Terbelenggu dalam pernikahan yang tidak diinginkan, mampukah pernikahan itu bertahan?
Bagaimana bila yang selalu berjuang justru menyerah saat keduanya sudah disatukan dalam ikatan suci pernikahan?
“Cinta kita seperti garis lurus. Bukan segitiga atau bahkan persegi. Aku mencintai kamu, kamu mencintai dia dan dia mencintai orang lain. Lurus kan?” ucap Yuki dengan tatapan nanar, air mata yang mulai merembes tertahan di pelupuk mata. “Akan lucu dan baru menjadi bangun datar segi empat bila sosok yang mencintai aku nyatanya dicintai orang yang kamu cintai.”
“Di kisah ini tidak ada aku, hanya kamu dan kita. Bukankah kita berarti aku dan kamu? Tapi mengapa kisah kita berbeda?” Ucapan lewat suara bergetar Yuki mampu menohok lawan bicaranya, membungkam bibir yang tiba-tiba beku dengan lidah yang kelu.
Ini adalah cerita klise antara pejuang dan penolak hadirnya cinta.
*
*
*
SPIN OFF Aara Bukan Lara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desiran Menghangat
“Bagaimana Dok kondisi menantu saya?” Tanya Mama Agni khawatir sambil berulang kali meremas jemarinya sendiri.
“Hamil kan Dok??” Imbuh Mama Agni lagi, bertanya dengan suara menuntut jawaban dengan binar penuh harap.
“Maaf ya Bu sebelumnya, kalau dari gejala dan kondisi fital yang saya pantau, Mbak Yuki ini kelelahan, dehidrasi dan telat makan. Untuk kehamilan dan seputar kondisi serta kesehatan rahim, bisa langsung dirujuk ke poli spesialis kandungan setelah kondisi Mbak Yuki berangsur pulih.”
“Jadi belum ya..” Desah Mama Agni dengan bahu menurun kecewa. Tatapan yang mulanya berbinar kini berubah sendu.
“Maaf Dok, kira-kira kapan istri saya akan sadar dan diperbolehkan pulang?”
“Setelah satu kantong infus ini habis jika tidak ada keluhan lagi sudah boleh pulang. Untuk kesadaran bisa kita tunggu, memang tadi sempat dalam kondisi pingsan, tapi sekarang Mbak Yuki sedang tertidur. Jadi biarkan saja dahulu untuk istirahat, tidak perlu buru-buru dibangunkan ya Mas.” Papar sang Dokter sembari membenarkan letak kacamata yang menurun, mengulas senyum simpul pada keluarga pasiennya agar tidak terlalu larut dalam kekhawatiran.
“Tolong nanti ditebus ke apotik resep obat yang sudah saya berikan ya, Bu, Mas.” Imbuhnya lagi sembari memberikan secarik kertas yang diyakini berisi beberapa jenis obat-obatan yang harus Yuki konsumsi. Hanya para ahli medis yang akan benar-benar paham dari coretan yang tampak abstrak di mata orang awam.
“Kalau untuk makanan apa ada pantangannya, Dok?” Sela Mama Agni dengan pertanyaan paling umum yang harus ia tanyakan. Obat dan perawatan akan terasa sia-sia jika asupan makanan justru memberikan dampak buruk atau reaksi yang tidak cocok dengan obat yang dikonsumsi.
“Sementara ini asupan utamakan yang lembut seperti bubur atau jus buah saja agar mudah dicerna lambungnya. Untuk pola makan juga tolong dijaga dan usahakan agar Mbak Yuki perbanyak mengonsumsi air putih. Selebihnya kurangi makanan pedas dan terlalu asin.” Papar Pak Dokter panjang, menjawab pertanyaan yang biasa ia dapatkan dengan sabar.
“Baik, Dok, terima kasih.” Ucap Ibu dan anak itu serentak, mengangguk kecil dengan senyum ramah. Mereka cukup lega dan puas atas jawaban Dokter yang menangani Yuki.
“Kalau begitu saya permisi, semoga Mbak Yuki cepat sadar dan pulih. Mari..” Pamitnya yang diikuti oleh seorang suster yang sempat membantu memasangkan infus untuk Yuki.
Menarik sebuah kursi di samping brankar Yuki, Mama Agni memilih duduk mengistirahatkan kaki yang mulai kebas. Pertambahan usia membuatnya kurang enerjik dan mudah lelah.
“Ma, sejak kapan Yuki sakit?” Pertanyaan bodoh itu terucap bebas tanpa pikir panjang, hanya mengandalkan ingatan akan pernyataan Mama Agni sebelumnya.
“Kamu itu aneh. Tidur sekamar memang gak sadar istri sakit!? Jangan bisanya cuma ngajak tempur tapi kesehatan Yuki gak diperhatikan!!” Hardik Mama Agni ketus dengan mata melotot sambil berkacak pinggang dalam posisi duduknya.
Niat hati ingin bertanya dan berkeluh, dirinya justru disembur Mama nya sendiri. Tapi mau tidak mau juga harus diakui sudah menjadi suami tidak becus. Setidaknya jika tidak perduli pada Yuki, seharusnya dirinya masih menjadi manusia yang lebih berempati dan peka pada kondisi di sekitarnya.
