Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Kembali ke masa Kini.
Pagi ini udara kampung Pesisir terasa dingin sedingin hati gadis kecil yang saat ini merasa kosong, sesekali matanya menatap nanar ruangan di mana sang ibu selalu duduk di lantai dengan kaki yang terikat.
Sekarang ruangan itu kosong, dan hampa, meninggalkan jejak yang mungkin tidak mudah untuk terlupakan begitu saja oleh hari dan pikiran.
Sejenak langkah kecil itu mulai berada di dapur, di sini semua bahan perlengkapan sudah dipenuhi oleh pemerintah desa setempat, sehingga memudahkan Dona untuk memasak memenuhi perutnya yang terasa lapar.
Tangan kecil itu seolah sudah terlatih, tanpa merasa kesusahan ia menanak nasi diatas bara api, dan di tungku sebelahnya ia mencoba untuk menggoreng telur, dengan bumbu seadanya.
Setengah jam kemudian, nasi sudah tanak, meskipun hanya ditemani telor ceplok gadis kecil itu makan dengan pikiran yang masih terbayang dengan sang ibu.
"Kira-kira di sana Ibu bisa makan lahap gak ya?" ucapnya setelah sesuap nasi ia telan.
"Tuhan, jangan jahat ya sama Ibu, di sini Ibu sudah menderita, semoga di rumah sakit Ibu dapat suster yang baik," ucapnya penuh harap.
Anak sekecil itu harus dipaksa dewasa oleh keadaan, bukan karena ia tidak punya keluarga, tapi mereka semua seolah menutup mata dan telinganya.
Selesai menikmati sarapan yang seadanya, hari libur seperti ini Dona mencoba keluar rumah untuk memperoleh keberuntungannya ke warung ikan bakar, yang membolehkan ia berjualan keliling pantai.
"Nek, Risma ....," sapa Dona dengan senyum hangat.
"Hey Nak ... sudah lima hari ini kamu gak jualan," ujar Nek Risma.
"Iya Nek, Ibu kambuh, jadi gak bisa ditinggal lama-lama," kata anak itu sedikit menunduk.
"Ya Allah, sekarang keadaan ibumu gimana?" tanya Nek Risma.
"Ibu sudah di bawa ke rumah sakit jiwa," sahut Dona seharusnya hampir tenggelam diantara angin laut yang sedikit kencang.
Nek Risma mengelus dadanya, membayangkan kenyataan yang menampar anak kecil itu. "Sabar ya Nak, semoga ibumu cepat sembuh," ujar Nek Risma.
Anak itu hanya mengangguk lalu mulai memasukkan beberapa tusuk ikan bakar kedalam keranjang yang ingin ia jajakan ke pantai.
Dona memanggul keranjang kecil berisi beberapa tusuk ikan bakar titipan warung. Langkah kakinya ringan meski tubuhnya letih. Angin laut pagi menyibakkan rambut kusutnya, membuat pipinya yang tirus terasa dingin. Ia berjalan menyusuri bibir pantai, mendekati tempat biasanya para wisatawan lokal singgah atau para nelayan menunggu perahu kembali.
“Ikan bakar… ikan bakar…” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh debur ombak.
Tak semua orang menoleh. Sebagian hanya melirik lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing, namun Dona tak berkecil hati. Ia sudah terbiasa menghadapi para wisatawan yang hanya melihat tanpa memberi.
Semangatnya tidak mengikis meskipun langkahnya tidak diperhitungkan, ia tetap menjajakan dagangannya itu. "Bu ... ikan bakarnya, mumpung masih hangat," ucapnya kepada kumpulan keluarga yang sedang duduk diatas tikar pasir pantai.
"Maaf tidak beli, sudah bawa bekal sendiri," sahut ibu itu, Dona mengangguk dengan tulus seolah tahu belum rejekinya.
Dona masih terus meneruskan langkahnya meskipun nafasnya sedikit ngos-ngosan berjalan ke setiap segerombolan pengunjung namun masih belum ada satu pun yang melirik jualannya.
"Hari ini sedikit sulit, mungkin karena Dona libur terlalu lama ya," gumam anak itu sedikit menghempaskan nafasnya.
Di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di dekat dermaga kecil. Seorang lelaki turun mengenakan kemeja rapi, sepatu mengilap yang kontras dengan pasir basah di sekitarnya. Lelaki itu menatap laut lama, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Dialah Regi.
Kepulangannya ke kampung pesisir ini murni urusan bisnis, mengecek lokasi pembangunan gudang pendingin hasil laut yang akan dikelola perusahaannya. Setelah pertemuan singkat dengan para nelayan perwakilan desa, Regi memilih berjalan sendirian menyusuri pantai, membiarkan pikirannya berkelana.
Ia berhenti mendadak saat mendengar suara kecil memecah angin pagi.
“Ikan bakar… ikan bakar…”
Regi menoleh.
