Menjadi anak haram bukanlah kemauan Melia, jika dia bisa memilih takdir, mungkin akan lebih memilih hidup dalam keluarga yang utuh tanpa masalah.
Melia Zain, karena kebaikan hatinya menolong seseorang di satu malam membuat dirinya kehilangan kesucian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 7
Kevin merogoh ponselnya setelah masuk ke dalam mobil, kembali ia menghubungi Melia.
"Apa kau benar-benar butuh uang?" tanya Kevin lagi.
"Iya," jawab Melia di seberang sana. Tak ingin membuat Kevin menilai buruk dirinya, Melia pun menjelaskan pelan-pelan alasan kenapa ia perlu banyak uang dan terus menagih kepada Kevin. Melia mengatakan jika dirinya butuh banyak uang untuk operasi tlanpatansi ginjal ibunya.
"Maaf, aku terus mendesakmu karena aku memang benar-benar membutuhkan banyak uang." Mendengar penuturan Melia, Kevin menyadari jika dirinya telah salah paham, ia telah salah menilai. Meski begitu, tak mudah bagi Kevin untuk mempercayai perkataan Melia.
"Oh, ya selain nama istri CEO. Aku tidak ingin yang lain, aku bisa menghidupi diriku sendiri dengan uang yang aku dapatkan." tutur Melia.
Kevin mengusap wajahnya, ia sangat kesal dengan penuturan Melia, "Sebaiknya, kamu tepati ucapanmu itu!" jawab Kevin hingga berhasil memancing emosi di diri Melia.
"Apa maksudmu, apa kamu pikir aku tidak bisa menepati ucapanku seperti dirimu," balas Melia.
Kevin kesal, "Tentu, kamu hanya memikirkan uang dan uang."
"Memang harus apa? Dirimu, Ck
Kamu itu sudah tua dan jelek." Melia tak kalah emosi.
Mendengar ucapan Melia, Kevin sangat marah. Terlebih gadis itu terang-terangan bilang jika dirinya tua dan jelek, Kevin tidak terima dan langsung menutup telepon.
"Wanita menyebalkan, kita lihat nanti." gerutu Kevin lalu menyalakan mobilnya dan pergi meninggalkan jalan depan rumah Melia.
Sial.
Kevin menggeram kesal, ia sangat marah saat Melia mengatai jika dirinya tua dan jelek.
"Ck, tampan seperti ini dia bilang tua dan jelek, dia apa gak lihat wajahku secara detail." gumam Kevin mengusap dagunya sembari memperhatikan wajahnya sebentar.
Di rumah sakit, Melia menggerutu saat Kevin seolah tak mempercayai ucapanya. Melia kesal saat Kevin mengatainya mata duitan.
"Mel, ada apa?" tanya Sintia yang merasa sikap putrinya hari ini sangat aneh, emosi naik turun kadang-kadang melamun.
"Tidak apa, bu. Istirahatlah, Mel akan disini menjaga ibu." Meski banyak fikiran, Melia berusaha menenangkan ibunya agar kejadian pingsan karena tekanan tak terulang lagi.
"Bilang sama ibu, Mel."
"Benar, bu. Melia tidak memikirkan apa-apa, ibu tenang saja dan istirahat." bujuk Melia.
Sementara Kevin, ia akhirnya memutuskan menemui Alan di apartemennya.
Alan yang baru saja selesai mandi karena pulang dari kantor membuka pintu saat bell apartemen berbunyi.
"Ke-kevin," Alan terkejut saat Kevin dengan ekspresi datar menerobos masuk ke dalam rumah.
"Ada apa?" tanya Alan yang bingung lantaran tiba-tiba Kevin, CEO sekaligus sahabatnya mengunjungi apartemen sederhana miliknya.
Alan mengikuti langkah Kevin yang saat ini sudah sampai di ruang tamu dan duduk di sana.
"Ada apa? Kau tidak berencana memaksaku pindah ke tempat yang lebih mewah kan?" Alan memicingkan mata, mereka memang bersahabat sejak lama tapi teruntuk kehidupan, Alan memang memilih menjadi sosok sederhana.
Sementara Kevin yang sedari lahir sudah bergelimang harta, punya kekuasaan dan kemewahan kerap kali meminta agar sahabatnya Alan itu pindah ke tempat yang lebih baik, bahkan Kevin sendiri yang ingin membelikan apartemen untuk Alan, tapi justru Alan-lah yang menolak mentah-mentah.
