NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu teman Lama.

Raina menatap layar ponsel itu lama. Foto genggaman tangan dua orang—satu laki-laki, satu perempuan—terlihat begitu akrab, begitu hangat. Tapi yang membuat dadanya menegang bukan hanya foto itu, melainkan keyakinannya yang tak bisa dibantah: tangan laki-laki itu milik Aditya. Ia hafal lekuk jari suaminya meskipun sudah lama mereka nyaris tak bersentuhan. Yang membuatnya terguncang adalah… tangan perempuan itu. Asing. Namun terasa terlalu nyaman berada di genggaman suaminya.

Pesan yang menyertai foto itu singkat dan halus, seolah datang dari seseorang yang tahu persis luka macam apa yang akan ditorehkan olehnya.

"Kadang, yang menjaga kita saat lemah... adalah yang paling tulus. Bukan yang hanya ada saat keadaan baik-baik saja."

Raina membacanya berulang-ulang. Kepalanya penuh pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Siapa perempuan itu? Mengapa dia bersama Aditya? Dan kenapa seolah tahu cara menyentuh bagian terdalam dari ketenangan yang sedang ia bangun perlahan? Yang lebih menyakitkan bukan hanya gambar atau pesan itu, tapi kenyataan bahwa ia tidak tahu apa-apa.

Selama ini Aditya memang bukan suami yang terbuka. Bahkan sejak malam pertama, ada jarak di antara mereka yang tak pernah sepenuhnya luruh. Aditya bersikap dingin, tidak kasar, tidak juga hangat—hanya… seperti tembok tinggi yang tak bisa ditembus. Raina pernah mencoba bertanya tentang masa lalunya, tentang kenapa ia selalu terlihat seperti sedang menahan sesuatu, tapi setiap kali ia mencoba mendekat, yang ia terima hanya diam, atau senyum tipis yang mengakhiri percakapan.

Dan sekarang, potongan kecil masa lalu itu muncul—melalui foto, melalui pesan asing, melalui perasaan yang tak bisa ia pahami, tapi menyayat perlahan. Raina mendekap ponsel ke dadanya, tidak menangis, tapi matanya basah. Ia merasa seperti orang asing dalam hidupnya sendiri. Tidak tahu sedang bersaing dengan siapa. Tidak tahu apa yang sedang dipertaruhkan. Dan lebih menyakitkan lagi, ia bahkan tidak tahu apakah suaminya sadar bahwa ia sedang patah.

 

Jarum jam di dinding telah melewati angka satu dini hari ketika Aditya akhirnya berdiri dari kursinya. Raut wajahnya letih, bukan hanya karena kurang tidur, tapi karena percakapan yang mengguncang diam-diam. Larasati menatapnya tanpa bicara, seolah berharap waktu bisa dilambatkan. Tapi Aditya hanya tersenyum tipis, menunduk sejenak, lalu berkata pelan, “Aku harus pulang, Ras. Besok ada rapat pagi, pekerjaan yang nggak bisa aku tunda.”

Larasati mengangguk, tapi sorot matanya jernih—ada kecewa yang tak ia sembunyikan. “Kamu selalu bisa berdiri dan pergi dengan tenang, ya.”

Aditya menatapnya beberapa detik, dalam diam. “Justru karena aku nggak tenang… makanya aku harus pergi.”

Larasati tersenyum tipis, samar. “Masih takut sama aku?”

“Takut kehilangan kendali,” jawab Aditya, jujur. “Dan aku nggak mau jatuh ke tempat yang pernah bikin aku harus belajar lupa.”

Larasati menggigit bibir bawahnya, menahan kalimat yang tak jadi ia ucapkan. Ia tahu, Aditya bukan pria yang mudah goyah. Tapi ia juga tahu: Aditya adalah pria yang setia pada luka, bukan pada orang. Dan dirinya… adalah salah satu luka itu.

Aditya menunduk pelan, memasukkan tangan ke saku jas, lalu melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sejenak. “Istirahat yang cukup. Kalau butuh apa-apa, kabarin asistenku. Aku udah bilang ke rumah sakit, semua biaya ditanggung.”

Larasati hanya mengangguk. Tak ingin membalas basa-basi. Hanya ingin memeluk punggung itu sekali lagi—tapi dunia mereka sudah terlalu banyak ‘tapi.’

Saat pintu tertutup perlahan di belakang Aditya, Larasati kembali memejamkan mata. Kali ini bukan karena lelah... tapi karena pikirannya mulai merancang sesuatu.

 

Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut di antara sela-sela pepohonan. Udara kampung masih sejuk, belum tercemari hiruk-pikuk kendaraan atau desakan waktu. Raina melangkah keluar dari rumah paman, mengenakan jaket tipis dan topi rajut pemberian bibi. Senyumnya tidak lebar, tapi ada ketenangan yang perlahan kembali menyelimuti wajahnya. Di sampingnya, Rafi—adik sepupunya yang masih duduk di bangku SMA—menuntunnya dengan semangat khas remaja, menunjuk arah jalan kecil menuju air mancur alami di balik bukit.

"Yuk, Mbak, kita lewat jalan yang agak naik. Dari atas kelihatan pegunungannya lebih jelas," ucap Rafi sambil melompat kecil melewati batu-batu.

