Kisah cinta dua insan dengan karakter bertolak belakang yang diawali dengan keterpaksaan demi bakti kepada kedua orang tua. Jelita Khairani, gadis cantik 21 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya tak dapat mengelak kala kedua orang tuanya menjodohkannya.
Namun siapa sangka yang di maksudkan sebagai calon suaminya adalah pria yang sama dengan seseorang yang ia juluki "ALIEN, MANUSIA KAYU, dan PRIA KAKU" seusai pertemuan pertama mereka.
Dialah Abima Raka Wijaya, pria dengan segala keangkuhan dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tak mampu berdamai dengan diri tidak mungkin menerima begitu saja keputusan orang tuanya. Kehadiran Kinan di lubuk hatinya menjadi alasan utama ia tak dapat membuka diri pada sembarang wanita.
Akankah Raka melupakan Kinan dan menerima kehadiran Jelita? Bagaimana jika suatu saat sang mantan kekasih berniat kembali padanya?
Ig: desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Papa
Malam yang tenang menjadi hal yang paling disukai Raka. Dia memilih ruang kerja sebagai tempat menenangkan diri kali ini. Beberapa lembar foto yang diberikan Dion Pagi tadi tak henti-hentinya ia pandangi satu persatu.
Ucapan Andra yang terus memintanya untuk berhenti juga sedikit menganggu pikirannya. Raka menghela napas pelan menyandarkan kepala dikursi kerjanya, matanya terpejam sambil sesekali memencet pangkal hidungnya.
"Aku tidak mampu melupakanmu Kinan." Raka berucap lirih.
"Kembalilah ke sisiku. Aku dengan senang hati menerimamu." Raka berbicara sambil menatap Foto yang terpanjang disudut meja kerjanya.
Tak lama terdengar ketukan pintu yang membuat lamunan Raka bubar.
"Ada apa?" Saut Raka masih setia duduk di kursinya.
"Tuan besar menunggu Anda di ruang tamu Tuan Muda," ucap seorang asisten rumah tangga dari luar ruangan.
Tanpa menjawab ucapan sang asisten, Raka keluar kamar menemui orang tuanya. Di ruang tamu tampak Pak Wijaya ditemani sang Istri di sampingnya.
"Ada apa Pa?" Raka bertanya sambil mengambil posisi duduk ternyaman menurutnya.
"Menikahlah Raka. Papa tidak ingin kamu hanya memikirkan wanita itu," tegas Pak Wijaya.
Raka terdiam sejenak, dari mana Papanya tahu apa yang ia lakukan.
"Kau dengar Raka. Jangan kau pikir hanya karena kau bukan remaja lagi Papa melewatkan apa yang kamu lakukan."
"Apa tidak ada permintaan yang lain Pa. Aku belum siap untuk menikah saat ini," Raka meminta pengertian orang tuanya.
"Kau tau Papa tidak pernah menerima penolakan dari siapapun, termasuk Kamu." Ucap Pak Wijaya tegas.
Raka kembali terdiam, ia tahu betul bahwa permintaan Papanya adalah perintah baginya. Namun jika untuk menikah rasanya ia benar-benar tidak siap. Raka melirik Mamanya meminta pembelaan. Namun, Bu Rena memilih diam. Ia tak mampu melawan keinginan Suaminya. Apapun keputusan Suaminya tidak bisa di ganggu gugat.
"Aku belum memiliki kekasih Pa. Dan juga tidak mungkin aku tiba-tiba mengajak wanita yang belum kukenal untuk menikah secepat itu." Raka kembali berdalih memohon agar Papanya mengehentikan keinginannya.
"Papa sudah menyiapkan Calon Istri yang baik untukmu. Dia anak teman Papa, Kamu cukup fokus saja dengan pekerjaanmu." Pak Wijaya tetap kekeh dengan keinginannya.
"Bagaimana jika Wanita itu menolak? Kami tidak saling mengenal. Bagaimana bisa menjalin rumah tangga Pa?" Raka sedikit geli mengucapkan kata-katanya.
"Wanita itu tidak akan mampu menolak keinginan Ayahnya. Kamu tenang saja! Perkara saling mengenal atau tidaknya nanti juga akan terbiasa." Raka semakin bingung harus menjawab apa lagi untuk menghentikan keinginan Papanya.
"Benar Nak, Papa dan Mama sebelum menikah juga tidak saling mengenal. Ketika kalian sudah menikah maka dengan sendirinya akan saling memahami." Mamanya mencoba memberikan nasihat kepada Putranya.
"Tapi Ma, tidak semua orang mampu seperti Papa dan Mama kan. Begitupun Aku, Aku masih ingin menikmati masa muda ku Ma." Nasihat Mamanya tak cukup membuat Raka menerima keinginan Papanya dengan mudah.
"Jadi kamu akan terus menanti wanita itu Raka. Apa perlu Papa mencabut semua fasilitas yang Papa berikan." Pak Wijaya mulai terlihat amarah.
"Jika kamu tetap menolak tinggalkan rumah dan jangan pernah kembali," sambungnya kemudian.
Kesabarannya habis melihat anaknya tetap saja mencari celah untuk menolak keinginannya.
Mendengar ancaman Papanya Raka semakin tidak mampu berkata-kata. Menerima keinginan Papanya adalah jalan satu-satunya. Bukan hanya masalah fasilitas yang ia pikirkan, namun jika harus meninggalkan rumah ia tidak mampu.
Raka begitu mencintai kedua orang tuanya. Terutama Mamanya. Ia tidak ingin mendapat predikat durhaka karena menolak perjodohan. Biarlah semua terjadi sebagaimana keinginan Papanya. Perkara perasaan itu menjadi tanggung jawabnya.
Ia tidak mungkin menggantikan sosok Kinan dalam hatinya dalam waktu cepat. Untuk sementara dihatinya hanya Kinan seorang, tak perduli seberapa Kinan telah menyakitinya Raka tetap saja mengharapkan kehadiran Wanita itu kembali dalam hidupnya.
*****
Di tempat lain Jelita tengah asik dengan ponsel kesayangannya. Namun bukan melakukan pencarian konyol seperti beberapa waktu lalu.
Jelita beberapa kali tersenyum seraya menghentakkan kakinya berulang kali bahkan berteriak ketika melihat adegan romantis dari drama korea yang ia tonton sejak sore hari.
"Kapan gue ngerasain beginian. Lari-lari berdua di tengah hujan sambil pegangan tangan sama cowok cakep." Jelita berucap gemas ketika episode drama yang ia tonton berakhir.
"Iya, gak lama kemudian samber gledek. Wafat lo!!" Randy yang tiba-tiba sudah berada di depannya membuat Jelita terkejut. Entah sejak kapan dia masuk ke kamarnya.
"Sialan. Sejak kapan lo masuk?" Jelita menahan rasa malu di depan Adiknya.
"Sejak lo teriak sambil kejang-kejang. Gue pikir lo kesurupan makanya gue masuk."
"Emang kedengeran ya. Perasaan gue gak teriak segede itu deh." Pura-pura tidak menyadari tingkahnya.
"Pintu kamarnya nggak ditutup Wak, lagian lo pikir rumah ini segede apa sampe teriakan lo ga bisa didenger." Jelita menjawab "O" dengan jari telunjuk dan jempol yang ia buat lingkaran.
"Tadi gue denger lo di ghibahin Ibu sama Ayah," Randy sedikit mengecilkan volume suaranya, sembari mendekatkan jaraknya kepada Kakaknya.
"Lah terus lo mau balik ghibahin mereka sama gue gitu? Ogah!" Jelita menoyor kepala Adiknya.
"Lo nggak penasaran mereka bilang apaan. Nih ya gue kasih tau, tadi gue denger dikit sih." Randy menahan ucapannya menunggu respon Jelita.
"Kasih tau aja langsung kenapa sih." Jelita terlihat tidak sabar. Randy tersenyum usil. Jelita paham senyuman Adiknya.
"Gue belum gajian Randy. Udah buruan kasih tau, ntar gajian deh." Jelita mencoba membujuk Adiknya.
"Tadinya prinsip gue ada berita ada uang. Tapi berhubung lo masih miskin jadi gue kasih tau. Kayaknya sih lo mau dijodohin sama mereka." Randy mengucapkan kalimat akhirnya dengan serius.
"Serius lo, sayangnya gue nggak percaya maaf ya." Ucapan Randy ia anggap sebagai omong kosong belaka.
"Ya udah kalo nggak percaya, liat aja besok. Kalo mereka ngajak lo ngomong serius seenggaknya lo udah dapat kisi-kisinya dari gue. Jadi nggak terlalu kaget. Ntar pingsan lo." Ucap Randy seraya meninggalkan kamar Jelita.
Seperginya Randy dari kamarnya. Jelita terdiam beberapa saat. Bagaimana jika hal itu benar adanya. Alasan apa yang akan ia siapkan untuk menolak keinginan mereka.
Bagaimana jika keputusan mereka harus ia terima. Siapakah calon Suaminya. Apakah ia mengenalnya. Bagaimana jika ia tidak menerima Jelita. Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul dikepalanya.
"Huft, hancur impian gue buat pacaran ala-ala Drakor kalo yang dibilang Randy barusan bener." Seraya mengingat adegan favoritnya.
"Ngapain gue pusing sekarang sih. Mending gue tidur. Percaya ucapan Randy sama aja musyrik," ucap jelita dan memilih tidur.
Menyiapkan tenaga untuk esok lebih penting menurutnya. Dia tidak ingin bangun kesiangan untuk kesekian kalinya. Setidaknya meminimalisir adanya masalah baru agar dia tidak di pecat dari pekerjaannya.
TBC 🌻
Randy tu lemes ya ternyata.
Salah jenis kelamin ini mah.
Seru bnget
btw tgl yg author sematkan itu tgl kelahiran anak aku 🥰