“Kalau udah tempur gimana mau saling perhatian sih Ma? Mas mana sempat kalau udah terpancing.” Keluhnya asal tanpa sadar maksud pembicaraan yang saling bersimpangan.
Bugh..!
Memukul kuat bahu anaknya, Mama Agni sudah berdiri garang meninggalkan kenyamanan dari kursi minimalis yang ia duduki. “Astaga kamu Mas..!! Jangan bilang kamu setiap malam ngajak Yuki tempur!!??”
“Gak setiap malam juga Ma.” Ucapnya lirih yang hanya mampu di dengar oleh Mama Agni.
“Jangan kamu kira Mama gak tau kalau setiap malam kalian berisik!!” Ucap Mama Agni lantang, melupakan keberadaan mereka yang kini masih berada di bangsal rawat dengan banyak pasien lainnya.
“Apa!? Gak berani bantah kan!? Stop dulu selama Yuki belum pulih. Bisa-bisa gagal cetak proyek cucu limited edition buat Mama.” Lanjut Mama Agni berkata dengan ketus diakhiri menghempaskan kembali tubuhnya ke kursi.
Wajah yang sempat pucat pias mengira Mama Agni mengetahui kebenaran hubungan paksaan itu kini bersemu merah. Bukan karena ucapan Mama Agni, tapi lirikan aneh dari setiap orang di bangsal yang saling mengulum senyuman menahan tawa.
Protes yang sempat ingin dilayangkan sesama penghuni bangsal pada teriakan Mama Agni seketika terkubur. Mereka sudah berasumsi masing-masing pada tingkah dan dugaan yang beranekaragam.
‘Apes banget sih!! Mama bikin malu aja!’ Gerutunya dalam hati yang akhirnya paham arti sebenarnya dari ucapan Mama Agni.
Padahal selama ini dirinya tidak memperlakukan Yuki dengan baik. Saling melaksanakan kewajiban sewajarnya pasangan suami-istri saja tidak, mana mungkin akan hadir sebuah paket express segumpal daging bernyawa yang dititipkan di tengah rumah tangganya bersama Yuki.
‘Pura-pura pingsan terus aja deh.’ Gumam Yuki dalam hati yang sebenarnya sudah tersadar sebelum omelan galak Mama Agni menggema.
Yuki yang masih merasakan tubuhnya lemas mencoba kembali tidur. Merilekskan punggung yang terasa cukup pegal, namun saat kesadarannya hampir menghilang sebuah genggaman hangat membuat tubuhnya menegang.
Genggaman dari telapak tangan besar yang kokoh jelas bukan milik Mama Agni. Terjebak dalam posisi memilih diam atau berpura-pura baru tersadar, gemuruh debaran gugup sudah menguasai seluruh jiwa dan raga Yuki.
‘Maaf.’ Gumamnya lirih dalam hati dengan perasaan menyesal. Tentu saja Yuki tidak dapat mendengar permintaan maaf itu, kecuali keduanya handal bertelepati.
Bukan niatnya memberi Yuki kehidupan penuh derita. Memang dirinya pernah mengucapkan kalimat menyakitkan pada Yuki yang naasnya langsung dihari pernikahan. Namun semua itu untuk mematikan ketulusan cinta Yuki. Dirinya sadar bahwa tidak ada cinta untuk Yuki, semuanya masih terisi oleh Alia.
Sebagai suami Yuki, dirinya berjanji suatu saat akan melepas Yuki dari status seorang istri yang terkekang kebahagiaannya. Melepaskan Yuki untuk mencari arti bahagia sebenarnya dari orang yang juga tulus menyayangi dan mencintainya.
“Bangunlah.. Aku akan memperlakukan kamu dengan baik setelah ini.” Gumamnya lirih dengan berani, mengusap dahi Yuki yang berkeringat dingin. Kepergian Mama Agni ke toilet dimanfaatkan olehnya untuk mengutarakan isi hatinya.
“Maaf sudah membuat kamu terluka selama ini. Aku tau kamu perempuan yang kuat.”
Bolehkah Yuki menangis haru saat ini?
Bolehkah Yuki berharap semua itu bukan mimpi belaka?
Membuka perlahan mata yang mulai basah, Yuki menatap lekat sosok yang tertunduk di sisi kanannya. Ada desiran menghangat di sudut hatinya yang sempat akan Yuki tutup. Tersenyum bahagia, ibu jari Yuki mengusap tangan yang menggenggam jemarinya erat.
“Mas..” Ucap Yuki lirih dengan suara seraknya.
“Kamu udah sadar?” Tiba-tiba pertanyaan itu terdengar dingin dari raut wajah lega yang berubah datar. Genggaman tangan itu terlepas kasar menimbulkan rasa gamang dan kekosongan.
Sedetik kemudian sebuah rasa nyeri menghantam dada Yuki, memaksanya tersadar pada kenyataan yang ada. Mungkin memang benar semua hanya mimpi dan halusinasi dari alam bawah sadarnya yang menginginkan kasih sayang sang suami, begitu pikir Yuki dengan tatapan sayu yang tidak terbalaskan.
...****************...
*
*
*
Maafkan Hana yang memberikan banyak kejanggalan di sini, karena kita sedang tebak-tebakkan. 😁
Hana udah gak sabar buat UP bagian flashback dan menyelesaikan kepingan kisah Yuki yang masih kosong.😄
Pasti yang baca juga gak sabar kan?😎