Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Arif berdiri diam-diam di depan pintu kamar Maira. Dari celah pintu yang terbuka sedikit, ia melihat sang istri Amira duduk di sisi ranjang, mengusap rambut Maira dengan lembut sambil sambil membacakan cerita dan membenarkan selimutnya.
“Tidur yang nyenyak, ya, Sayang…” bisik Amira, lalu mengecup kening kecil itu sebelum perlahan bangkit dan berjalan keluar dari kamar.
Saat ia membuka pintu, langkahnya terhenti. Di depan pintu, mas Arif berdiri, memandangnya. Matanya tampak berbeda malam ini—tidak sejernih biasanya, tapi juga tidak sedingin dulu.
“Mas?” tanyanya pelan.
Arif menatapnya beberapa saat, lalu berkata, “Aku lihat cara kamu memperlakukan Maira.”
Amira menunduk sedikit, gugup. “Aku hanya… ingin dia bahagia.”
Mas Arif mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku lihat semuanya. Kamu orang yang sangat sabar… kamu nggak pernah memaksa. Bahkan ketika dia masih menolakmu kamu tetap ada untuknya.” Kamu masih berusaha untuk dekat dengan putriku, terima kasih untuk semuanya Amira.
Amira tak menjawab, hanya menatapnya pelan.
Dan untuk pertama kalinya, mas Arif maju satu langkah. Jarak mereka tinggal yang kini hanya sejengkal saja.
“Aku minta ma'af Amira kalau kemarin aku sempat bilang bahwa aku tidak mencintaimu,” suaranya rendah, hampir bergetar. “Tapi… mari kita coba untuk belajar pelan-pelan, Amira. Bantu aku Untuk menumbuhkan rasa cinta untuk mu itu. Bukan karena keterpaksaan. Tapi karena… aku ingin mencoba mengenalmu bukan sebagai bayang-bayang Rani tapi sebagai kamu.”
Air mata Amira tak bisa ditahan lagi. Ia tak berkata apa-apa, hanya menunduk—dan saat mas Arif menggenggam tangannya, untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, ada kehangatan yang tidak dibuat-buat.
Setelah berbicara berdua akhirnya mereka memilih untuk masuk kamar dan segera tidur, dikamar mereka tidak ada bicara sedikitpun hanya diam saja membisu seperti tidak ada terjadi obrolan apapun sebelumnya. Baik Amira ataupun Arif tidur sambil membelakangi sama seperti malam-malam sebelumnya.
Paginya, suasana di dalam rumah terasa sangat berbeda dari biasanya. Tidak ada lagi ketegangan yang setiap hari aku rasakan ketika akan menghadapi mas Arif, tidak ada keheningan yang mengganjal seperti biasanya. Amira lebih awal seperti biasanya, dia menyiapkan sarapan seperti biasa. Tapi kali ini, ada senyum kecil di wajahnya yang tak bisa ia sembunyikan. Bukan karena semuanya sudah berubah—tapi karena ada harapan baru yang tumbuh di hatinya.
Mas Arif turun dengan pakaian kerja yang rapi, dan untuk pertama kalinya, dia menyapa lebih dulu. " Hari ini kamu masak apa Amira ? " Aku kaget bukan main, ternyata mas Arif sudah mulai mendekatkan dirinya padaku.
" Ya mas, aku cuma menyiapkan roti bakar dan segelas teh untukmu, serta segelas susu untuk Maira." Kata Amira tersenyum.
Maira muncul tak lama kemudian, langsung memeluk Amira dari belakang. “Mama Amira aku mau duduk sebelah Mama, ya!” katanya riang.
Mereka duduk bertiga. Meja makan terasa lebih hidup. Maira bercerita tentang tugas sekolah, tentang temannya yang lucu, dan Amira menanggapi dengan tawa kecil yang tulus. Di seberangnya, Arif hanya diam memperhatikan. Hatinya menghangat melihat bagaimana Maira bisa sebahagia itu di dekat perempuan yang dulunya hanya ia anggap “Bayang-bayang mantan istrinya saja.
