Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Dinding Tak kasat Mata
Semangat Arjuna yang membuncah pagi itu perlahan tergerus oleh teriknya matahari Jakarta dan kerumitan rute menuju Universitas Nusantara Global. Setelah bertanya beberapa kali dan berganti moda transportasi umum yang menguras sebagian besar sisa uang sakunya, akhirnya ia tiba di depan gerbang kampus yang megah itu. Gerbangnya saja sudah seperti pintu masuk ke sebuah istana modern, dengan penjagaan keamanan yang ketat dan lanskap taman yang tertata apik. Arjuna menelan ludah, ransel butut di punggungnya terasa semakin berat dan mencolok.
Begitu melangkah masuk ke area kampus, dunia seolah berubah. Mobil-mobil mewah berjejer rapi di tempat parkir, beberapa bahkan dengan sopir pribadi yang menunggu di dekatnya. Mahasiswa-mahasiswi berlalu lalang dengan pakaian yang seolah baru keluar dari etalase butik ternama, beberapa berbicara dalam campuran bahasa Indonesia dan Inggris dengan aksen yang terdengar begitu berkelas. Mereka membawa tas laptop bermerek, berbincang tentang liburan ke luar negeri, atau proyek-proyek canggih. Arjuna, dengan kemeja lusuh yang warnanya sudah sedikit pudar dan celana panjang satu-satunya yang masih layak pakai, merasa seperti noktah kusam di atas kanvas yang berkilauan. Setiap langkahnya terasa berat, seolah lantai marmer yang dipijaknya ingin menolaknya.
Ia mengikuti petunjuk arah menuju Gedung Rektorat, tempat di mana ia berharap bisa mendapatkan informasi pendaftaran dan beasiswa. Semakin dalam ia melangkah, semakin kuat tatapan-tatapan aneh yang ia rasakan. Beberapa mahasiswa secara terang-terangan memperhatikannya, ada yang berbisik-bisik sambil terkikik pelan saat ia lewat, ada pula yang refleks menjaga jarak seolah ia membawa penyakit. Arjuna berusaha mengabaikannya, menundukkan pandangan lebih dalam, dan mempercepat langkah. Cincin di jarinya terasa sedikit menghangat, namun rasa gugup dan kecil hati mulai merayapinya dengan cepat.
Di lobi Gedung Rektorat yang luas dan ber-AC dingin, beberapa calon mahasiswa lain dan orang tua mereka juga terlihat. Mereka semua tampak berbeda darinya. Para orang tua mengenakan pakaian formal, para calon mahasiswa tampak percaya diri dengan map berisi dokumen di tangan, beberapa bahkan didampingi konsultan pendidikan pribadi.
Arjuna memberanikan diri mendekati meja resepsionis yang dijaga oleh seorang wanita muda berpenampilan sangat rapi dengan senyum profesional yang terasa dingin dan dipaksakan saat melihatnya.
"Permisi, Mbak... saya mau bertanya tentang informasi pendaftaran beasiswa," ujar Arjuna dengan suara pelan dan sopan, berusaha agar tidak terdengar gemetar.
Resepsionis itu menatapnya sekilas dari ujung rambut sampai ujung sandal jepitnya yang sudah usang, senyumnya sedikit memudar. "Oh, untuk beasiswa ya? Sudah cek website?" tanyanya dengan nada datar, hampir bosan, tangannya sibuk menata brosur seolah itu lebih penting.
"Sudah, Mbak. Tapi saya ingin bertanya lebih lanjut, mungkin ada formulir yang bisa diambil..."
"Semua informasi awal ada di website, Mas. Sangat lengkap. Pendaftaran juga online. Kalaupun ada formulir fisik, itu biasanya untuk tahap setelah seleksi awal dan tidak bisa diambil sembarangan," jawab resepsionis itu, kini perhatiannya lebih tertuju pada layar komputernya. Ia seolah memberi isyarat bahwa Arjuna tidak perlu berlama-lama di sana dan membuang waktunya.
Saat Arjuna masih mencoba merangkai kata untuk bertanya lagi, dua orang mahasiswi modis menghampiri meja resepsionis dari arah lain. Mereka langsung menyapa resepsionis dengan akrab, berbicara tentang kesulitan menemukan ruang seminar untuk acara klub mereka. Resepsionis itu langsung mengubah sikapnya menjadi jauh lebih ramah dan antusias, penuh senyum melayani kedua mahasiswi tersebut, meninggalkan Arjuna yang termangu, tak terlihat.
Merasa diabaikan dan semakin kecil, Arjuna mundur perlahan. Ia bisa mendengar potongan percakapan di belakangnya, kini lebih jelas dan tak lagi ditahan-tahan.
"Itu tadi siapa sih, Dit? Kok kayaknya salah masuk kampus gitu?" suara salah satu mahasiswi, cukup keras terdengar oleh Arjuna.
"Nggak tahu, paling anak dari kampung mana gitu nyasar. Mau daftar beasiswa kali, tapi ya ampun, lihat aja penampilannya. Standar UNG kan tinggi banget. Muka-muka kayak gitu mana bisa bersaing sama kita-kita," timpal temannya, diiringi tawa kecil yang sangat merendahkan. "Lagian, kalaupun masuk, emang sanggup gaulnya di sini? Bisa stres sendiri nanti."
Dada Arjuna terasa sesak, seperti dihantam batu besar. Kata-kata itu, tawa itu, begitu tajam menusuk harga dirinya. Wajahnya memanas, tangannya mengepal tanpa sadar. Ia ingin sekali berbalik dan mengatakan sesuatu, membela diri, tapi lidahnya kelu. Ia bukan hanya merasa miskin secara materi, tapi juga miskin dalam penampilan dan mungkin, di mata mereka, miskin dalam harapan dan kelayakan.
Ia berbalik dan berjalan cepat keluar dari lobi, tak lagi peduli pada tatapan orang. Hinaan itu begitu nyata dan menyakitkan. Langkahnya membawanya tanpa tujuan melewati koridor-koridor kampus yang megah. Ia melihat sekelompok mahasiswa tengah duduk-duduk di taman kecil yang rindang, tawa mereka riang. Saat ia melintas, salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan rambut di-styling sempurna dan mengenakan jam tangan mewah, menunjuk ke arahnya dengan dagu.
"Eh, liat deh, guys," ujar pemuda itu cukup keras kepada teman-temannya, senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Sejak kapan UNG nerima sumbangan pemulung buat jadi mahasiswa? Apa jangan-jangan dia mau nawarin jasa bersih-bersih di sini?"
Gelak tawa membahana dari kelompok itu. Beberapa bahkan menatap Arjuna dengan jijik.
"Kasihan banget sih, bajunya kayak belum ganti seminggu," timpal seorang gadis di kelompok itu. "Ini kampus elite, Bro, bukan tempat penampungan!"
Arjuna terpaku. "Pemulung masuk kampus." Kata-kata itu terngiang-ngiang, menghantamnya lebih keras dari pukulan fisik. Kakinya terasa lemas, pandangannya sedikit mengabur karena air mata yang berusaha ia tahan agar tidak tumpah. Ia ingin lari, ingin menghilang dari tempat ini. Ia merasa begitu kotor, begitu tidak pantas.
Di luar gedung, ia akhirnya menemukan bangku taman yang agak tersembunyi, jauh dari keramaian. Ia duduk dengan bahu terkulai, mencoba menenangkan gejolak di hatinya yang terasa seperti badai. Ia memandangi cincin di jarinya. Batu biru itu berkilau redup. Apakah ini pertanda ia harus menyerah? Apakah mimpinya untuk kuliah di tempat semegah ini hanyalah angan-angan kosong seorang anak desa yang naif dan tidak tahu diri? Hinaan tadi terasa begitu membekas, menggerogoti sisa-sisa kepercayaan dirinya.
Arjuna pun, memilih diam dan mulai mencari warnet, untuk memulai proses pendaftaran untuk dirinya ,
Arjuna seperti biasa memilih tempat paling ujung, tak lupa dia sempat menscan dokumen dokumen nya yang di butuhkan ,
sehingga setibanya di warnet Arjuna tinggal mengupload file file itu,
setelah selesai, Arjuna mendapatkan lembaran, bukti pendaftaran, dan tinggal menunggu hasil, dua hari kedepan, lewat akun emailnya,
setelah itu, Arjuna memutuskan untuk kembali ke kosan, karena jarak lumayan jauh,
namun entah mengapa di tengah jalan hatinya, merasa ada yang mengikutinya.