"Buatkan aku minum, aku ini tamu." Kevin melipat tangan di dada, sementara Alan hanya menggeleng pelan lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman kaleng yang ada di dalam kulkas.
"Hanya ada ini, jangan protes." Alan meletakkan dua buah kaleng minuman dan beberapa camilan di atas meja.
Namun, bukan sebuah protes kali ini, Kevin justru menerima.
"Setelah aku fikir-fikir, aku tidak punya alasan memaksamu pindah meskipun aku bisa saja merobohkan tempat ini. Aku sadar, yang di butuhkan untuk tinggal itu tempat yang nyaman bukan mewah."
Mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Kevin barusan, membuat Alan reflek mengecek dahi Kevin guna memastikan jika tidak ada hal yang perlu di khawatirkan.
"Kau, tidak habis kepentok pintu atau tembok kan?" tanya Alan, yang terkesan sangat membagongkan.
"Tidak, hanya saja..." Kevin terdiam, sejak malam itu ia memang tak lagi begitu perduli kemewahan, bahkan ranjang sederhana milik Melia mampu membuatnya terlelap sangat nyaman.
Tiba-tiba ia merasa kesal, dan melempar wajah Alan dengan bantal kecil yang ada di sofa.
Sial.
"Hey hey kenapa kau melemparku?" protes Alan.
Kevin menaik turunkan alis, "Ada larangan, aku bisa melakukan apapun yang aku mau."
Astaga, baru saja Alan hendak memuji jikalau sahabatnya itu sudah berubah dan kini baru beberapa menit sudah kembali menjadi orang berkuasa yang menyebalkan.
"Aku ada tugas untukmu," ucap Kevin tiba-tiba, Kevin Reyhan Louis bagaimanapun dia bisa melakukan segala hal yang ia mau hanya dengan berkata.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Alan penasaran.
"Hubungi dokter dan urus persiapan operasi untuk ibunya Melia."
Kau berencana membantunya?" tanya Alan, Kevin pun mengangguk.
Meskipun sebenarnya dalam hati Kevin sangat marah saat Melia mengatainya tua dan jelek.
"Baik, itu hal mudah. Aku akan mempersiapkannya." ucap Alan tuk kemudian masuk ke dalam kamar mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Alan lalu menghubungi orang kepercayaannya untuk melaksanakan perintah dari Kevin.
"Sudah, apa kau berniat menikahinya juga?" tanya Alan tiba-tiba, Kevin menanggapi dengan mengangguk. Namun, raut kecewa jelas nampak di wajahnya.
"Mungkin," jawab Kevin yang terdengar ambigu.
***
Di sebuah rumah sakit, Melia yang sedang menjaga ibunya tersentak oleh kehadiran seseorang dan sekelompok dokter. Orang itu memperkenalkan diri sebagai kepala rumah sakit. Sekelompok dokter memberikan fasilitas kamar VIP yang sangat mewah dan mengatakan jika akan secepatnya mencari pendonor ginjal untuk ibunya. Bahkan wakil kepala rumah sakit sendiri yang akan membantu operasi tlansplatasi ginjal ibunya langsung.
Melia tersenyum lega, dalam hati merasa jikalau Kevin telah membantunya.
"Dia benar-benar bisa melakukan segalanya," batin Melia yang merasa Kevin adalah orang yang berkuasa.
Melia memandangi ibunya yang terlelap, Hya Sintia masih tertidur saat mereka pindah ke ruangan yang lebih mewah. Melia takjub, memandangi sekeliling ruangan yang saat ini menjadi kamar rawat baru ibunya.
"Semoga, Ibu benar-benar bisa sembuh, selain ibu tidak ada orang yang paling berharga dalam hidupku!" gumam Melia.
"Sudah beres, selesai dalam sepuluh menit," ucap Alan yang merasa tugasnya selesai dalam waktu yang sangat singkat. Meski Alan sendiri menyuruh bawahannya, bukan turun tangan sendiri.
"Kerja bagus, kau mau apa bonus bulan ini?" tanya Kevin menaik turunkan alisnya.
"Hmm, sudahlah tidak perlu. Kau terlalu royal, Kev! Aku rasa itu bukan hal yang sulit, jadi aku tidak minta apa-apa." Alan terkekeh, ia bukan tidak mau menerima hanya saja Kevin selama ini terlalu baik dengannya.
"Aku memesan makanan, sebentar lagi akan datang!" ucap Alan.
"Baik, aku akan makan malam disini."
menikah Dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan Mampir
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir