Bukan menantu pilihan, bukan pula istri kesayangan. Tapi apa adil untuk ku yang dinikahi bukan untuk di cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Bugh.
Bugh.
“Aduuuhhh!”
Dengan mata terpejam, kedua tangan Hasan secara refleks menutupi wajahnya, setelah beberapa kali di hadiahi timpukan benda empuk.
“Bangun Hasan, di depan ada orang. Mereka semua mencari kamu. Cepat bangun Hasan!” titah Juleha dengan suara ketakutan, sementara tangannya terus aja memukul wajah Hasan dengan bantal guling.
Buyar sudah apa yang ada dalam mimpi Hasan.
Sreeek.
Tangan Hasan mencekal benda empuk, yang sejak tadi mendarat di wajahnya.
Bugh.
Lalu membuangnya sembarang arah.
Dengan malas Hasan membuka kedua matanya, ada rasa kesal pada sang ibu karena mengusik mimpinya.
“Cepat Hasan, bangun… temui mereka.” Juleha mengguncang lengan Hasan dengan kasar.
Dengan perasaan kesal, hidung kembang kempis, Hasan mendorong sang ibu sampai terjungkal di lantai.
“Astagaaa bu! Apa sih!”
Bugh.
“Akkhhh punggung ku aduh, punggung mama sakit, Hasan!” Juleha mengerang kesakitan.
Hasan beranjak dari duduknya, satu tangannya menyapu wajahnya dengan kasar, gak memperdulikan suara pesakitan wanita yang telah melahirkannya.
“Bodo amat! Siapa suruh mama bangunin Hasan kaya bangunin anak ayam… menjengkelkan.” gerutu Hasan.
“Astagaaa Hasan, kalo bukan ada yang mencari mu… mama juga gak sudi bangunin kamu. Cepat temui mereka, mereka ingin bertemu dengan kamu, ini mengenai Wati… emang Wati di mana, San? Kamu tinggalkan dimana Wati?”
Hasan menggaruk kepalanya frustasi, “Kampret banget, gak tau orang masih ngantuk apa! Lagi juga, siapa sih tamunya! Wati mulu yang dibahas, yang anak mama itu aku apa Wati sih?” gerutu Hasan dengan kesal.
Dengan susah payah akhirnya Juleha bisa kembali beranjak, ia bahkan harus membungkukkan tubuhnya dengan tangan kiri menekan pinggulnya.
Tak.
Julehan menjitak puncak kepala Hasan cukup kencang dengan tangan kanannya.
“Anak mama udah pasti kamu lah, tapi kalo gak ada Wati … siapa yang akan menghidupi keluarga ini, Hasan? Sementara kamu aja masih nganggur! Apa yang bisa mama harapkan dari bocah pengangguran seperti kamu heh!” Juleha mencak mencak dengan wajah masam.
“Astagaaa, mah! Tangan mu itu terbuat dari batu atau apa sih! Keras sekali!” Hasan mengusap usap puncak kepalanya yang di jitak Juleha.
“Itu hukuman untuk anak seperti mu, Hasan… cepat bangun lalu temui mereka!”
Juleha hendak berlalu ke luar, sebelum akhirnya ia menghentikan langkah kakinya di depan pintu dan menoleh ke arah sang anak.
‘Apa benar yang dikatakan Hasan tadi, Wati pulang bawa uang segepok? Memangnya apa yang dikerjakan Wati, dalam semalam bisa menghasilkan uang segepok?’ pikir Juleha.
Hasan mengerdikkan dagunya, “Apa lagi yang mama tunggu? Cepat ke luar, mah! Nanti aku akan menyusul mu!”
“Eh emm i- iya… i- ini, ini juga mau pergi kok! Sanah cepat, jangan membuat mereka menunggu mu lama. Wajah mereka sangat menyeramkan, gak enak untuk di pandang.”
Juleha menghilang dari pandangan Hasan di balik pintu kamar yang baru aja ditutup Juleha.
Hasan menggelengkan kepalanya, “Gak nyadar dia, wajah mama jauh lebih menyeramkan, bak virus yang mengancam nyawa.”
Juleha kembali menemui para tamu gak di undangnya yang ada di ruang tamu.
“Di mana putra anda, Nyonya?” tanya Leo, salah satu pria yang tampak menonjol dari para pria lainnya.
“A- anu pak, tunggu sebentar… tadi udah bangun kok. Paling cuma lagi cuci muka, biar kelihatan segar dan fresh gitu. Biar saya buatkan minum dulu untuk bapak bapak sekalian.” beo Juleha seramah mungkin, lalu undur diri ke dapur untuk membuatkan minum.
‘Wanita bermuka dua.’ Gerutu Ardi, pria yang tadi bertanya pada Juleha.
“Emang gua udah terlihat tua, di panggil pak sama ibu ibu peyot?” tanya Leo pada rekannya.
“Kaga, bos terlihat muda. Ibu itu aja yang matanya buram. Kaga bisa lihat muka bos yang muda!” kilah Ari.
Setelah 10 menit berlalu, akhirnya Hasan keluar dari kamarnya.
Hasan menajamkan pandangan nya, setelah melihat siapa tamu yang dikatakan ibunya.
“Kalian?” Hasan mengedarkan pandangannya, hanya 1 pria yang ia kenali dari ke 4 tamunya.
Ke 4 pria berbadan tinggi besar yang duduk di sofa hanya diam saja, dengan tampang gak bersahabat namun memasang wajah datar.
‘Kenapa mereka malah datang ke sini? Dan Wati, kenapa Wati gak datang bersama dengan mereka?’ pikir Hasan..
Hasan mengerdikkan dagunya, “Di mana istri ku?”
“Itu tujuan kami datang ke sini, silahkan tanda tangani ini!” Leo mengeluarkan map coklat, dan menyerahkannya pada Hasan.
Hasan mendaratkan bobot tubuhnya pada sofa kosong yang ada di sisi kanan.
“Apa ini?” Hasan menerima map coklat, lalu membukanya dengan penuh curiga.
Leo tersenyum sinis, “Kau baca saja dulu, dan pelajari isinya. Jangan lupa poin apa saja keuntungan yang akan kau terima.”
Leo dan teman temannya saling pandang, lalu mengangguk.
“Kalo begiti kami permisi!” Leo dan yang lain langsung bangkit dari duduknya.
“Hem.” Hasan hanya berdehem, ke dua matanya fokus pada isi dari berkas yang ia terima.
“Loh… tamunya pada kemana San?” tanya Juleha, dengan tangan membawa nampan berisi minuman untuk sang tamu.
“Udah pulang, mah.” beo Hasan tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Pulang? Lalu itu apa yang kamu baca? Apa tadi mereka mencari Wati, San? Apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan Wati yang baru, San?” cecar Juleha, sembari meletakkan nampan di atas meja, lalu berdiri di samping Hasan.
Juleha yang gak bisa membaca, melirik sekilas kertas apa yang tengah dibaca Hasan, “Gak pusing kamu, San? Tulisannya kecil kecil banget, bikin kepala ibu pusing aja.”
Hasan menoleh dengan kening mengkerut, “Emang ibu ngerti tulisannya?”
Juleha menggeleng, “Wati kapan pulang, San?”
“Mungkin lusa.”
Tin tin tin tin.
Dari luar rumah, suara mobil berbunyi mengklakson berkali kali.
“Ihs orang nora, baru punya mobil tuh. Bunyiin klakson mulu, gak tau bikin polusi suara aja sih!” gerutu Juleha.
Hasan menggaruk kepalanya frustasi, “Aahhhh, ganggu konsentrasi aja sih itu orang. Aku keluar dulu, mah!”
Hasan beranjak dari duduknya, meninggal kan map coklat itu di atas meja.
Tin tin tin tiiiiiin.
Hasan mengerutkan keningnya, melihat Ida yang berada di balik kemudi, dari mobil merah yang terparkir di depan jalan rumah orang tuanya.
“Ida? Mau apa dia ke sini lagi?”
“Hai, sayang! Kenapa lama sekali sih! Aku bete menunggu mu!” Ida melambaikan tangannya lewat jendela mobil yang ia buka, tampak senyum lebar terukir di bibirnya.
“Ada apa?” tanya Hasan datar, setelah berdiri di samping jendela bagian kemudi, tempat Ida duduk.
Ida mengerucutkan bibirnya, dengan nada merajuk, “Kok gitu sih tanyanya!”
Hasan menghembuskan nafasnya kasar, “Ya kamu pikir aja, baru beberapa menit yang lalu kamu antar aku pulang. Dan sekarang suara klakson mobil mu mengganggu ketenangan ku!”
“Sorry, sayang!” cicit Ida dengan tatapan mengembun.
“Katakan, apa yang membawa mu kesini?” tanya Hasan dengan lebih santai.
“Aku lagi gembira sayang… kamu tau, aku dapat proyek besar… Tuan Alex Sadiki, meminta ku untuk mencarikannya lahan yang bagus untuk ia membuka usaha. Ayo temani aku untuk survei beberapa tempat!” dengan mengadahkan wajahnya, untuk dapat melihat wajah Hasan.
‘Nama itu seperti gak asing, aku mendengar namanya di mana ya?’ Hasan menggaruk pelipisnya, mencoba mengingat kembali.
“Hei, kenapa melamun? Ayo masuk!” pinta Ida, melihat Hasan hanya diam.
“Oh i- iya ini aku masuk.” Hasan jalan memutar, lalu membuka pintu penumpang yang ada di depan samping kemudi.
“Emang kamu mau mencari tempat itu di mana?” Hasan mendaratkan bobot tubuhnya, mobil langsung melaju dengan kecepatan sedang.
“Di puncak, Tuan Alex Sadiki ingin mendirikan Villa megah dan mewah untuk calon istrinya. Keren ya, baru calon… apa lagi istri. Pasti di manja banget, beruntung banget wanita yang jadi istrinya.” ujar Ida terus membanggakan Alex Sadiki, tanpa melihat ekspresi Hasan yang sudah masam.
“Bagaimana si jalang, sayang? Apa dia kewalahan menghadapi bos besar? Pasti jalang kecil itu terus berteriak saat pusaka bos besar yang kecil peyot itu menjajaki tubuhnya, ahahaha gak kebayang deh aku… betapa menderitanya si jalang di bawah kungkungan bos besar, pasti nangis nangis nyebut nama kamu.” Ida terus mengolok Wati, dengan senang tanpa perasaan.
“Aku tidak tau, anak buah bos besar belum mengembalikan Wati pada ku.”
Ciiiiiit.
Bersambung...