Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemunculan JunkCore
Langit di atas Eropa Timur diguyur hujan tipis. Bangunan abu-abu setinggi enam lantai berdiri di tengah hamparan hutan pinus yang beku, dijaga ketat oleh pagar listrik dan drone terbang. Tak ada plakat, tak ada tanda nama. Hanya koordinat rahasia dan penjaga bersenjata berat yang membisikkan keberadaannya.
Di lantai paling atas, ruang oval penuh monitor menyala redup dalam cahaya biru. Pusat operasi Altheron.
Director Cain berdiri di tengah ruangan, mengenakan jas gelap tanpa cela, rambutnya disisir ke belakang. Ia menatap rekaman udara dari Jakarta, di mana Ajie dan seorang wanita tidak dikenal berhasil melarikan diri setelah menghancurkan dua unit Sentry dan puluhan personel darat.
Cain mengerutkan alis.
“Sangat tidak efisien,” gumamnya. “Eksperimen itu... berevolusi terlalu cepat.”
Dari sudut ruangan, seorang staf operasi melapor, “Subjek WN-13 tidak menunjukkan degradasi. Justru, pertumbuhan energi meningkat 11,6% dalam dua hari.”
Cain menghela napas panjang.
> “Dia akan menjadi simbol kekacauan. Kita butuh sesuatu yang tidak simbolis. Kita butuh kekuatan nyata.”
Ia melirik ke asistennya.
“Hubungkan saya dengan Ruang Baja.”
“As you wish, sir.”
Lima detik kemudian, seluruh ruangan berganti cahaya. Dinding digital menampilkan ruangan kosong yang diterangi lampu sorot kuning pudar. Di tengahnya—sebuah kursi besi berat, seperti takhta mekanis, dikelilingi peralatan berat dan kabel-kabel seperti urat nadi.
Cahaya menyala pelan.
Seorang wanita duduk dengan santai di kursi itu, mengenakan jaket hitam kulit yang penuh noda oli. Rambut pendeknya acak-acakan, satu mata tertutup pelindung logam tipis, dan tangan kanannya—jelas bukan tangan manusia lagi. Bukan armor, bukan prostetik biasa. Tapi seolah seluruh tulangnya diganti dengan besi hidup.
“Lama nggak dipanggil,” ucap wanita itu, nada suaranya malas namun menantang. “Gue pikir kalian udah lupa sama gue.”
Cain mengangguk singkat.
> “Ratna Wijayanti. Atau... Anda lebih suka disebut Junkcore sekarang?”
Wanita itu tersenyum menyeringai. “Tergantung, lo manggil gue buat perang atau pesta?”
Cain tak menanggapi godaan itu. Ia menggeser tampilan hologram—menampilkan wajah Ajie dan semburan warna-warni dari tubuhnya.
> “Target bernama Rahmad Ajie. Korban insiden WN-13. Dia sekarang jadi penyimpangan biologis berbahaya. Kami tak bisa kirim tim reguler lagi. Terlalu mahal. Terlalu lambat.”
Junkcore menyipitkan mata satu-satunya yang bebas.
“Jadi kalian butuh seseorang yang bisa kerja kotor. Cepat. Brutal. Dan nggak banyak nanya.”
Cain menjawab tenang, “Kami butuh seseorang yang mengerti logika chaos. Dan mengendalikan chaos. Sama seperti Anda.”
Junkcore tertawa. “Lo manis juga kalo lagi merayu.”
Ia bangkit dari kursinya. Kamera mengikuti gerakannya—dari jaket lusuh hingga sabuk penuh baut dan modul logam. Di meja besi belakangnya, terlihat deretan benda menyerupai alat bengkel—kunci inggris raksasa, gergaji rantai mini, dan tabung-tabung las portabel.
“Gue udah lihat file-nya. Bocah itu bukan sekadar kesalahan eksperimen. Dia simbol harapan. Kalau lo gak cepet tangkap, dia bisa jadi poster boy revolusi.”
Cain menatap langsung ke kamera.
> “Kami tidak ingin dia dibunuh. Kami ingin dia... dibawa kembali. Utuh. Untuk dibongkar. Dipelajari. Atau dipecah jadi bagian-bagian, jika perlu.”
Junkcore menoleh perlahan, mengambil satu sarung tangan baja dan mengenakannya. Dentingan besi terdengar saat jari-jarinya mengunci otomatis.
“Lo minta dia dikirim dalam satu potong, tapi lo ngomong kayak pengen dia jadi Lego.”
Cain tidak menjawab.
Junkcore mengangkat satu alat bundar seperti tambang kecil. “Gue bisa bikin dia lumpuh tanpa matiin dia. Atau bikin dia nyesel punya warna di badan.”
Cain memperingatkan, “Dan ingat, kami tidak mengizinkan eksposur publik. Misi ini harus bersih. Tak boleh ada saksi, tak boleh ada jejak digital.”
Junkcore mengangkat alis. “Lo ngelucu? Gue satu-satunya orang yang bisa ngebom markas polisi tanpa kedengeran di Twitter.”
Ia berjalan ke rak senjata. “Gue butuh Jet Black. Versi stealth. Dan satu kargo alat dari bengkel bawah tanah Berlin. Plus, jalur merah buat masuk ke Asia Tenggara tanpa sensor satelit.”
Cain berkata singkat, “Sudah disiapkan. Kita tahu pola Anda.”
Junkcore mendengus puas.
“Gue berangkat malam ini.”
Sebelum sinyal diputus, Cain berkata, “Dan Junkcore...”
Wanita itu menoleh.
> “Jika dia berhasil mempengaruhi publik, atau ada tanda-tanda kekuatan itu menyebar... kita akan kirim Protokol Omega. Bahkan Anda tidak akan bisa menghadapinya.”
Junkcore menertawakan ancaman itu. “Kalau lo sampe pake Omega, berarti lo udah kalah. Dan lo tahu... gue benci kerja buat yang kalah.”
Tampilan hologram padam. Koneksi ditutup.
Director Cain berbalik dan menatap layar utama yang kini menampilkan radar global.
Ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Bocah itu mungkin korban... tapi dia juga pion yang tak bisa kita biarkan melangkah terlalu jauh.”
Sementara itu, di ruang gelap lain di markas Altheron, seorang teknisi mengetik diam-diam, membuka file rahasia bertuliskan:
> WN-13: Stabilitas Psiko-Warna – Laporan Awal
"Subjek yang terpapar WN-13 menunjukkan hubungan langsung antara emosi dan reaksi warna cat dalam tubuh. Potensi senjata taktis emosional terbesar di abad ini. Tapi..."
"...Jika virus warna ini bisa menular..."
Sang teknisi menatap layar dengan mata gemetar.
“Kalau sampai bocor ke dunia luar... ini bukan lagi soal Ajie. Ini soal spesies.”