamu butuh uang, kamu butuh pekerjaan sampingan... dan aku butuh seseorang yang bisa menjauhkan wanita pengatur itu dari hidupku."
Adrian mengambil amplop dari dalam mantelnya dan meletakkannya di meja reyot di dekat mereka. "Di dalamnya ada proposal, dan jumlah yang aku anggap layak untuk membayar egomu yang tinggi... jika kamu merasa harga dirimu tercoreng karena menerima bantuanku."
Elina menatapnya, bingung, terluka, dan marah dalam waktu yang bersamaan.
"Cukup sayangi Claire seperti seorang ibu menyayangi anaknya," suara Adrian menjadi lebih lembut. "Jaga dia. Rawat dia. Dan ikutlah peranku sebagai istri, di mata publik."
Elina menggeleng lemah. "Kenapa aku?"
"Karena Claire menyukaimu... dan karena kamu tidak berpura-pura. Kamu tidak berpura-pura manis saat orang melihat, lalu membenci anak-anak di belakang."
Nada suaranya menegang, mengingat jamuan makan malam bersama wanita yang direstui neneknya, yang tak sanggup menyembunyikan ketidaksukaannya pada Claire meski dengan topeng mewah dan senyum pelatihan.
Elina terdiam.
Adrian melangkah pelan ke arahnya, menatap matanya yang sayu. "Ini bukan cinta. Ini kesepakatan. Dan kamu boleh mundur kapan pun kamu merasa tidak sanggup."
Ia meletakkan kunci mobil di atas meja.
"Pertimbangkan. Aku akan kembali malam ini."
Lalu ia pergi. Meninggalkan Elina berdiri membeku di ruang kecilnya, di antara kebingungan dan ketakutan... dan kemungkinan yang tak pernah ia bayangkan.
...****************...
Udara pagi masih menggigit kulit saat Adrian membuka pintu rumah kecil Elina. Deritannya terdengar lirih di tengah keheningan lingkungan yang masih tertidur.
Langkah kakinya mantap, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang tidak setegas sebelumnya. Seolah-olah, sebagian dari dirinya tertinggal di ruang sempit itu, bersama seorang wanita yang terlalu bangga untuk meminta tolong, dan terlalu hancur untuk mengakuinya.
Begitu masuk ke dalam mobil, Adrian menghembuskan napas panjang. Jari-jarinya mengetuk setir dengan pelan. Sekilas ia melirik kaca spion, menatap rumah kecil yang kini kembali sunyi. Tak ada tirai yang bergerak, tak ada cahaya yang menyala. Seolah percakapan barusan hanya mimpi aneh yang mengganggu tidur.
Ia memejamkan mata sebentar. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, tubuhnya tampak lelah. Namun tak ada penyesalan dalam wajahnya. Hanya... harapan yang ia sembunyikan rapat-rapat.
"Aku sudah menawarkan jalan," gumamnya lirih. "Jika dia menolaknya, aku tak akan memaksa. Tapi jika dia menerima..." Ia membuka mata. Ada kilatan tekad di sana. "Aku tidak akan membiarkan dia jatuh sendirian lagi."
Mobil itu melaju perlahan meninggalkan jalan kecil yang becek, tanpa gemuruh mesin, tanpa suara yang memecah sunyi. Hanya jejak ban yang mengering di tanah, sebagai bukti bahwa seseorang pernah datang membawa tawaran nasib baru.
Dan Elina, di balik pintu yang tertutup rapat, masih berdiri mematung. Tangannya mengepal, dadanya naik turun tak beraturan.
Sebuah pilihan telah diberikan padanya. Kini, semuanya tergantung pada keberanian untuk menerima atau menolak takdir yang datang dalam bentuk pernikahan kontrak... dan pria bernama Adrian Leonhart.
...****************...
Cahaya matahari pagi menyusup malu-malu ke sela tirai kelas TK itu, menghangatkan ruangan yang dihiasi gambar-gambar binatang lucu dan huruf-huruf besar warna-warni. Tawa kecil anak-anak sudah mulai terdengar, memenuhi udara dengan riang yang tak tergantikan.
Namun Elina tidak sepenuhnya hadir pagi itu.
Tubuhnya berdiri di tengah kelas, senyum tipis terukir di bibirnya setiap kali seorang anak menunjuk gambar atau meminta bantuan. Tapi pikirannya... terbang jauh. Kembali ke ruang tamu semalam. Ke suara Adrian yang tenang namun tegas, ke tatapan matanya yang dalam dan tawaran yang masih membuat jantung Elina berdegup tak karuan.
"Kontrak pernikahan."
Kata-kata itu masih terngiang. Bahkan saat tangan kecil menarik ujung bajunya, atau ketika Claire tertawa lepas bersama temannya di pojok ruangan, Elina masih merasakan dentuman bingung yang belum usai di dalam dadanya.
Ia duduk di lantai, membantu anak-anak menyusun balok warna-warni. Tapi matanya menatap kosong ke arah menara kecil yang mereka bangun. Hatinya berteriak.
Bagaimana mungkin ia menyetujui sesuatu yang begitu besar hanya karena desakan hidup? Tapi... bagaimana mungkin ia menolaknya ketika tahu jalan lain nyaris tak ada?
Tangannya refleks merapikan pita di rambut salah satu murid, lalu menepuk lembut kepala gadis kecil itu. Ia memaksakan senyum lagi.
"Apa kamu sedih, Miss Elina?" tanya seorang anak polos sambil menatapnya dengan dahi berkerut.
Elina tertegun. Ia menggeleng cepat, lalu meraih tangan mungil itu. "Tidak, sayang. Miss Elina cuma... lelah."
Tapi hatinya tahu: ini bukan sekadar lelah.
Saat bel istirahat berbunyi dan guru-guru lain berkumpul di ruang staf, Elina memilih duduk sendiri di bangku taman belakang. Matanya menatap ke langit, menantang awan untuk memberi jawaban yang ia butuhkan. Tapi seperti biasa, yang ia dapat hanya angin dan sepi.
"Apa aku sedang menjual diriku?" bisiknya lirih. "Dan... apakah dia benar-benar tulus? Atau hanya menjadikanku solusi sementara?"
Langkah kaki kecil berlari ke arahnya. Claire muncul, diikuti Liora. Mereka tertawa, berebut duduk di pangkuannya.
Saat itu, Elina memejamkan mata. Memeluk keduanya erat. Dalam dekapan hangat dua anak itu, jawabannya semakin dekat. Atau setidaknya... ia tahu kepada siapa ia akan mengorbankan segalanya.