Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
saya senang bisa menghibur pembaca lewat cerita ini.
Setelah kegagalan pelarian itu, Bu Rina dan Guntur membawa Nadia kembali ke kamar asalnya. Namun, kekalahan Nadia tidak berakhir di sana. Tidak lama kemudian, Bramantyo masuk. Wajahnya tenang, tetapi keputusannya mutlak.
"Kemasi barang-barangmu, Nadia," perintah Bramantyo, melemparkan tas koper kulit kecil ke lantai.
"Untuk apa? Aku akan dibawa ke penjara yang lebih buruk?" tanya Nadia pahit, tubuhnya masih sakit akibat tersandung di hutan.
"Tidak. Kau sudah resmi menjadi istriku. Dan sebagai istri, kau tidak akan tinggal di kamar tamu," jawab Bramantyo, nadanya mengandung otoritas absolut. "Kau akan pindah ke ruang utama. Kamar tidurku."
Nadia menatapnya dengan horor. "Aku menolak. Aku tidak mau tidur di ranjang yang sama denganmu!"
"Pilihanmu sudah habis. Kau mencoba melarikan diri, Nadia. Itu adalah pelanggaran kesepakatan. Dan aku tidak percaya lagi pada kepatuhanmu yang pura-pura," Bramantyo berjalan mendekat, suaranya tajam. "Jika kau ada di kamarku, aku tahu setiap gerakanmu. Bu Rina akan mengunci pintunya dari luar, tapi kau akan berada di bawah pengawasanku 24 jam sehari. Itu adalah hukumanmu, dan itu adalah caraku mengamankan anakku."
Bramantyo memastikan Bu Rina membantu Nadia berkemas, dan dalam waktu singkat, Nadia dipindahkan ke kamar tidur utama di lantai atas.
Kamar utama itu jauh lebih besar dan memiliki pemandangan hutan yang lebih luas—tetapi jendelanya adalah cermin satu arah, memungkinkan Bramantyo melihat keluar tetapi menghalangi pandangan dari luar. Kamar itu memiliki pintu baja tebal dan sistem keamanan biometrik.
Malam pertama, Nadia duduk kaku di ujung ranjang king size yang besar, sementara Bramantyo bekerja di meja kerjanya yang luas di sudut ruangan.
"Jangan khawatir," kata Bramantyo tanpa menoleh, seolah membaca pikiran Nadia. "Tujuan utamaku adalah anak ini. Aku tidak akan menyentuhmu lagi, kecuali kau yang memintanya. Tapi kau harus tidur. Jaga kesehatanmu."
Nadia tidak bisa tidur. Udara kamar itu menyesakkan, dipenuhi aroma maskulin mahal dan kekuasaan Bramantyo. Ia menyadari betapa mengerikan situasi ini: ia harus tidur di samping musuhnya, di ranjang yang dirancang untuk keintiman, tetapi kini menjadi medan perang psikologis.
Keesokan paginya, Bramantyo sudah tidak ada. Ia pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan perceraian dan bisnisnya, meninggalkan Nadia di bawah pengawasan ketat Bu Rina dan sistem keamanan baru.
Selama beberapa hari, Nadia mengisolasi diri. Ia menolak bicara, hanya menjawab Bu Rina seperlunya tentang kesehatan dan makanan. Namun, di balik kebisuan itu, Nadia sedang menyusun rencana yang jauh lebih dingin daripada sekadar melarikan diri.
Melarikan diri adalah tindakan fisik yang dapat dicegah oleh pagar dan penjaga. Menghancurkan adalah tindakan mental yang hanya bisa dilakukan dari jarak dekat.
Jika aku tidak bisa keluar dari sini, aku akan membuat dia menyesal telah membawaku masuk.
Nadia mulai menyadari asetnya yang paling besar: Janin itu, yang menjadi pusat obsesi Bramantyo.
Ia harus membuat Bramantyo membutuhkan bukan hanya janin itu, tetapi juga dirinya—sebagai ibu, sebagai pasangan, sebagai seseorang yang tidak bisa ia ganti.
Nadia mulai mempelajari kamar itu. Ia melihat foto-foto lama Bramantyo dengan Larasati, mantan istrinya, dan kedua anaknya. Larasati adalah wanita yang sempurna, elegan, dan dingin.
Nadia memutuskan untuk menjadi kebalikannya. Dia akan menjadi racun yang manis.
Saat Bramantyo kembali, Nadia menyambutnya di kamar. Ia tidak marah, tidak cemberut. Ia tersenyum—senyum yang sangat dingin.
"Selamat datang kembali, Bramantyo," sapa Nadia, suaranya lembut. Ia duduk di tepi ranjang, terlihat pasrah namun kuat.
Bramantyo terkejut. Ia mengharapkan perlawanan, bukan sambutan.
"Aku sudah berpikir," lanjut Nadia, tatapannya lurus dan menantang. "Kau benar. Aku tidak bisa melarikan diri. Jadi, aku akan menjalani peranku. Aku adalah Nyonya Dirgantara, dan aku membawa anakmu."
"Dan apa maumu sekarang?" tanya Bramantyo curiga.
"Aku ingin tahu. Tentang bisnismu. Tentang apa yang dipertaruhkan dari anak ini. Kau menikahiku demi stabilitas, bukan? Kalau begitu, perlakukan aku seperti rekanmu," pinta Nadia. "Aku ingin tahu segalanya tentang dunia Dirgantara. Aku ingin tahu apa yang membuat mantan istrimu membencimu. Aku ingin tahu di mana letak kelemahanmu."
Bramantyo menatapnya lama. Ia melihat perubahan drastis dari wanita yang panik di hutan menjadi wanita yang tenang dan kalkulatif.
"Kau ingin menjadi mata-mataku, Nadia?"
"Tidak. Aku ingin menjadi alasan mengapa kau tetap kuat. Atau alasan mengapa kau hancur," jawab Nadia, senyumnya semakin lebar.
Di malam itu, di dalam kamar tidur utama, di bawah pengawasan ketat, Nadia membuka babak baru dalam permainan mereka. Ia tidak lagi mencari kunci untuk melarikan diri. Ia mencari informasi untuk menghancurkan benteng Bramantyo dari dalam.