Setelah sarapan selesai Amira mengantar Maira ke sekolah dan Arif juga pergi bekerja dikantornya. Selama dikantor pikiran Arif pun tidak tenang sama sekali, dia masih memikirkan bagaimana perasaan Amira saat ini, malam itu dia melihat mata Amira yang mengeluarkan cairan bening, apakah Amira menangis malam itu atau bagaiman dia sedih ketika membayangkan Amira yang sakit akibat ulahnya.
Dulu, aku berjanji pada kedua orang tua Amira bahwa aku tidak akan menyakiti putri mereka. Tapi, sekarang aku sudah menyakitinya. Aku sudah menyakitinya dengan kata-kataku yang keluar tanpa aku pikirkan.
Apakah saat ini aku sudah mulai mencintai Amira? Tidak, itu tidak mungkin, rasa yang saat ini aku rasakan karna aku kasihan terhadapnya. Aku tidak ingin mengkhianati Rani, mantan istriku, walaupun dia sudah meninggal tapi hatiku tetap untuknya bukan untuk wanita lai. Tetapi Amira adalah wanita baik dan tulus.
Apakah boleh aku mencoba untuk membuka hatiku untuk Amira? Apakah aku akan menyakiti Rani, Arif berkata di dalam hatinya.
Jika aku tidak membuka hatiku untuk Amira, aku kasihan jika nanti dia pergi meninggalkan aku dan Maira, karna aku melihat dia sangat menyayangi anak kU. Aku takut, nanti aku tidak lagi menemukan Wanita baik setulus Amira ini.
Baiklah, perlahan aku akan menerima Amira menjadi istriku yang seutuhnya, tetapi bayangan Rani selalu saja muncul jika aku memikirkan Amira. Ma'af, Ma'af Rani mungkin aku adalah laki-laki yang egosi sekarang ini, karena ketika aku mencintaimu aku juga akan belajar untuk mencintai seseorang, yang sekarang sudah dianggap Ibu oleh anak kita. Isi hati Arif.
Setelah mengantar Maira sekolah Amira kemudian pergi ke kelas Menjahitnya, karena setelah Maira pulang sekolah dia pun harus sudah pulang dari kelasnya.
Ketika sedang menjahit Amira tampak murung, dan tidak ada semangatnya sama sekali. Amira memikirkan perkataan Arif yang mengatakan bahwa dia tidak bisa mencintai Amira, tetapi tadi malam dia tiba-tiba saja mengatakan bahwa dia ingin pelan-pelan mencoba mencintai Amira. Apakah dia tidak menganggap kU sama sekali selama ini. Padahal aku sudah melakukan semuanya. Takdir hidup seperti apa yang sedang aku jalani saat ini. Kata Amira dalam hatinya.
Teman Amira yang berada disebelah ya heran melihat keheningan Amira, yang biasanya dia adalah wanita yang ceria tapi hari ini dia sangat berbeda sekali dari biasanya. Teman- teman Amira juga enggan untuk bertanya kepada Amira, karena mereka menganggap bahwa itu adalah privasi yang mereka tidak boleh tahu, kecuali Amira yang dengan sendirinya bercerita kepada mereka.
Waktu menunjukkan jam pulang Amira, dia bergegas memesan Ojek online langganannya sekalian dia pergi untuk menjemput Maira ke sekolahnya, dia bergegas pergi karna takut anaknya akan lama menunggunya. Sesampainya di sekolah Maira, ternyata dia sudah menunggu di depan sekolahnya, sambil tersenyum ke Mama sambungnya. Mereka kemudian pulang kerumah.
Malam harinya, setelah menidurkan Maira, Amira duduk di sofa ruang tamu menunggu suaminya pulang. Tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya Arif pulang pada pukul 9 malam. Dia meminta Amira untuk tidak menyiapkan teh, cuka menyiapkan air mandi nya saja karna dia lelah dan ingin langsung tidur saja. Amira mengiyakan kata-kata suaminya, dan dua menyiapkan air panas untuk mandi suaminya dan juga menyiapkan pakaian tidur. Ini Lh yang dilakukan Amira setiap malam, dia tetap menyiapkan semua kebutuhan suaminya kecuali kebutuhan yang lain, karena Arif belum pernah meminta haknya sama sekali kepada Amira.