Raina tertawa pelan, membiarkan dirinya dibawa pergi dari kekusutan pikiran yang sejak beberapa hari terakhir nyaris menenggelamkannya. Jalan setapak itu dipenuhi daun basah dan tanah yang wangi. Suara gemericik air dari kejauhan mulai terdengar, dan aroma rerumputan liar terasa menenangkan. Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah mata air yang mengalir membentuk air mancur kecil, dikelilingi batu besar dan pohon-pohon pinus.

Raina duduk di salah satu batu besar, menatap air yang memantul cahaya matahari pagi. Pemandangan pegunungan yang menjulang di kejauhan seperti pelukan sunyi yang ia butuhkan. Ia menghirup udara dalam-dalam, membiarkan dadanya sedikit lebih lapang.

Air terjun itu tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, tak terlalu tinggi, tapi gemericik airnya membentuk suara-suara menenangkan, seolah menyapu bersih kegundahan yang tersisa di dada. Raina duduk di sebuah batu besar, membiarkan kakinya menyentuh permukaan air yang dingin dan jernih. Ia mengangkat ponselnya, mengabadikan lanskap sekeliling: cipratan air, pelangi kecil yang memantul di kabut lembap, dan senyumnya sendiri yang akhirnya terlihat tulus. Untuk sejenak, ia merasa cukup. Sendirian, tapi tidak kesepian.

Saat matahari mulai turun dan udara menjadi sedikit lebih dingin, Rafi mengajak Raina kembali turun. Di tengah perjalanan, saat mereka kembali melewati jalan setapak dekat perkampungan, seorang pria menghampiri dari arah berlawanan, berjalan santai sambil menenteng helm motor. Tingginya masih sama, senyumnya masih hangat, dan ketika mata mereka bertemu, waktu seperti berhenti sebentar.

“Raina?” tanyanya, sedikit tak percaya, namun matanya berbinar. “Astaga, ini beneran kamu?”

Raina terkejut sesaat, lalu tersenyum pelan. “Gilang?” ucapnya nyaris tak percaya. “Kamu… pulang juga?”

Mereka saling menatap, lalu tertawa kecil. Rafi hanya menoleh dengan penasaran, menangkap sesuatu dari tatapan keduanya.

“Ya ampun, udah berapa tahun ya? Lima? Enam?” tanya Gilang sambil berjalan lebih dekat.

“Empat,” jawab Raina. “Terakhir kita ketemu pas reuni kecil-kecilan waktu SMA.”

Gilang mengangguk, masih menatapnya seperti seseorang yang sedang memastikan kenyataan. “Dan sekarang kamu di sini… sendirian?”

"Ini, Di sebelahku bocah segede ini gak kelihatan, _?

" hehe, oh iya gimana kabar kamu? " Gilang menoleh yusuf sebentar_lalu kembali fokus kepada Raina.

"Alhamdulillah sangat baik, " jawab Rain.

"Syukur deh, Aku dengar kamu sudah nikah, ya. "

tanya Gilang.

Raina tersenyum dengan anggukan kecil sebagai jawaban.

Melihat raut wajah Raina yang berubah muram membuat Gilang mengalihkan topik pembicaraan.

Gilang:

“Eh, kamu masih inget nggak dulu pas kita outbound, kamu jatuh dari jembatan tali… padahal baru dua langkah? "

Raina (ketawa ngakak): Gilang berhasil mengalihkan perhatiannya.

“Astaga! Itu bukan jatuh, itu strategi mundur terhormat. Tali-nya goyang, oke? Dan kamu malah ngakak dari ujung!”

Gilang:

“Lah, aku kira kamu sengaja atraksi. Gaya banget jatuhnya. Kayak stuntman.”

Raina:

“Sumpah ya, aku trauma naik jembatan tali sejak saat itu. Tapi kamu juga jangan lupa... pas lomba lari karung, kamu malah kepleset terus peluk kepala sekolah.”

Gilang (langsung garuk kepala):

“Eh itu kecelakaan murni, oke! Lagian siapa suruh kepala sekolah berdiri di jalur finish. Harusnya dia tahu aku nggak bisa ngontrol karung.”

Raina:

“Yah, makanya, dari dulu kamu tuh... semangat gede, skill pas-pasan.”

Gilang:

“Ya daripada kamu, kerja kelompok bawa pensil warna tapi nggak bawa otak.”

Raina (nunjuk Gilang sambil ketawa):

“Woy! Itu karena aku bagian estetika! Nilai seni kita naik gara-gara layout-ku, ingat nggak?”

Gilang:

“Iya sih… Tapi tetap aja. Kamu itu dulu nggak bisa ngerjain rumus, tapi jago banget ngerjain perasaan temen.”

Raina (pasang wajah sok polos):

“Eh, siapa tuh? Jangan-jangan kamu?”

Gilang (mendadak pura-pura batuk):

“Ahem. Nggak-nggak. Aku mah imun.”

Raina (ketawa makin keras):

“Iya, imun tapi suka ngintip meja aku pas ulangan Bahasa.”

Gilang (ngangkat alis):

“Lah, kamu juga! Ujian Biologi malah nanya: ‘Gilang, pankreas tuh di mana ya?’ Kayak aku dokter kandungan!”

Raina:

“Pokoknya kita lulus bukan karena pinter, tapi karena kerjasama tim tingkat tinggi.”

Gilang:

“Dan dosanya kita bagi rata, kan?”

Raina:

“Aamiin.”

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!