NovelToon NovelToon
Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)

Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:596
Nilai: 5
Nama Author: Rosy_Lea

Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Karung padi

Di hari kedua, kondisi Pak Su masih lemah dan lebih banyak tidur. Tapi terlihat lebih tenang. Alhamdulillah, hari ini nggak ada drama yang bikin senam jantung lagi.

Mungkin efek obat juga, ya. Aku cuma bangunin pas waktunya makan dan minum obat, habis itu dia tidur lagi. Bahkan saat ada yang jenguk, dia nggak merespon apa-apa.

Tapi disini ada yang janggal sih besty, setiap aku bangunin pak Su, dia kaya orang bingung gitu.. lihatin tangan nya, terus kaki nya.. Dia selalu tanya "ini aku kenapa? Kok tangan sebelah kanan sakit? Kok kaki yang kanan nggak bisa di gerakin"

"Mbeeeb, kamu habis jatuh dari pohon kelapa.."

"Oooh, aku habis jatuh dari pohon kelapa ya" katanya.

Dan itu terus berulang besty, setiap aku bangunin makan atau minum, dia selalu begitu.

Pas malam, para pemuda desa datang jenguk rame-rame. Mereka ngopi, ngobrol ngalor-ngidul… aku ngerasa nggak nyaman, ya, dikelilingi bapak-bapak yang menurutku malah lebih mirip nongkrong di pos ronda daripada jenguk orang sakit.

Tapi keluarga Pak Su kelihatan santai aja nemenin, jadi ya udahlah… aku yang ngalah. Daripada bete, aku masuk ke kamar bocil, bacain cerita dan nina boboin anak-anakku.

Lha gimana nggak bete, nggak kesel coba gaees... Pak Su yang masih lemah tak berdaya malah diajak ngerokok, diminumin kopi, terus dikasih rokok yang udah nyala langsung di tangannya.

"Hey bro, ngerokok nih… kalau udah ngerokok berarti udah sembuh!"

hadeeh, bener-bener toxic. Aku pengen marah, pengen ngelarang, tapi aku cuma numpang di rumah ini…

Dan yang bikin miris, tuan rumah, keluarga sendiri, yang punya kawasan ini, malah kelihatan mendukung. Bukannya menjaga suasana buat orang sakit, malah ikut-ikutan nyodorin kopi dan rokok. Aku jadi bingung, ini jenguk atau nongkrong?

Aku udah jelas-jelas bilang jangan dikasih kopi, jangan dikasih rokok. Tapi suaraku cuma dianggap angin lalu.

Rasanya udah kayak babu, tenaga dipakai, tapi suara nggak dihargai. Masih mending babu dibayar, lah ini? Hhhh... minimal, walaupun nggak dibayar, peraturanku dihargai dong...

Aku yang ngrawat, aku yang capek! Sumpah, pengin rasanya ceramah panjang kali lebar, tapi otak warasku bilang, percuma. Ngomong sampe mulut berbusa juga nggak akan didengar.

Ya Tuhaaaan... begini niiih hidup di kampung orang yang menolak berkembang. Semua dianggap biasa, padahal jelas-jelas nggak sehat.

Hal-hal yang seharusnya ditinggalin, malah dijaga kaya warisan turun-temurun. Rasanya pengin jerit, tapi ya siapa aku di sini?

Di antara suara gaduh bapak-bapak yang betah banget nongkrongin suamiku yang lagi kritis, tiba-tiba datanglah sang sesepuh kampung.

Seketika… keadaan berubah drastis, yang tadinya kayak warung kopi, sekarang naik level jadi kayak hajatan, gelak tawa meledak,

Waah, suasana jadi makin hidup dooonk.. Menyala itu ruang tamu!

Kehebohan itu terus berlangsung sampai jam sebelas malam.

Akhirnya, satu per satu para ‘tamu hiburan’ membubarkan diri.

Lalu aku dipanggil ke depan oleh mama mertua, disuruh nemenin pak su.

“Yuuuu, ayuuuu… anak-anak udah pada tidur belum?”

“Udah, Ma…”

“Itu temenin Erik di depan, tamunya udah pada pulang.”

“Iya, Ma.”

Tanpa banyak cakap, aku langsung beranjak ke ruang tamu.

Ya Robby… ini ruangan orang sakit apa diskotik?! Allahu Akbar..

Bau asap rokok yang udah akrab banget sama keringat bapak-bapak itu menyerbu hidungku tanpa permisi.

Gelas-gelas kopi bekas tergeletak santai, berserakan tanpa dosa.

Puntung rokok? Jangan tanya. Udah kayak puzzle yang nyebar di setiap sudut ruangan.

Debu-debu pun ikutan berpesta.

Aku berdiri mematung.

Rasanya pingin lenyap aja dari muka bumi.

Gegas aku tutup wajah pakai masker, bukan masker wajah ala skincare glowing, tapi masker medis darurat penyelamat pernapasan!

Langsung kuambil sapu, lap, dan segala alat sterilisasi darurat.

Aku sterilin itu ruangan dari segala dosa, dan kuman bakteri.

Iyyuuuhhh...

Perasaanku? Campur aduk.

Antara jijik, kesel, tapi juga udah pasrah.

Pingin ngedumel, sumpah! Tapi alhamdulillah... aku masih waras.

Jadilah mulut ini sibuk komat-kamit istighfar,

Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah... Ya Allah, kuatkan hambamu yang cuma pengen hidup damai di ruangan layak huni...

Pas aku beresin gelas-gelas aku nemu gelas besar yang berisi air putih tinggal setengah.. kata mama mertua jangan di buang itu minumnya pak Su, tadi di kasih sama sesepuh.

Terus ada bumbunya gini

"Udah di kasih minum air do'a, udah di rajah.. cepet sembuh.."

Kaya nya kalau lagi kaya begini diam adalah bentuk berbakti paling mulia, dari pada aku jawab terus keceplosan kan nambah-nambahin dosa..

Padahal gatel banget rasanya pingin nyeletuk,

"Jangan-jangan itu bukan air do'a, tapi air sirep."

Kemarin aja badan udah nggak berdaya, masih mau maksain berdiri.

Kalau bukan karena sirep, apalagi coba?

Alhamdulillah, akhirnya setelah kerja keras dan rela berkeringat-keringat agak banyak, bereslah tugasku dengan ruangan, niat hati pingin langsung rebahan, kan aku juga capek mau istirahat.

Tapi ternyata pak su agak laen.

Dia mukanya kaya bengeup gitu, merah padam kaya orang yang lagi semrawut, pokoknya aur-auran, kelihatan gelisah nggak tenang.

"mbeeb,, tidur yuuk, udah malem" kataku pelan.

"Aku nggak bisa tidur..." katanya lirih, tapi matanya nyalang. Badannya gelisah, kaki kirinya bergerak-gerak, tangannya mencengkram selimut.

Aku duduk di sampingnya, menatapnya khawatir.

"Kenapa, mbeeb? panas, gerah?" Dia cuma geleng. Tapi dari raut mukanya aku tahu, bukan soal panas atau gerah. Ini soal hati yang nggak tenang, jiwa yang kayak lagi kejar-kejaran sama sesuatu. Aku tarik nafas panjang. Malam ini bakal panjang ... Gumamku dalam hati

Tiba-tiba paksu bilang "Panas.. panas.. apa itu di kaki awasin, panas..."

Lhah?? Aku ya terbengong-bengong.. Masalahnya di kaki dia nggak ada apa-apa.. ya cuma kain yang kemaren di iket di kakinya sama pak ustadz.

“Angkat itu… panas, Yu…” suara Pak Su lirih tapi penuh tekanan.

Aku langsung panik, “Apanya yang diangkat, Mbeeb? Nggak ada apa-apa…” jawabku sambil celingak-celinguk ke arah kakinya.

"Aduuh.. Berat yu, panas.." erangnya lagi.

Bingung lah aku, akhirnya dari pada penasaran nggak kelar-kelar dan nggak ketemu masalahnya, aku tanya.

"Mbeeeb, emang yang kamu rasa di kaki ada apanya? Aku nggak lihat apa-apa.." kataku.

“Itu… ada karung isi padi di kaki… angkat Yu, panas…” katanya setengah mengerang, napasnya berat, keringatnya makin deras.

Deg! Jantungku berdetak makin kencang. Di mataku jelas-jelas cuma ada kain putih yang diikat Pak Ustadz. Tapi di mata Pak Su... ada karung isi padi?

Astaghfirullah… batinku, ngeri tapi berusaha tetap tenang. Aku pegang kakinya pelan, “Nggak ada apa-apa Mbeeb… tenang ya, ini cuma kain…”

Tapi Pak Su terus gelisah, badannya tegang, seperti menahan panas yang tak terlihat.

"Haduuh ya Allah... kalau mau ada drama jangan malem-malem deh, plis.." pintaku lirih dengan setulus hati.

“Aku udah nggak kuat aktingnya, udah capek, udah ngantuk."

Mataku nyaris lengket, tapi Pak Su malah ngegas dengan adegan horor misterius tengah malam.

Kalau ini sinetron, udah aku tekan tombol off remote-nya. Tapi ini real life, besty... dan remotenya nggak ada.

1
Odette/Odile
Hebat deh penulisnya!
ナディン(nadin)
Dapet insight baru dari cerita ini
Rosy_Lea: Alhamdulillah, semoga insight-nya bermanfaat ya besty.. dan bisa jadi penguat juga buat jalanin hari-hari 💖✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!