Ia melihat seorang anak perempuan berdiri beberapa meter darinya. Tubuh mungil, pakaian lusuh, wajah sedikit kotor, mata besar yang tampak lelah namun jernih.
Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya menghangat sekaligus sesak.
“Kamu jualan sendiri?” tanya Regi tanpa sadar.
Dona menatapnya waspada sebentar, lalu mengangguk. “Iya, Om.”
“Di mana orang tuamu?”
Jawaban itu terdiam sejenak di bibir Dona.
“Ibu aku lagi dirawat… di rumah sakit,” jawabnya pelan.
Setelah itu ia menunduk, seolah takut jika terlalu lama bicara tentang ibunya , air matanya akan jatuh.
Regi tercekat. Ada sesuatu di cara anak itu bicara, cara menunduk, cara menghindari mata lawan bicara, yang terasa begitu… akrab, memory itu seolah tidak bisa pergi dari ingatannya.
“Kamu jual berapa satu tusuk?”
“Sepuluh ribu, Om.”
Tanpa berpikir panjang Regi mengambil lima tusuk ikan sekaligus.
“Banyak amat, Om,” spontan Dona terkesiap.
“Aku lapar,” jawab Regi terkekeh kecil, lalu menyerahkan uang. “Ini untuk mu ambil saja.”
Dona mematung. “Aku nggak boleh ambil lebih.”
Regi terdiam. “Kamu pintar sekali… buat anak sekecil itu,” gumamnya lirih.
Dona tersenyum tipis, senyum kecil yang lebih mirip usaha untuk terlihat kuat dibanding bahagia.
Regi memperhatikannya semakin lama, bentuk mata itu, garis wajah yang teduh dan anggun meskipun tanpa polesan, bahkan bocah ini terlihat dekil dan kumel, tapi tidak menutupi kecantikannya, wajah gadis ini begitu familiar sehingga membuat jantungnya berdetak tak nyaman.
“Namamu siapa?” tanyanya pelan.
“Dona.”
Seketika, seperti ada batu besar yang jatuh menghantam dada Regi.
“N… nama lengkap?”
“Dona Ardina,” jawabnya datar.
Nama itu membuat napas Regi terasa tercekat, namun ia menahan diri agar tetap tenang.
"Ar ... Ardina itu siapa?"
"Dia ibukku Om," sahut Dona.
Deg!!
Regi menelan ludah keras. Dunia seakan meredam semua suara di sekelilingnya. Laut, ombak, suara desir angin seolah hilang dari pendengarannya, ia menatap wajah Dona semakin teliti.
Alis itu ... hidung itu ... sorot mata itu ... Membuat kepingan masalalunya hadir satu persatu, suaranya cara dia berbicara semuanya mirip.
“Om… kalau nggak jadi beli semua, bisa aku jual ke orang lain lagi ya?” tanya Dona gugup.
Regi tersadar, segera menggeleng. “Enggak. Aku tetap ambil semuanya.”
Ia merogoh dompet lagi, ingin memberikan lebih, tapi tangannya berhenti.
Ia takut. Takut jika Dona menolak lagi.
Takut jika ia belum siap membuka kenyataan, jika anak perempuan di hadapannya itu merupakan benih yang tidak pernah ia inginkan dulu.
Dona menyerahkan seluruh ikan bakar itu lalu mengangguk sopan. “Makasih ya, Om.”
Ia hendak pergi, tapi suara Regi mencegahnya.
“Don… tunggu,” cegah Regi refleks.
Dona menoleh, polos.
Regi terdiam beberapa detik, mencari kata yang aman untuk diucapkan tanpa mengguncang dunia kecil anak ini.
“Kamu… sering jualan di sini?”
“Iya, tiap pagi, kalau hari libur, kalau sekolah bisa siang hari, kadang kalau pengunjung sepi memilih gak jualan," sahut anak itu.
“Hati-hati ya… di luar nggak selalu aman.”
“Iya, Om.” Dona tersenyum kecil lagi. “Aku sudah biasa.”
Kata itu kembali menusuk, seakan gadis kecil itu sudah biasa dengan kerasnya hidup yang dialaminya.
Regi hanya mampu mengangguk, membiarkan Dona berlari kecil menjauh menyusuri pantai.
Ia berdiri terpaku menatap punggung kecil itu sampai menghilang di balik perahu nelayan. Dadanya berguncang hebat.
“Dona Ardina…” bisiknya.
“Tidak mungkin…”
Namun jauh di lubuk hatinya, sebuah kebenaran mulai menampakkan diri kebenaran yang selama ini ia hindari.
Tanpa ia sadari anak kecil itu adalah darah dagingnya, darah daging yang selama ini sengaja ia buat tiada dan tak terlihat.
Bersambung ....
Selamat siang semoga suka ya!
semangat Regi pasti bisa menjalaninya