NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8

Diandra terbangun dari tidurnya. Ia terduduk perlahan di ranjang, kelopak matanya tampak sembab, dengan lingkar hitam yang memperjelas jika ia kesulitan tidur semalam.

Kepalanya masih berat. Pikirannya masih sesak. Ada terlalu banyak yang berputar dalam benaknya Marissa, sahabatnya, dan Lingga… pria penuh tanda tanya yang mendadak menunjukkan ketertarikan padanya. Terlalu tiba-tiba. Terlalu tidak masuk akal. Diandra yakin, semua itu bukan tentang perasaan, tapi siasat. Permainan yang belum ia pahami aturannya.

Ia mengusap wajah pelan, lalu menoleh ke arah jendela kamarnya yang setengah terbuka.

Pagi itu cerah. Matahari menembus tirai tipis berwarna krem, memantulkan cahaya hangat ke dinding putih kamarnya, langit tampak biru bersih tanpa awan,.

Tapi tidak bagi Diandra.

Pagi yang tenang itu terasa kontras dengan isi kepalanya yang ribut. Ia duduk sejenak, menatap langit di luar jendela berharap ketenangan itu bisa menular walau hanya sedikit.

Untungnya, ia tidak memiliki jadwal pagi ini. Ia baru akan masuk malam nanti. Dan hari ini, ia butuh ruang. Butuh jeda dari semuanya.

Tanpa pikir panjang, ia turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Air dingin membasuh wajahnya, menyapu sisa-sisa kantuk dan kecemasan yang menempel.

Setelah selesai, ia mengenakan kaus putih sederhana dan celana jeans abu-abu. Tak ada riasan. Tak ada persiapan berlebihan. Hanya dirinya sendiri, yang ingin bernapas tanpa beban meski untuk beberapa jam saja.

Ia belum tahu akan ke mana. Tapi hari ini, ia ingin berjalan. Menyusuri kota, menyapa langit, atau sekadar berjalan tanpa arah. Apa pun asal jauh dari kekacauan yang membuat kepalanya nyaris meledak.

Karena pagi ini terlalu damai untuk disia-siakan oleh hal-hal yang menyakitkan.

Diandra mengangkat rambutnya sembarangan menjadi cepol lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja rias. Ia jarang sekali menggunakan mobil, karena jarak apartemennya dan rumah sakit terlalu dekat dan cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi pagi ini berbeda. Ia butuh keluar dari rutinitas, menjauh dari segalanya, bahkan jika hanya untuk beberapa jam.

Ia melangkah turun ke basement apartemen, mendekati mobil berwarna kuning terang, hadiah dari ayahnya yang kini lebih sering terparkir daripada digunakan. Hari ini, mobil itu akan menemaninya berkeliling kota, menghirup udara bebas dan menjauh dari segala hal yang membuatnya lelah.

Namun, harapan untuk menikmati pagi dengan tenang pupus begitu ia melihat betapa padat dan sumpeknya jalanan. Klakson bersahutan, kendaraan mengular, dan kemacetan seolah jadi pemandangan tetap ibu kota. Dengan cepat, Diandra memutuskan untuk memutar arah dan memarkir mobilnya di taman kota, tempat yang lumayan sepi untuk sekadar berjalan dan menenangkan diri.

Baru saja ia melangkah keluar dari mobil, suara yang sangat ia kenal menyusup ke telinganya.

“Kita bertemu lagi, Diandra.”

Ia menoleh malas, mendapati sosok yang paling tidak ingin ia lihat pagi itu.

Dia lagi. batinnya mendesah kesal.

Alih-alih merespons, Diandra memilih membuang wajah dan berjalan menyusuri taman, mengabaikan keberadaan Lingga sepenuhnya. Udara pagi masih terasa segar, dedaunan bergoyang pelan diterpa angin. Ia tak ingin pertemuan sialan ini merusak segalanya.

Namun baru beberapa langkah, tangan Lingga menahan pergelangan tangannya.

“Mau ke mana?” tanyanya datar.

“Bukan urusan lo,” balas Diandra sarkastis, menghentakkan tangannya agar terlepas dari cengkeraman Lingga.

Bukannya marah, Lingga malah tersenyum santai. “Jelas urusan saya.”

Diandra membalikkan tubuh, menatap Lingga penuh tekanan. “Jangan ganggu pagi gue!”

“Saya tidak berniat mengganggu,” sahut Lingga, masih dengan nada tenangnya.

Diandra mendengus, kesal. Harusnya pagi ini jadi waktu untuk merefresh pikiran. Tapi kehadiran pria itu justru membuatnya makin sumpek.

“Lingga… gue minta tolong. Jangan ganggu gue pagi ini. Gue cuma pengen sendiri.” katanya mencoba bersikap tenang meski suara hatinya sudah mulai meninggi.

Belum sempat Lingga menjawab, suara asing menyela dari arah samping.

“Daripada berantem, mending ikut abang aja!” seru seorang pemuda yang datang bersama dua temannya, tampang mereka lusuh, gaya mereka kasar. Preman jalanan, jelas sekali.

