Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 6: Halusinasi
Bruggg! Aku merebahkan badan pada sebuah sofa empuk di lantai dua. Hadeh… hari ini benar-benar bikin capek karena banyak banget client yang datang. Mungkin kalian mengira bahwa ini adalah sesuatu yang bagus karena stigma yang mengatakan bahwa banyak pelanggan sama dengan banyak pendapatan.
Tapi ketahuilah, wahai para pembaca, dari sekian banyak client yang datang hari ini, cuma 3 orang doang yang setuju buat diurus perkaranya. Semetara sisanya, pergi gara-gara masalah budget yang kurang sesuai. Padahal, biaya yang aku tetapkan untuk menangani satu perkara itu sudah sesuai standar, bahkan ada yang di ambang bawah standar. Yah, emang dasar manusia ga modal!
Setelah menghadapi kelakuan para client, rasanya otakku perlu asupan kafein tambahan. Sebenarnya, aku nggak ingat berapa gelas kopi yang udah kuminum hari ini. Tapi, karena kepalaku rasanya lumayan sakit, sepertinya minum segelas kopi lagi nggak akan jadi masalah.
Aku kemudian beranjak menuju dapur untuk menyeduh segelas kopi hangat yang dapat membantu meredakan sakit kepala ini. Saat sedang menunggu air mendidih, aku menyadari bahwa lantai rumah sudah mulai berdebu. Mungkin, setelah minum kopi ini aku akan membersihkannya.
“Nael…” Tiba-tiba, saat hendak menuangkan air hangat ke cangkir kopinya, terdengar suara Felicia dari arah ruang tamu. Aku segera ngintip dari pintu dapur untuk memastikan siapa yang ada di sana. Tapi, tak ada satupun orang yang terlihat oleh kedua bola mataku.
Kedengarannya menyeramkan, ya. Tapi sayangnya, aku bukan tipe orang yang percaya dengan tahayul. Nggak mungkin arwah Felicia menggentayangi aku karena hal semacam itu cuma ada di film horor aja. Selain itu, aku sama sekali nggak minat buat nikah lagi, sehingga mustahil arwah Felicia bisa gentayangan di rumah ini kalaupun dia emang beneran ada.
Setelah selesai mengaduk kopi, aku kembali menuju ruang tamu untuk bersantai sejenak sebelum bersih-bersih rumah. Tapi, betapa terkejutnya aku ketika melihat sesosok wanita yang sedang asik menonton acara gosip, sambil rebahan santai di sofa. Wanita itu adalah Felicia, mendiang istriku tercinta. Dia tampak begitu sehat, dengan rambut panjang yang digerai serta senyuman manis yang selalu terpasang di wajahnya. Karena kemunculannya terasa begitu nyata, aku hanya bisa mematung di ambang pintu sambil sesekali mengucek mata.
“Felicia…?” Gumamku kebingungan dengan mata yang membelalak.
Mendengar gumaman itu, Felicia melirik sejenak, kemudian beranjak dari sofa menuju ke arahku. Kakinya melangkah pelan, sambil menampilkan gerakan melenggok yang begitu anggun. Dia berhenti tepat di hadapanku dengan memperlihatkan paras cantik bak bidadari surga. Wajahnya perlahan mendekat, diiringi ekspresi yang tampak menggoda.
“Hmm~ kamu sengaja nggak bilangan bikin kopi biar aku nggak nitip dibikinin teh, kan?” Ucapnya menjahiliku dengan penuh keceriaan. Tangannya kemudian mendekat, lalu mengelus wajahku dengan lembut. “Aku kangen banget sama kamu.” Tambahnya lagi dengan senyuman manis yang masih terpasang di wajahnya.
“WAHHH!” Sontak, aku berteriak kencang sambil melompat ke belakang karena ketakutan. Akibat pendaratan yang kurang mulus, aku berakhir terbanting ke lantai dengan begitu keras. Tubuh yang sudah ringkih ini perlahan digerogoti oleh rasa nyeri, sementara segelas kopi yang baru saja kubuat terlihat berserakan di lantai.
Saat ingin melihatnya lagi, Felicia sudah menghilang tanpa jejak. TV yang sebelumnya menampilkan acara gosip itu pun terlihat nonaktif, seakan tidak ada orang yang sempat menghidupkannya barusan. Padahal, aku berani jamin kalau Felicia tadi beneran ada di sekitar ruangan ini. Setiap sentuhan jarinya pun terasa begitu nyata saat ia mengelus lembut kulit wajahku.
Aku kemudian memegang kepala dengan mata yang menatap kosong karena dipenuhi oleh kebingungan. “Hah… aku pasti udah mulai gila sekarang.”
...***...
Karena merasa kepala ini udah mulai nggak beres, aku memutuskan untuk jalan kaki di Taman Kota Andawana. Mungkin karena saking capeknya nanganin pelanggan-pelanggan yang banyak minta tapi nggak punya modal buat bayar, aku jadi berhalusinasi parah hingga dapat merasakan sentuhan tangan Felicia. Jujur, pengalaman tadi itu lumayan ngeri, sih. Tapi setelah jalan kaki sekitar 20 menit, kepalaku terasa lebih baik dari sebelumnya.
Aku kemudian memutuskan untuk beristirahat di dekat air mancur yang menjadi ikon kota ini. Walau hanya dipakai untuk jalan kaki sebentar, tapi napasku rasanya sudah benar-benar sesak. Hal ini sebenarnya wajar mengingat intensitas merokokku yang cukup berat. Yah, nggak masalah juga, sih, kita manusia cepat atau lambat akan mati juga pada akhirnya.
Sembari minum sebotol air mineral, mataku sibuk mengamati patung prajurit berkuda yang berada di puncak air mancur ini. Kemegahannya berhasil menghalangi cahaya matahari sore, sehingga memberikan keteduhan pada tempat dudukku. Ditambah lagi, desiran angin yang sejuk berhasil menambah sedikit lagi ketenangan di tengah kondisi pikiranku yang lagi carut marut.
“Tumben kau kelihatan olahraga lagi, Nael?” Dari arah samping, terdengar suara seorang pria yang sudah lama aku kenal. Begitu menoleh, tampak sesosok orang berbadan kekar yang menggunakan seragam kepolisian. Rambutnya terlihat dipotong pendek dengan fitur wajah yang simetris. Pokoknya, dia ini benar-benar sosok idaman wanita banget.
“Iya, nih, soalnya aku lagi lumayan stres belakangan ini.” Jawabku singkat untuk menanggapi pertanyaanya itu. “Ngomong-ngomong, Eka, kau masih keliatan kekar kaya waktu SMA dulu, ya.” Ucapku basa-basi, sambil mempersilahkannya untuk duduk di sampingku.
Orang ini bernama Gusti Ngurah Eka Saputra, seorang perwira kepolisian yang punya idealismenya sendiri dalam menegakkan keadilan. Kami berdua adalah teman seangkatan waktu SMA dan pernah bersama-sama mengikuti tes masuk Bintara Polri. Tapi sayangnya, nilaiku kurang memenuhi di penentuan akhir, sehingga harus banting setir menjadi seorang notaris
“Hahaha, begitu, lah. Namanya juga tuntutan pekerjaan. Jadi, mau nggak mau harus dituruti.” Ujarnya mencoba merendah. Eka kemudian mengeluarkan sekotak rokok dari kantong bajunya, lalu menawariku sebatang sebelum menyulut miliknya.
“Wah, kau ini nggak sopan banget nawarin rokok ke orang yang baru aja selesai olahraga, ya.” Ucapku sarkas, sambil menerima rokok yang ditawarkannya itu.
“Ayo, lah, kaya lagi sama siapa aja.” Balasnya sambil membakar rokok yang sudah tercantol di mulutnya.
Kami berdua menikmati setiap nikotin yang mulai mengendap ke dalam tubuh, sambil mengapresiasi suasana sore hari yang begitu tenang. Orang-orang di sekitar taman juga terlihat sedang menikmati hangatnya mentari senja dengan senyuman yang menyeringai, seolah sedang melupakan masalah mereka untuk sementara waktu.
“Ngomong-ngomong, apa kau masih depresi tentang kepergian Felicia?” Tanya Eka memecah kesunyian.
“Bisa dibilang iya, tapi bisa juga dibilang nggak.” Jawabku sambil menghembuskan asap rokok ke langit. “Sejujurnya, aku udah nerima kematian Felicia dengan sepenuh hati. Tapi, entah kenapa, aku malah sering mengalami halusinasi parah akhir-akhir ini.”
“Kau berhalusinasi?” Tanyanya lagi, sambil menoleh ke arahku dengan tatapan mata yang terlihat khawatir.
“Iya.” Balasku singkat, sambil kembali menghisap rokok.
Eka kemudian menyandarkan badannya ke bangku taman, sambil terdengar menghembuskan napas panjang. “Kau nggak mau konsultasi ke psikiater? Kebetulan aku punya kenalan, nih.”
Benar juga, ya. Mungkin, sudah saatnya untuk menemui pihak profesional yang bisa mengatasi masalah mental ini, sebelum kehidupanku berubah seperti Vincent Van Gogh. Kenapa aku nggak pernah kepikiran tentang hal ini sebelumnya, ya?
“Oke deh, boleh aku minta nomornya?” Tanyaku pada Eka, sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana.
...***...
“Hoahemm…” Mulutku terbuka lebar saat menguap dengan brutal. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi aku baru saja sampai di rumah. Siapa sangka kalau pertemuanku dengan Eka di taman kota tadi akan berujung pada minum-minum di HwangLiu. Sialan emang, padahal aku sama sekali belum menyapu rumah. Tapi, ya sudahlah, kita urus masalah itu besok pagi aja.
Begitu menginjakkan kaki di kamar, aku langsung merebahkan badan yang sudah kelelahan ini di atas kasur yang nyaman. Setelah menjalani hari yang panjang, rasanya tidur merupakan pilihan terbaik yang pantas untuk dipilih sekarang.
Namun, saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba aku kepikiran tentang dr. Sofia Valentine, seorang psikiater kenalan Eka yang akan kukunjungi dalam waktu dekat. Ini adalah pertama kalinya aku memutuskan untuk konsultasi dengan psikiater, sehingga aku harus cermat dalam menilai kualitasnya terlebih dahulu.
Aku segera mengambil handphone yang masih tersimpan di kantong celana, lalu mencari segala informasi mengenai dr. Sofia. Setelah beberapa menit scrolling, aku bisa menyimpulkan bahwa dia adalah seseorang yang kompeten. Bisa dilihat dari ratingnya yang sangat tinggi di beberapa aplikasi review.
“Baguslah kalau begitu.” Gumamku lirih, sambil melempar handphone ke pinggiran kasur. Mataku perlahan terpejam, seolah bersiap menuju alam mimpi yang indah.