Terbelenggu dalam pernikahan yang tidak diinginkan, mampukah pernikahan itu bertahan?
Bagaimana bila yang selalu berjuang justru menyerah saat keduanya sudah disatukan dalam ikatan suci pernikahan?
“Cinta kita seperti garis lurus. Bukan segitiga atau bahkan persegi. Aku mencintai kamu, kamu mencintai dia dan dia mencintai orang lain. Lurus kan?” ucap Yuki dengan tatapan nanar, air mata yang mulai merembes tertahan di pelupuk mata. “Akan lucu dan baru menjadi bangun datar segi empat bila sosok yang mencintai aku nyatanya dicintai orang yang kamu cintai.”
“Di kisah ini tidak ada aku, hanya kamu dan kita. Bukankah kita berarti aku dan kamu? Tapi mengapa kisah kita berbeda?” Ucapan lewat suara bergetar Yuki mampu menohok lawan bicaranya, membungkam bibir yang tiba-tiba beku dengan lidah yang kelu.
Ini adalah cerita klise antara pejuang dan penolak hadirnya cinta.
*
*
*
SPIN OFF Aara Bukan Lara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perselingkuhan Abad Ini
Menatap lekat langkah seorang gadis yang mendekat, Dimas mencari sosok lain yang mungkin bersembunyi di balik punggung Yuki. Memperhatikan ke kiri dan kanan dengan merendahkan badan, sungguh pikiran Dimas tidak masuk akal bila mengira Ara bisa terlindung sempurna oleh tubuh Yuki.
Dimas Zuwitd (Kang Yu Chan)
Jangan pula merasa janggal pada keyakinan Dimas bahwa sosok yang ditatap masih seorang gadis. Awalnya memang Dimas sempat menggoda dan mengucapkan selamat kepada Yuki yang dikiranya sudah terlebih dahulu ‘dewasa’. Namun bayangannya lenyap dan kosong seketika saat mendapati fakta mencengangkan lewat perdebatan rumah tangga yang ia saksikan secara langsung.
“Ara mana?” Tanya Dimas heran saat tidak mendapati Ara bersama Yuki. Seharusnya mereka bertiga menikmati kesegaran angin alami di bawah pohon rindang.
Tidak sekedar duduk santai di akar pohon yang besar, tapi duduk serius di kursi menghadap meja dengan laptop menyala. Menanti pergantian jam mata kuliah yang seharusnya bisa dihabiskan untuk menikmati semangkuk mie ayam pangsit.
Bersiap pada mata kuliah terakhir yang mungkin akan mencekik, Dimas sudah bergumam merangkai kalimat. Tugas presentasi yang dipilih secara acak bagai momok menakutkan, bisa jadi baik Ara, Yuki atau bahkan Dimas mendapat giliran saat itu juga.
“Bucin.” Jawab Yuki singkat sambil meletakkan tas nya ke atas meja.
“Lagi?” Membelalakkan matanya, Dimas bertanya seakan tidak percaya.
“Iya. Pak Rava datang bawa es buah katanya.” Tutur Yuki sembari menekan tombol power on, sedetik kemudian tampak layar laptop miliknya mulai bercahaya dengan tampilan warna biru.
“Astaga itu anak.. Bener-bener nyusahin aja.”
“Bukan salah Ara, tapi Pak Rava yang kelewat bucin.”
“Besok-besok Pak Rava suruh ganti profesi jadi kurir makanan aja deh. Udah berapa kali coba bela-belain ke kampus cuma buat kasih Ara makan? Kayak di sini gak ada kantin aja.” Cerocos Dimas panjang lebar seolah dirinya yang direpotkan oleh Ara.
Menjadi Dimas yang hanya melihat dan mendengar perlakuan Rava pada Ara saja sudah cukup lelah, ia tidak bisa membayangkan bila harus berganti tubuh dengan Rava meski hanya satu hari saja. Bahkan Dimas cukup gemas pada pacar teman dekatnya itu yang tidak ada jenuhnya terus menyuplai makanan. Pantas saja kini Ara tampak lebih berisi, begitu pikir Dimas.
“Memang kamu berani bilang gitu ke Pak Rava?”
“Berani lah.. Kalau keceplosan sih.” Ucap Dimas dengan cengiran khas yang sok malu-malu yang langsung Yuki abaikan.
“Gimana pernikahan mu?” Tanya Dimas tiba-tiba dengan lirih, ia berhati-hati pada ucapannya. Berusaha agar tidak terdengar orang lain yang berada di sekitar mereka berdua, serta menjaga perasaan Yuki yang mungkin sakit tersentil.
“Baik.”
“Baik rusuhnya atau baik tempurnya?” Sindiran halus mengesalkan membuat Yuki melotot tidak suka.
Menyesal dirinya kecolongan Dimas yang tidak sengaja mencuri dengar perdebatan rumah tangganya. Rupanya Dimas tetap akan menjadi Dimas yang ceplas-ceplos dan jahil dengan ucapan tajam nan pedasnya.
Bugh.
“Bibir mu!!” Kembali melotot kesal, Yuki menghadiahi bogeman pada Dimas.
“Hah..!! Suka benar aja, Dim.” Hembusan nafas kasar putus asa membenarkan sindiran Dimas. Percuma ditutupi bila telinga dan mata Dimas sudah menjadi saksi nyata.
“Sabar lah.” Ucap Dimas sambil membagi 2 bagian roti isi srikaya seharga 2 ribuan. Otak nya terasa berat mempertimbangkan niat baiknya membagi roti itu dengan Yuki. Dasar Dimas!
“Memang harus sabar.” Ucap Yuki disertai kernyitan heran, menerima uluran separuh roti dari tangan Dimas. Benar-benar fenomena yang cukup langka mendapati Dimas rela membagi dirinya roti itu. Sekali lagi, bukan karena Dimas pelit, namun selai srikaya adalah favoritnya.
“Lagian kenapa kamu mau nikah sama dia? Aku pikir di saat kamu cerita mau nyerah itu ya udah move on. Tau-taunya malah kasih undangan nikah.” Tanya Dimas dengan mulut penuh, tanpa menggigit sedikit demi sedikit Dimas langsung melahap habis roti bagiannya.
“Gak tau deh, pokoknya ngeselin!” Ucap Yuki ketus, menggigit kasar dan mengunyah rakus, menumpahkan kekesalan lewat gigi yang sudah bergemeretak tidak karuan.
“Awas rontok itu gigi dipakai gilas bar-bar kayak gitu!” Ucap Dimas sambil bergidik ngeri mendengar bunyi gigi Yuki yang saling beradu.
“Cerita, Ki. Kali aja bisa mengurangi beban mu yang sekarang kamu pikul.” Lanjut Dimas berujar dalam suara rendah yang sok bijak, namun sebenarnya sangat tulus.
“Tumben baik banget, ada apa?” Bukannya senang diperhatikan oleh Dimas, Yuki justru semakin merasa aneh.
Bukankah seharusnya mereka saling melempar kata-kata pedas seperti biasanya hingga membuat Ara jengah? Atau karena Ara tidak berada di antara mereka jadi secara sadar menunda pertempuran? Entahlah, yang jelas Yuki dan Dimas seolah berada pada kubu yang sama.
“Dijahatin salah, dibaikin juga salah!!” Gerutu Dimas sambil mencebikan bibirnya.
“Aneh banget tau kalau kamu tiba-tiba jadi baik.” Terkekeh Yuki berujar sembari menggelengkan kepala, menopang sebelah pipinya dengan tangan kiri.
“Heuhh..!!” Mengembuskan nafas mencari kelegaan yang seakan terhadang di dada, Dimas menarik lurus sudut bibirnya. Pupil mata yang seakan terbalik ke atas tidak membuat wajah Dimas mengerikan, namun menggelikan.
“Udah gak usah masang muka jelek gitu.” Ucap Yuki sambil menepuk pelan pipi Dimas. Pastinya bukan tepukan gemas, melainkan tepukan terniat yang biasanya meninggalkan tatto estetik nyamuk gepeng.
“Kayaknya sebentar lagi muncul headline berita perselingkuhan abad ini.” Celetuk Dimas lirih sambil memanyunkan bibir bawahnya.
“Maksud mu?” Menghentikan gerakan hendak menepuk pipi Dimas untuk kesekian kalinya, tangan Yuki yang terangkat terhenti di udara.
“Arah jam 9, intip aja sedikit dari pantulan ponsel. Di sana ada biang gosip lagi bisik-bisik tetangga, mereka pasti tau kamu udah nikah tapi kita masih dekat-dekat kayak gini.” Tanpa menatap Yuki, Dimas berujar lebih lirih lagi bak agen mata-mata dunia.
“Halah mereka toh..! Gak gosip gak hidup, biarin aja!!” Ucap Yuki nyaring dan melengking, sengaja menyindir pada geng ghibah fenomenal. Terkenal penyebar gosip handal yang belum tentu kebenarannya, namun yang membuat fenomenal adalah wajah bening dan glowing. Sungguh sangat disayangkan bibir mereka terlalu lemas membicarakan keburukan orang lain yang belum tentu kebenarannya.
“Hush!! Disuruh intip diam-diam malah itu bibir kayak terompet tahun baru aja!”
“Suka-suka aku..” Menjulurkan lidahnya, Yuki menggoyangkan bahu girang dan acuh. Ia tidak perduli jika harus digunjing seantero kampus, karena Yuki sudah kenyang dengan cara main geng ghibah itu. Berpengalaman dari kasus Ara yang akhirnya meluap tidak masuk akal, Yuki yang juga ahli sebagai pusat informasi ghibah tentu merasa lebih senior dan kebal.
“Kalian gak jadi makan?”
“Nah ini yang habis ngebucin akhirnya datang.” Celetuk Dimas nyaring bersamaan dengan pertanyaan Ara, terucap tepat disaat langkah Ara sudah terhenti di hadapan Yuki dan Dimas.
“Udah ini.” Ucap Dimas sembari mengedikan dagunya sekilas. Sebuah kode umum saat mager melanda.
“Kamu gak makan, Ki?” Tanya Ara lagi, namun kali ini tatapannya terfokus pada Yuki.
“Makan.” Jawab Yuki singkat, raut wajahnya mulai berubah seakan menahan suatu gejolak.
“Makan apaan?” Sekali lagi pertanyaan Ara terucap dengan suara menuntut.
“Ini.” Menggeser bungkus roti yang sudah tidak berisi, Yuki berdehem singkat.
Mengernyitkan dahi, Ara menatap sampah plastik transparan dari kemasan roti isi dengan corak berwarna hijau yang dominan. “Ini bukan punya Dimas?”
“Punya aku lah, siapa lagi diantara kita yang doyan bawa roti isi srikaya kalau bukan aku?”
“Tumben kamu mau bagi-bagi, sehat kan?” Tanya Ara disertai senyum mengejek.
“Wah parah, pasti mau bilang aku sakit atau gak waras kan? Ngaku!” Menyipitkan matanya, Dimas menunjuk Ara dengan sorot mata ditajamkan.
“Biasa juga kamu gak mau bagi-bagi kalau roti isi selai srikaya.” Berkata dengan santai, Ara mengedikan bahunya acuh.
“Kan biasanya kita bertiga, kalau dibagi sepertiga bagian mana sanggup buat ganjal lambung ku yang udah terlanjur melar.” Jelas Dimas penuh pembelaan.
...****************...
*
*
*
Gosip-gosip.. Biang gosip di mana-mana.
Ayo kita gosip juga, kira-kira yang kemarin nebak Keven masih yakin suami Yuki itu Keven?🤔
Atau yang akhirnya nebak Saka yang jadi suami Yuki itu yakin juga?🤭
Tapi intinya kita sama-sama yakin kalau Dimas ganteng tapi juga imut, iya gak?😆