Refleks, Lingga menarik Diandra ke belakangnya.

“Pergi kalian. Kalau nggak mau babak belur,” ucap Lingga dingin, tatapannya menusuk.

“Serahin cewek cantik itu!” salah satu dari mereka menantang, suaranya kasar.

Lingga menyeringai tajam. “Sampai mati pun, saya nggak akan serahin dia.”

“Lo nggak tahu gue siapa, ha?!” hardik si preman.

“Udah, jangan diladenin,” bisik Diandra, mencoba menenangkan. Mungkin mereka cuma iseng, pikirnya.

Tapi saat satu dari mereka mengayunkan tinjunya, Lingga dengan sigap menghindar dan membalas. Ia menyuruh Diandra mundur, menjauh dari kericuhan.

Perkelahian pun tak terelakkan. Lingga melawan tiga pemuda itu seorang diri. Tubuhnya bergerak lincah, penuh kontrol. Diandra hanya bisa menyaksikan dengan cemas, nanun ia tak punya kemampuan untuk ikut campur, hanya bisa menggenggam kedua tangannya erat-erat.

Tak butuh waktu lama, ketiga pemuda itu terkapar di tanah, mengerang kesakitan.

“Pergi kalian!” gertak Lingga, suaranya tajam. “Kalau kalian berani ganggu dia lagi, kalian berurusan sama gue.”

Ketiga pemuda itu bangkit dengan sempoyongan, lalu kabur tanpa menoleh ke belakang.

Lingga membalikkan tubuh, mengusap sudut bibirnya yang pecah sedikit akibat pukulan. Matanya masih menatap tajam, sisi dingin dan protektif yang tak biasa Diandra lihat darinya.

Namun Diandra justru berbalik, berniat pergi tanpa sepatah kata pun.

“Gak bilang terima kasih?” tanya Lingga, menahan langkahnya.

Diandra menghela napas berat. “Terima kasih,” ucapnya singkat, tanpa menatap.

Lingga duduk di bangku taman, mengusap luka kecil di bibirnya.

“Kalau tadi saya nggak ada, saya gak tahu mereka bakal ngapain kamu,” ujarnya pelan.

Diandra tetap berdiri di tempat, menatapnya setengah ragu.

“Saya pernah berbuat salah sama kamu, sampai menatap saya aja kamu nggak mau?”

Diandra diam beberapa detik. Sebenarnya tak ada alasan kuat untuk membenci Lingga. Tapi sikapnya yang arrogan, angkuh dan penuh rahasia. Tapi baginya, itu sudah cukup untuk membuat hati kesal.

“Emang lo layak buat dibenci,” jawabnya datar.

Lingga menoleh, menatap Diandra penuh. “Kemarin saya menemui ayah kamu,” ucap Lingga, pelan namun cukup tajam untuk membuat Diandra langsung menoleh.

Pandangan Diandra membelalak. “Apa?” desisnya tak percaya.

Lingga tetap tenang, nyaris datar. “Saya sudah bilang ke beliau… bahwa saya tertarik dengan putrinya. Dan sepertinya, ayahmu tidak bisa menolak saya.”

Kata-kata itu menusuk. Nada suara Lingga terlalu percaya diri, seolah semua orang hanya pion dalam rencana besarnya. Diandra mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.

“Lo ngancam bokap gue?!” serunya, suaranya meninggi penuh amarah.

Lingga menggeleng pelan, senyum samar menghiasi bibirnya.

“Bukan mengancam… hanya menawarkan pilihan,” katanya tenang, tapi di mata Diandra, itu lebih terdengar seperti ejekan.

“Kamu sebenarnya mau apa sih, hah?!” teriak Diandra, dadanya naik turun menahan gejolak yang mulai meluap.

Lingga menatapnya lurus. Kali ini tanpa senyum, tanpa sindiran. Hanya keseriusan yang mengendap di balik sorot matanya.

“Saya ingin kita menikah,” ucapnya pelan, namun tegas.

Dunia Diandra seolah berhenti sejenak. Ia melangkah mundur, menatap Lingga seakan pria itu telah kehilangan akal sehat.

“Udah gue bilang, gue nggak tertarik sama lo,” ujar Diandra, suaranya rendah namun penuh penekanan.

Lingga mendekat sedikit, namun tidak menyentuhnya. Hanya suara dinginnya yang kembali mengiris keteguhan Diandra.

“Masalahnya, kamu tidak punya pilihan lain selain menikah dengan saya. Jadi… bersiaplah.”

Kalimat itu menggantung di udara, meninggalkan dentuman yang berat di dada Diandra.

Tanpa menunggu jawaban, Lingga berbalik dan melangkah pergi. Langkahnya tenang, tapi penuh tekanan seolah ia tahu, segala arah sudah ia kuasai.

Diandra berdiri kaku, matanya menatap punggung pria itu dengan pandangan yang tak lagi hanya marah melainkan muak.

"SIALAN!"

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!