DEAR HUSBAND

Sore ini Jill berbaring di kasur ukuran mini. Ia tinggal di sebuah mes bersama dua staf lainnya, tak lain Veny, Ika, serta satu orang pembantu yang masing-masing mendiami kamar yang berbeda.

Sebuah pesan masuk membuat Jill langsung menyambar ponsel di sisi ranjang dan membaca pesan. Dari Jeff. Oh Pak Bos.

Segera kirimkan email laporan Interval panen ke pusat.

Jill segera membalas pesan.

Oke, Pak.

Jill langsung membuka laptop di meja berukuran pendek samping ranjang. Ia duduk di lantai dengan pandangan fokus ke laptop. Jemarinya menggeser-geser kursor mengarahkannya ke aplikasi yahoo.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Jill kembali mengecek laporan yang baru saja dikirim. Oke, semuanya sudah sesuai dan tidak ada yang salah.

Tak lama ponsel Jill berdering. Mata Jill membelalak menatap nama yang memanggil. Nomer yang ia beri nama Pak Boss alias Jeff.

Mau apa nih orang nelepon? Apa pekerjaanku salah? Duuuh... kalau ada yang salah, pasti dia Cuma mau ngomel dan marah-marah. Jill mengacak rambutnya dengan gemas.

Sebelum nada dering putus, Jill cepat-cepat menjawab telepon.

“Assalamu’alaikum... Siang eh Sore Pak! Ada yang bisa saya bantu?”

Dih... sebel banget mesti pura-pura ramah dan sok baik di depan pria judes ini. Jill memonyongkan mulut ke arah ponselnya.

“Kamu sudah kirimkan emailnya?”

“Sudah, pak.”

“Sudah kamu teliti sebelumnya?”

“Sudah.”

“Tidak ada yang salah?”

“Semoga tidak. Maksud saya, sepertinya tidak ada yang salah.” Jill menggigit bibir menyadari jawabannya yang belepotan. Ugh... Bos garang itu benar-benar telah membuatnya serba salah.

“Saya lupa memberi tahukanmu tadi, CC-kan juga ke email Direktur plantation Jakarta.”

“Oh.. Bisa saya kirim ulang untuk beliau.”

“Bagus. Kau terlihat sedikit lebih cekatan.”

Hidung Jill mulai kembang kempis. Apa tidak salah? Si bos galak memujinya? Jill tersenyum lebar. Usahanya mencari perhatian Pak boss supaya tidak dimarah-marah terhadapnya, kini sedikit membuahkan hasil.

“Terima kasih atas pujiannya, Pak. Selanjutnya saya akan bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang baik.” Jill mengernyit saat menyadari ponsel yang menempel di telinganya tidak menimbulkan bunyi apapun. Ia menarik ponsel dan menatap layarnya. Oh ya ampun, ternyata sambungan telepon sudah diputus. Entah sejak kapan Jeff memutusnya.

Dasar pria tidak tahu sopan santun. Main putus telepon sembarangan. Jill gedeg.

Huh, seandainya saja ia tidak dijodohkan, tentu nasibnya tidak akan seburuk sekarang. Ia juga tidak akan kabur dari rumah dan akhirnya kuliahnya putus di tengah jalan. Ia tidak bisa membayangkan betapa ayah dan bundanya sedih atas kepergiannya. Perjuangan mereka yang selama ini bekerja keras mencari uang untuk biaya kuliah Jill, pasti rasanya sia-sia. Tapi mau bagaimana lagi, Jill tidak ingin kehidupannya dipertaruhkan.

Jill termenung mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Waktu itu ayahnya bersemangat membahas perjodohannya.

“Jill, ayah ingin kmau menikah.”

“Menikah?” Jill terkejut, matanya membelalak menatap lelaki paruh baya berkaos oblong di hadapannya.

“Ya, kamu harus menikah dengan Didi,” lanjut Aldo Wijaya, ayahnya Jill.

Jill Briana membeku di tempat. Kenapa Ayahnya tiba-tiba membicarakan pernikahan?

“Tahun ini aku baru genap sembilan belas tahun, Yah. Bahkan aku belum lulus kuliah.” Jill gusar, mendengar kata pernikahan, ia mendadak ketakutan. Umurnya yang masih sangat muda, masih cocok berstatus perawan.

Sekilas mata Jill menyapu bentuk tubuhnya yang ternyata masih seperti biasa, imut dan mungil. Tidak ada yang menggelambir. Artinya tidak ada alasan yang membuat Ayahnya mencemasakan status kesendiriannya.

TBC