Sebuah kota yang ditimpa tragedi. Seseorang baru saja membakar habis gedung pengadilan di Withechaple, Inggris. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Seorang detektif hebat ditugaskan menangkap sang pencuri Lupin. Waktu yang dimiliki Wang yi semakin terbuang sia-sia. Semakin ia merasa bisa menangkap pencuri Lupin, semakin ia terjebak dalam permainan menyebalkan yang dibuat oleh musuh. Beruntungnya gadis cantik bernama Freya, yang bekerja menyajikan bir untuk para polisi di kedai setempat selalu memberinya motifasi yang unik.
Selama beberapa Minggu, Wang yi menyusun rencana untuk menangkap sang Lupin. Hingga sebuah tugas melindungi mahkota Atlantis tiba di kota itu. Wang yi akhirnya berhasil mengetahui siapa sosok sang Lupin. Namun, ketika sosok itu menunjukan wajahnya, sebuah rahasia gelap ikut terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Kabut Diujung Whitechaple
Wang Yi melangkah keluar dari gang sempit, mantel panjangnya terangkat sedikit diterpa angin malam. Jalanan Whitechapel lengang—tidak ada kendaraan, hanya suara tetesan air dari talang bocor dan langkah kucing liar yang berlari di antara tong sampah. Lampu jalan berpendar kekuningan, menimbulkan kesan dunia yang sudah lama berhenti bernafas. Ia menyalakan rokok lain, menatap langit kelabu yang menekan kota dengan berat. Di kejauhan, jam gereja berdentang pelan, menandai pukul sebelas lewat dua belas menit. Setiap dentang seperti mengingatkan bahwa malam di kota ini tidak pernah benar-benar tidur.
Wang Yi baru saja akan menuju Jeep-nya ketika sesuatu dari arah seberang jalan menabrak matanya.
Zhou Shiyu, Ia tampak seperti seseorang yang tidak seharusnya berada di tempat ini—terlalu bersih, terlalu hidup untuk Whitechapel malam hari.
"Detektif Wang," sapa Zhou Shiyu pelan, suaranya serak karena dingin. "Kau masih bekerja jam segini?"
Wang Yi menatapnya tanpa menjawab sejenak, lalu menurunkan rokok dari bibir. "Kebiasaan buruk. Aku tidak tahu cara berhenti."
Zhou Shiyu tersenyum samar. "Itu membuatmu mirip orang-orang yang kau kejar."
"Dan kau?" Wang Yi menatapnya dari ujung sepatu hingga mata. "Apa alasanmu berkeliaran di sini sendirian? Whitechapel bukan tempat yang ramah bagi gadis berwajah cantik."
"Freya memintaku mengantar sesuatu ke rumahnya. Dan aku baru pulang dari sana."
"Malam-malam begini?"
"Dia pikir aku tidak punya kehidupan."
"Mau kuantar pulang?" Tawar Wang Yi.
"Aku tidak pernah keberatan jika ada kebaikan yang menolongku." Ujar Zhou Shiyu.
"Kau terlihat seperti gadis yang nakal, Nona..." Wang Yi menaiki mobilnya, diikuti dengan Zhou Shiyu yang duduk di samping.
"Aku bisa menjadi sangat nakal jika kau menginginkannya, tuan." Ucap Zhou Shiyu.
Wang Yi menyalakan mesin Jeep hitamnya. Suara mesin yang berat mengoyak kesunyian malam Whitechapel. Lampu depan menembus kabut, membentuk dua pilar cahaya yang seolah membuka jalan menuju kegelapan. Zhou Shiyu duduk di kursi penumpang dengan tubuh sedikit bersandar, wajahnya tertutup sebagian oleh cahaya samar dari dashboard.
"Sabuk pengaman," ujar Wang Yi.
Zhou Shiyu menarik sabuk itu dengan malas, bunyi klik kecil terdengar, lalu ia tersenyum. "Kau selalu seformal ini bahkan saat tidak sedang menulis laporan?"
"Aku tidak suka kecelakaan," jawab Wang Yi pendek. Ia memutar kemudi, membawa mereka keluar dari jalan utama menuju distrik timur kota.
Hujan tipis mulai turun. Butirannya memantul di kaca depan seperti abu yang berjatuhan. Wang Yi menyalakan wiper, tapi gerakannya yang teratur justru membuat keheningan terasa lebih tebal. Zhou Shiyu memandang keluar jendela—deretan toko tua, hotel murahan, dan lampu jalan yang redup berganti seperti fragmen mimpi buruk yang berulang.
"Kau tahu, satu-satunya moment yang paling ku nantikan di kota ini adalah saat malam hari." Ucap Zhou Shiyu.
"Kau punya alasan untuk itu?" Tanya Wang Yi.
"Aku suka malam seperti ini," katanya pelan. "Sunyi. Tidak ada yang berpura-pura bahagia."
Wang Yi melirik sekilas. "Orang yang mengatakan hal seperti itu biasanya sedang menyembunyikan sesuatu."
Zhou Shiyu tersenyum miring. "Atau mungkin aku hanya menikmati kesunyian karena siang hari terlalu bising untuk orang sepertiku."
Wang Yi tidak membalas. Ia menarik rokok dari saku jas, menyalakannya tanpa melepaskan pandangan dari jalan. Aroma tembakau memenuhi kabin. "Kau keberatan?" tanyanya.
"Aku malah suka baunya," ucap Zhou Shiyu. Ia menatap asap yang menari di udara, kemudian berkata pelan, "Kau tahu... aku pernah mengenal seseorang yang juga suka merokok seperti itu. Dia bilang asap membuatnya merasa tidak terlihat."
Wang Yi tersenyum tipis. "Orang seperti itu biasanya sudah mati muda."
"Aku tahu," jawab Shiyu, tatapannya tetap ke luar jendela. "Dia memang sudah mati."
Mobil melambat. Wang Yi menatap wajah Zhou Shiyu sejenak—hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat sesuatu di matanya, sesuatu yang bukan duka, melainkan kenangan yang terlalu dalam untuk disentuh.
"Well, jika kau belum menemukan tempat tinggal, kau bisa menginap di rumahku malam ini. Selanjutnya kau bisa tinggal di motel Club, tempatku bekerja." Ucap Zhou Shiyu.
"Menawarkan orang asing untuk tinggal dirumahmu dengan begitu mudah. Aku takut kau merencanakan sesuatu padaku." Ucap Wang yi, ia mungkin setengah bercanda.
"Sejujurnya sejak pertama kali aku melihatmu masuk kedalam Club bersama Frank, aku sangat ingin memakanmu..."
Wang Yi mendengus kecil, "Apa dimatamu tubuhku seenak itu?
"Aku tidak akan tahu sebelum mencobanya." Ucap Zhou Shiyu.
"Tubuhku adalah imitasi dari nikotin. Sekali kau mencobanya, kau akan terus ketagihan."
"Jika begitu bisa kau percepat laju mobilnya, aku mungkin sedikit terangsang."
Langit malam Whitechaple kian pekat. Hujan telah berubah menjadi tirai lembut yang menempel di kaca jendela, menumpulkan cahaya lampu kota yang redup. Wang Yi menatap jalan di depannya, garis-garis air menetes seperti darah dingin di permukaan kaca. Kabut mengambang rendah, menelan trotoar, dan setiap bangunan tampak seperti bayangan yang lupa wujud aslinya. Zhou Shiyu bersandar lebih dalam ke kursinya, tangannya bermain di tepi jaket kulitnya. Ia menatap Wang Yi dari sudut mata—ada sesuatu di dalam tatapannya, perpaduan antara godaan dan kesepian yang terlalu lama disembunyikan di bawah senyum.
"Apakah semua detektif berbicara sehemat dirimu?" katanya pelan, hampir berbisik.
"Aku tidak dibayar untuk berbicara," jawab Wang Yi datar, tapi ada sedikit nada geli di ujung suaranya.
"Lalu untuk apa kau dibayar?"
"Untuk melihat hal-hal yang orang lain pura-pura tidak lihat."
Zhou Shiyu menatapnya lebih lama kali ini. "Dan apa yang kau lihat sekarang?"
"Seorang perempuan yang mencoba menyembunyikan sesuatu di balik sikapnya yang terlalu percaya diri."
Zhou Shiyu tersenyum kecil, lalu menunduk. "Mungkin aku memang menyembunyikan sesuatu. Tapi bukan dari dunia atau siapapun. Tapi dari diriku sendiri."
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua bergaya Victoria di ujung jalan sempit yang basah. Balkon besi tuanya dipenuhi tanaman yang layu, sementara lampu di pintu masuk bergetar seperti lilin yang hampir padam. "Ini rumahmu?" tanya Wang Yi.
"Untuk saat ini, ya." Zhou Shiyu membuka pintu dengan langkah ringan, lalu menoleh ke arahnya. "Kau tidak akan masuk?"
Wang Yi menatap arlojinya, lalu mematikan mesin. "Aku tidak suka meninggalkan urusan yang belum selesai."
Zhou Shiyu tertawa lembut. "Urusan seperti apa?"
"Seperti wanita yang berbicara seolah tahu cara memakan orang."
Zhou Shiyu berbalik, menaiki dua anak tangga, lalu berhenti di bawah atap kecil. Hujan jatuh di sekitar mereka, menciptakan simfoni halus di atas logam dan batu. Ia menatap Wang Yi yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Kalau begitu," katanya sambil menatap lurus ke matanya, "kau seharusnya tahu, Tuan Wang… aku tidak pernah memakan orang tanpa mereka mengizinkan."
Udara di antara mereka menegang. Asap rokok dari bibir Wang Yi naik pelan ke langit yang abu-abu. Dalam diam itu, suara detak jarum jam dari rumah tua terdengar samar, seolah waktu ikut menahan napas. "Dan kalau aku memberimu izin?" tanya Wang Yi pelan, hampir seperti gumaman.
Zhou Shiyu tersenyum, senyum yang berbahaya dan memikat pada waktu yang sama. "Maka malam ini, Whitechapel akan punya cerita lain yang tidak tercatat di laporan mana pun." Ia membuka pintu. Hangat lampu interior berwarna kuning tumpah ke trotoar, menyingkap bayangan tubuh mereka yang berdiri berhadapan. Wang Yi mematikan rokoknya, lalu melangkah masuk tanpa menoleh lagi ke luar. Pintu tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan jalanan basah, aroma tembakau, dan kabut yang menelan kota itu seperti rahasia yang tak ingin diceritakan siapa pun.