Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Sedikit di atas Rata-rata
Pagi itu, langit tampak muram. Gumpalan awan kelabu menghalangi sinar matahari, menyelimuti kota dengan kesejukan. Setelah melewati pos pengamanan kompleks dan menyapa para petugas, Wina dan Dion berdiri di tepi jalan utama.
"Kita harus menyeberang atau tidak?" tanya Wina, matanya menyisir jalan yang dipadati kendaraan.
"Nggak, kita tunggu di sini saja. Naik angkot nggak apa-apa, kan?" Dion melirik gadis di sampingnya, khawatir apakah Wina terbiasa dengan moda transportasi rakyat itu.
"Boleh!" Wina justru tampak antusias. Sudah lama ia tidak merasakan pengalaman berdesakan dalam angkutan kota. Biasanya, ia melaju nyaman dalam taksi yang sunyi.
Angkot melambat di hadapan mereka, warna birunya pudar oleh waktu, dan kaca jendelanya menyisakan jejak jemari yang entah milik siapa. Mereka pun naik, bergabung dengan lalu lintas yang padat, merayapi kemacetan di depan kompleks rumah Wina, yang memang bertetangga dengan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota itu.
Saat angkot akhirnya terbebas dari jeratan macet, hanya empat penumpang yang tersisa: mereka berdua, seorang ibu, dan balitanya yang terlelap dalam pelukan sang bunda. Dengan leluasa, Wina menoleh ke kanan dan kiri, matanya berbinar menatap jendela yang membingkai pemandangan kota.
Itu tempat apa? Tulisan itu artinya apa? Kenapa di sana ramai sekali? Mereka jual apa? Berondongan pertanyaannya meluncur tanpa jeda, dan Dion berusaha menjawab sebisanya.
Si ibu yang duduk di seberang mereka tersenyum, matanya memancarkan kehangatan. "Bukan orang sini, ya?" tanyanya.
"Orang Australia dia, Kak," sahut Dion dengan nada bercanda.
Wina melirik tajam ke arahnya sebelum buru-buru mengoreksi, "Ibuku orang sini, kok. Cuma karena tugasnya di Jakarta, jadi aku besar di sana."
Si ibu mengangguk paham, lalu tersenyum lebih lebar. "Kalian pacaran sudah berapa lama?" tanyanya lagi.
Dion hendak menjawab, tetapi Wina lebih sigap. "Baru dua hari, Kak!" jawabnya tanpa ragu, matanya berkilat usil.
"Wah, selamat! Baik-baiklah pacarannya, ya. Kalian cocok sekali." Si ibu tersenyum penuh arti.
Dion terdiam, perasaannya campur aduk antara tidak enak karena berbohong dan entah mengapa—senang. Ia melirik Wina dari sudut mata, mengamati gadis itu bukan hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena sikapnya yang ceria dan jenaka. Pikirannya melayang, membayangkan jika apa yang dikatakan Wina tadi bukan sekadar lelucon.
Lamunannya buyar ketika Wina tiba-tiba menyentuh lengannya. "Iya kan, Bang?"
Tanpa memahami konteks pertanyaan, Dion hanya mengangguk. Namun, jantungnya berdetak lebih cepat ketika Wina merapat, jemarinya berpegangan pada lengannya, seolah benar-benar pasangan yang baru jatuh cinta. Dion meneguk ludah, merasa terjebak dalam kemesraan palsu yang mendebarkan.
Sekilas, Wina meliriknya dan menahan tawa. Wajah Dion mulai memerah, butiran keringat kecil bermunculan di dahinya. Wina mencondongkan tubuhnya sedikit agar si ibu tak melihat kegugupan Dion yang terlalu kentara.
Waktu berlalu hingga akhirnya si ibu turun di tujuannya. Wina pun melepaskan genggamannya.
"Ah, Dion payah! Baru pura-pura pacaran saja sudah gugup. Bagaimana kalau pura-pura jadi suami istri?" godanya lirih agar tak terdengar sopir.
Dion mengusap dahinya dengan tisu yang diberikan Wina. "Kakak sih nggak bilang-bilang dulu, supaya sempat latihan. Lagipula, kalau suami istri tuh nggak gandengan tangan di angkot."
Wina tertawa kecil. "Iya deh, lain kali kita pura-pura jadi pengantin baru!"
Dion hanya bisa menghela napas pendek. "Celaka!" batinnya.
Namun, saat suara sekumpulan mahasiswi yang baru naik angkot memenuhi ruang kecil itu dengan keriangan, Dion diam-diam bertanya pada dirinya sendiri, benarkah ini hanya pura-pura? Atau ada sesuatu yang mulai tumbuh tanpa disadari?
"Pinggir, Bang!" seru Dion ketika mereka sudah dekat dengan rumah makan soto.
Angkot pun melambat, berhenti di tepi jalan yang berdebu. Dengan sigap, Dion turun lebih dulu, memastikan Wina menginjakkan kakinya dengan aman sebelum akhirnya menyerahkan ongkos pada sopir.
"Tempatnya di sebelah sana," katanya, menunjuk persimpangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Menghadap sisi jalan lain, jadi tak terlihat dari sini."
"Yuk, cuma dekat, kok," ajaknya.
Wina bergegas menyamakan langkah dengan Dion. Ia mendongak, menatap pemuda itu dengan takjub. "Dion tinggi sekali, ya?"
Dion menoleh sekilas, bibirnya membentuk senyum kecil. "Biasa saja. Hanya sedikit di atas rata-rata."
Dengan tinggi 170 sentimeter, Wina sebenarnya cukup jangkung untuk ukuran perempuan. Namun, di sampingnya Dion yang menjulang 186 sentimeter membuat ia merasa mungil. Sedikit banyak, tubuh jangkung Dion berkontribusi memberikan perasaan aman.
Mereka tiba di rumah makan Soto Medan yang dijanjikan Dion. Tempat itu ramai oleh pengunjung, hiruk-pikuk suara dan aroma rempah bercampur di udara. Meja-meja nyaris penuh, tetapi mereka beruntung menemukan satu yang agak terpisah dari keramaian.
Menu di tempat itu tidak banyak pilihan. Karena memang mengkhususkan diri pada Soto Medan, variasi yang ditawarkan tak jauh dari itu.
Tak lama, semangkuk soto mengepul di hadapan mereka. Wina menyendok kuahnya, meniup perlahan sebelum menyeruputnya. Matanya membulat.
"Kamu benar, ini enak sekali! Gurih, supnya kental banget!" serunya antusias.
Dion tersenyum puas melihat reaksinya. Ia juga mulai memakan sotonya, tapi lebih menikmati pemandangan di depannya. Cara Wina menikmati makan, ekspresi puasnya, bahkan caranya mengunyah dengan lahap. Semuanya tampak memesona di mata Dion. Tanpa sadar, tatapannya terus melekat pada gadis itu.
Wina tiba-tiba menghentikan sendoknya, memergoki Dion yang tengah menatapnya. Dion tersentak.
Merasa ketahuan, ia buru-buru menunduk dan beralih fokus pada makanannya.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabiskan hidangan. Beberapa kali Wina memuji soto yang kaya rasa itu.
"Berjanjilah kamu akan kembali mengajakku ke sini," ujar Wina usai menyantap suapan terakhirnya.
Dion menyeringai. "Itu ajakan kencan, Kak?"
"Huss!!! Aku kan belum hafal jalan ke sini. Harus diulangi dua atau tiga kali supaya terbiasa," dalih Wina, pura-pura serius.
Dion tertawa pelan. "Boleh saja, Kak. Beritahu saja kalau ingin makan Soto Medan lagi."
"Titi Gantung jauh dari sini?" tanya Wina tentang tujuan mereka selanjutnya.
"Setidaknya tiga puluh menit-an," jawab Dion.
Pembicaraan mereka berlanjut dengan Wina yang bertanya banyak hal tentang Medan. Ia ingin membiasakan diri dengan angkutan umum, juga ingin memahami seluk-beluk kota ini. Dion menjelaskan panjang lebar, dari trayek angkot hingga titik-titik strategis tempat berganti kendaraan tanpa perlu memasuki terminal yang rawan kejahatan.
"Sebaiknya gunakan toilet di sini dulu. Toilet di Titi Gantung kurang layak digunakan," saran Dion ketika mereka bersiap beranjak.
Wina menurut. Namun, sebelum ke toilet, ia lebih dulu mampir ke kasir dan membayar tagihan. Dion yang melihatnya buru-buru ingin mencegah, tetapi jaraknya dengan kasir terlalu jauh.
"Aduh! Kenapa Kakak yang bayar? Aku kan sudah janji traktir," keluh Dion begitu Wina kembali.
"Nyanda apa-apa, Dion! Berikut jo ngana traktir pa kita," ujar Wina, logat Manado-nya menguar ringan.
Mereka pun meninggalkan rumah makan itu. Wina mengikuti Dion menaiki angkot menuju tujuan berikutnya.
"Biasanya, Titi Gantung ramai kalau hari Sabtu. Sesampainya di sana, usahakan tetap di sampingku," ujar Dion setelah beberapa saat perjalanan.
"Kalau Kakak di samping kiriku, tas harus dijinjing dengan tangan kanan dan begitu juga sebaliknya. Jadi tas atau barang bawaan selalu berada di antara kita," tambahnya, nadanya terdengar seperti seorang komandan tengah memberi instruksi.
Kala itu, tempat-tempat ramai di Medan memang rawan kejahatan. Copet, jambret, hingga penipuan berkelompok sering mengintai orang-orang yang lengah.
"Kalau ada yang menawarkan sesuatu, tidak usah diladeni. Biar aku yang menjawab," lanjut Dion.
"Dan satu hal terpenting. Kalau bepergian di Medan, jangan sampai ekspresi ketakutan dan kebingungan terlihat di wajah, terutama bila sendirian. Itu adalah tanda-tanda kelemahan, dan yang lemah adalah mangsa empuk."
"Siap, Bos!" seru Wina, menirukan gaya seorang prajurit yang menerima perintah. Kini, ia merasa jauh lebih aman dengan Dion di sampingnya.
Di kampusnya, para mahasiswa memang sudah diwanti-wanti bahwa berbelanja di Titi Gantung bisa menjadi pengalaman yang kurang mengenakkan, terutama bagi perempuan.