Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Viola menyentuh sendoknya dan mulai menyantap makanannya dengan tenang, seolah-olah tak ada yang mengusik pikirannya. Setiap gerakan tampak anggun namun sarat dengan ketegasan.
Viola berusaha untuk tidak memikirkan soal Celine yang mengaku sebagai kekasih Arga, tapi ...
Namun, secuil rasa tidak nyaman menyelinap ke relung hatinya. Bukan karena cemburu—setidaknya itulah yang ingin ia yakini. Tapi... siapa perempuan itu? Dan dengan percaya dirinya, ia datang mencarimu, Arga, pikir Viola dalam diam, sudut bibirnya menegang.
Di dalam hatinya, badai kecil mulai reda. Ia mengingatkan dirinya sendiri—berulang kali. Aku tidak peduli. Aku tidak mencintainya. Pernikahan ini hanyalah formalitas. Tidak lebih.
Ia menghela napas perlahan, mengedikkan bahu seolah mengusir awan-awan kelabu dari benaknya. Lalu, tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia kembali makan. Dengan lahap. Dengan penuh tekad.
Yang jelas, satu hal pasti—Viola tidak akan menunjukkan bahwa ia terganggu. Tidak di depan Arga. Dan terutama, tidak di depan wanita bernama Celine itu.
**
**
Arga merapikan diri di depan cermin, menyisir rambutnya cepat-cepat dengan jari. Pikirannya melayang, wajah Viola tadi masih jelas tergambar di benaknya. Dingin. Tak acuh. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang menusuk lebih tajam dari kata-kata.
Dengan langkah berat, ia keluar dari kamar, lalu berhenti sejenak di ambang pintu. Viola masih duduk di meja makan, mengunyah makanannya dengan tenang namun penuh ketegangan.
"Aku keluar sebentar menemui Celine di depan," ujar Arga perlahan.
Viola tidak menoleh. Sendok di tangannya hanya berhenti sejenak, lalu kembali bergerak. "Terserah. Aku bukan ibumu yang harus tahu ke mana kau pergi," ucapnya tajam, tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya.
Entah mengapa, dia selalu ingin marah jika di depan Arga. seperti seorang ibu pada putranya.
Arga menghela napas. Ada rasa bersalah yang menjalar, tapi dia terlalu pengecut untuk menanggapinya. Tanpa menunggu reaksi lebih jauh dari Viola, dia bergegas menuju pintu depan.
Langkah-langkahnya cepat, seolah ingin kabur dari suasana yang menyesakkan di dalam rumah. Tapi rasa sesak itu justru semakin menjerat ketika ia menyadari... Rasanya seperti suami yang ketahuan selingkuh.
Ia tertawa getir dalam hati. Eh, bukankah memang begitu? Aku suami sekarang. Dan, ya... aku juga sedang merencanakan perselingkuhan.
Tangannya ragu saat menggenggam kenop pintu, namun akhirnya dia mendorongnya terbuka. Angin sore menyambutnya, membawa serta aroma wangi bunga di teras yang seolah mengejek kekacauan di dadanya.
Di sana, Celine duduk di bangku rotan, menyilangkan kaki dengan anggun namun gelisah. Begitu melihat Arga, dia langsung melipat tangan di dada.
"Lama sekali. Aku hampir pergi," keluhnya.
"Ada apa, Cel?" tanya Arga, berusaha tetap tenang, meski nada suaranya terdengar lebih lelah daripada yang ia harapkan.
Celine berdecak kesal. "Jangan pura-pura lupa. Tadi kamu janji mau nemenin aku cari kado, ingat?"
Arga terdiam sejenak. Janji. Betapa mudahnya ia mengucap janji—kepada Viola, kepada Celine, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi entah mengapa, semuanya terasa seperti kebohongan yang menunggu waktu untuk meledak.
Arga berdiri mematung di ambang pintu, masih belum tahu harus merespons bagaimana. Celine, seperti biasanya, tidak memberinya ruang untuk berpikir.
"Arga, kamu kenapa sih?" tanya gadis itu dengan nada jengkel. "Kamu kayak orang bingung dari tadi. Jangan bilang kamu takut sama perempuan itu, hah?"
Arga menoleh cepat, menatap Celine dengan dahi mengernyit. "Perempuan itu?"
Celine mengangkat alis, ekspresinya seakan mengejek. "Yang tadi bukain pintu. Kakakmu, kan? Atau siapa sih dia? Serius banget tatapannya tadi. Kayak aku nyelonong masuk ke teritori pribadi."
Arga terdiam. Sebuah senyum hambar nyaris muncul di sudut bibirnya, tapi yang keluar hanyalah helaan napas berat. Kalau saja semudah itu menjelaskan—bahwa 'kakaknya' itu sekarang istrinya. Istri yang dinikahinya karena alasan yang bahkan tak bisa ia jabarkan dengan utuh.
Pelipisnya mulai berdenyut. Ia memijatnya perlahan, mencoba meredakan rasa pening yang mulai menyergap.
“Cel, tunggu sebentar ya. Aku harus pamit dulu ke—” Ia ragu sejenak, menelan ludah. “—Viola.”
Celine mengerutkan kening, jelas tidak puas. “Pamit segala? Serius, Ga? Baru juga keluar sebentar. Dia siapa sih, sampai kamu segitunya?”
Arga menatap Celine sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang. Semuanya terlalu rumit. Dan Celine... dia tidak akan mengerti. Atau mungkin tidak mau mengerti.
“Lima menit. Tunggu di sini,” ucap Arga akhirnya, lalu melangkah kembali masuk ke dalam rumah—setiap langkah terasa seperti memasuki medan perang yang tak terlihat.
**
**
Arga berdiri canggung di depan meja makan, menatap punggung Viola yang masih tenang menikmati makan malamnya. Suara sendok bertemu piring terdengar teratur, tapi bagi Arga, dentingan itu seperti penghakiman.
Mulutnya terbuka, hendak bicara, namun tak satu kata pun berhasil keluar. Ia menggaruk tengkuknya, gelisah, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Jelas ini konyol. Tapi entah kenapa, ia merasa harus meminta izin. Atau setidaknya... menjelaskan.
Viola akhirnya mendongak. Tatapannya tajam, sinis, dan jelas sudah kehilangan kesabaran.
"Apa lagi?" tanyanya dingin. "Mau bilang kamu mau kencan sama si Celine itu?"
Arga tersentak, seperti baru saja ditampar angin dingin. "Bukan! Bukan kencan," jawabnya cepat, panik. "Dia cuma... minta tolong. Katanya mau cari kado. Itu aja."
Viola mendengus pelan. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, meletakkan sendoknya dengan sengaja agar terdengar lebih keras dari yang seharusnya. Lalu ia menatap Arga, kali ini dengan tatapan yang jauh lebih datar—dan lebih menyakitkan.
"Aku nggak peduli namanya apa. Kencan, cari kado, muter-muter kota juga silakan. Bukan urusanku," katanya tajam, bibirnya mencibir tanpa ragu. "Kau bisa pergi dengan siapa saja, kapan saja. Aku bukan siapa-siapamu... kan?"
Ucapan itu menusuk. Lebih dari yang seharusnya. Arga menunduk, tak mampu membalas. Ia tahu mereka sama-sama sadar bahwa pernikahan ini tidak dibangun di atas cinta. Tapi tetap saja, ada rasa yang tertinggal, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Viola kembali mengambil sendoknya, melanjutkan makan dengan santai, seolah baru saja tak mengeluarkan kalimat yang membuat dada Arga sesak.
“Katanya mau pergi, ya sudah sana. nanti kekasih kamu ngambek lagi." ketus Viola. Dia sudah selesai makan, dan membawa piringnya ke wastafel untuk dia cuci.
"Kenapa kamu bicara begitu, kenapa kamu begitu peduli padaku Vi?!" kesal Arga. Dia merasa tidak di hargai dan tidak di pedulikan.
"Lalu, aku harus bagaimana? menangis dan memohon pada pada kamu untuk tidak pergi? jangan bermimpi!" kesal Viola.
Arga semakin kesal, lantas dia menarik pinggang viola dan menariknya mendekat.
"Arga ... Kamu...kamu mau apa?" Viola gugup. Posisi mereka hanya berjarak sejengkal saja.
Arga tersenyum sinis.
"Tentu saja aku mau membuktikan jika aku adalah suami kamu!"
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran