Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Tak Pernah Dijemput
*📝** Diary Mentari – Bab 7**
“Beberapa anak pulang dengan tawa, aku pulang dengan diam. Tapi bukan berarti aku tak kuat, hanya terlalu terbiasa berjalan sendiri.”***
⸻
Sore itu, aku turun dari truk kecil di halaman sekolah. Perkemahan telah usai. Badanku lelah, kakiku pegal, tapi hatiku masih hangat oleh tawa dan kebersamaan dua hari kemarin. Namun kehangatan itu mulai perlahan hilang saat aku melihat pemandangan yang selalu menyadarkanku bahwa hidup ini tidak adil untuk semua orang.
Hampir semua temanku dijemput—ada yang digandeng ibunya, ada yang dipeluk ayahnya. Mereka disambut dengan pelukan dan tas yang langsung dibawakan. Sementara aku… seperti biasa. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada yang bertanya apakah aku lapar atau lelah.
Tapi aku sudah terbiasa. Bukan karena aku tidak ingin dimanja, tapi karena hidup mengajarkanku untuk kuat sejak kecil.
⸻
Langkahku pelan namun pasti. Kaki ini tetap bisa berjalan, walaupun hatiku mulai terasa berat. Rasanya seperti kembali dari mimpi indah dan langsung disambut kenyataan yang dingin.
Aku pulang ke rumah. Dua hari kemah terasa terlalu cepat. Sepanjang jalan, pikiranku kembali berkelana—ke tempat yang kadang tidak ingin kuingat, tapi terus memaksa masuk ke dalam kepalaku.
Aku ingat, sejak masuk sekolah dasar, Ayah dan Ibu tidak pernah datang ke sekolahku. Bahkan saat pertama kali aku mendaftar SD, aku hanya dititipkan ke tetangga, seorang kakak kelas yang membawaku ke ruang pendaftaran. Tidak ada tangan yang menggenggamku, tidak ada pelukan semangat, tidak ada senyum menyemangati dari Ayah atau Ibu.
⸻
Setiap kali naik kelas, setiap pembagian rapor, setiap pengumuman prestasi, aku berdiri sendiri di depan kelas. Nilai-nilaiku cukup untuk membuat guruku memanggilku ke depan, untuk menerima piagam atau pujian. Tapi bangku tamu di belakang tetap kosong. Tidak pernah ada suara tepuk tangan dari orang tuaku. Tidak pernah ada wajah bahagia dari mereka yang menyaksikan anaknya berprestasi.
Aku iri. Tapi tidak pernah kuucapkan.
Aku hanya diam. Karena aku tahu… hidup Ayah dan Ibu sudah cukup berat. Mereka tidak perlu ditambah beban oleh keluhan anaknya yang hanya ingin dipeluk atau dijemput. Aku bahkan tidak pernah bisa meminta. Kata “boleh aku minta?” terasa begitu berat keluar dari mulutku. Terlalu takut mengganggu. Terlalu takut menjadi beban.
⸻
Sore itu, aku sampai di depan rumah. Langit sudah mulai gelap. Aku berhenti sejenak. Dari jauh, samar-samar aku melihat gubuk kecil yang kami sebut rumah. Suasana masih ramai. Ada suara tawa, obrolan, dan aktivitas.
Aku mendekat perlahan.
Di teras rumah, kulihat beberapa orang sedang duduk bersila. Nenek, Ibu, para sepupuku… mereka semua sibuk merangkai janur tua. Janur-janur itu nanti akan dijual sebagai perlengkapan upacara. Di tengah kelelahan tubuhku, aku melihat mereka tampak bahagia. Tertawa kecil, saling melempar cerita, sambil tangan mereka tetap bekerja lincah menganyam janur.
Mereka bahkan tidak sadar aku datang.
⸻
Aku menurunkan tasku perlahan, tidak ingin mengganggu suasana. Aku tahu mereka tidak sengaja melupakanku. Mungkin karena sudah terbiasa aku pulang sendiri. Tidak ada yang bertanya bagaimana perkemahanku. Tidak ada yang memeluk atau menawari makan malam.
Aku duduk di samping dipan kayu depan rumah. Membuka diary kecilku diam-diam. Di situlah aku bercerita. Hanya kepada kertas-kertas ini aku bisa menangis tanpa dinilai, bercerita tanpa dipotong.
Aku menulis:
“Hari ini aku pulang dari kemah. Tidak ada yang menjemputku. Tapi tidak apa-apa. Aku tidak menangis. Aku hanya menulis. Mungkin nanti, saat aku besar, semua ini akan jadi cerita yang membuatku lebih kuat. Tapi hari ini… izinkan aku diam sejenak. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku sedang belajar menerima.”
⸻
Aku menatap langit yang mulai gelap. Hari mulai malam. Dari dalam rumah, suara tawa masih terdengar. Aku menarik napas panjang, lalu masuk pelan-pelan. Letakkan tasku. Cuci kakiku. Duduk di pojok dipan. Diam.
Tak seorang pun bertanya tentang perkemahanku malam itu. Tapi aku tidak marah. Tidak kecewa. Hanya… sepi.
Karena aku tahu, dalam rumah yang penuh ini, tidak semua hati terasa dekat.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.