NovelToon NovelToon
Sisa-Sisa Peradaban

Sisa-Sisa Peradaban

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Misteri / Zombie / Tamat
Popularitas:590
Nilai: 5
Nama Author: Awanbulan

“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Malam Sebelum Penjelajahan Berikutnya

Saya berbaring di sofa, menikmati rokok yang saya peroleh dari penjelajahan pertama saya.

Wah, rasanya begitu lezat tak tertahankan.

Perlahan, pikiran saya menjadi lebih jernih.

Setelah suasana hati tenang, saya mulai mempertimbangkan kembali situasi sekitar.

Nama kota tempat saya tinggal adalah Banyuwangi.

Sebuah kota regional dengan penduduk sedikit di atas 200.000 jiwa, menjadikannya kota terbesar kedua di Jawa Timur.

Letaknya hampir di tengah provinsi, dan terbagi menjadi wilayah utara serta wilayah selatan oleh aliran sungai besar.

Rumah saya berada di kawasan perumahan kecil, tepat di bagian paling utara wilayah selatan.

Jika menelusuri sisi lain tanggul yang tadi saya lewati dalam perjalanan menuju minimarket, akan terlihat tepi sungai dan sebuah taman kecil.

Transportasi kereta api di kota ini masih terbatas—hanya ada jalur yang menghubungkan ke Surabaya dan beberapa kota di selatan.

Itulah sebabnya kebanyakan penduduk mengandalkan mobil pribadi, bus, atau ojek.

Di sekitar rumah, ada empat minimarket yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, termasuk minimarket berseragam biru-putih yang saya kunjungi hari ini.

Selain itu, terdapat sebuah apotek dan sebuah pasar tradisional kecil.

Kalau dipikir-pikir, lingkungan ini cukup baik untuk bertahan hidup.

Hore untuk Banyuwangi.

Eh, tapi… apa ini benar-benar kota?

Kalau ada bus dan ojek yang berisik, bukankah itu memang kota?

Tiba-tiba, lampu padam.

“Wow.”

Semua jendela tertutup, membuat ruangan gelap gulita meskipun masih siang hari.

Aku meraba-raba dengan panik, mencari saklar, lalu menyalakan lampu meja.

Tidak ada respons.

“Ahh… listrik padam.”

Hari ini adalah hari keempat sejak pertemuan pertamaku dengan zombi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah pembangkit listrik bermasalah? Atau jaringan distribusinya putus?

Bagaimanapun, jelas sudah: listrik benar-benar terhenti.

Untung saja semua makanan mentah di kulkas sudah saya habiskan.

Jika tidak, mereka akan cepat membusuk.

Di kota, hal ini berarti makanan segar dan beku akan menjadi sia-sia dalam waktu singkat.

Saya menyalakan korek api, mengambil lilin dari meja sembahyang, lalu menyalakannya.

Cahaya kecil itu saya letakkan di atas sebuah piring.

“Pemadaman listrik terjadi lebih cepat dari yang kukira…” gumamku, menyalakan rokok kedua dari api lilin.

Selamat tinggal DVD.

Selamat tinggal konsol game.

Mulai sekarang, hanya ada buku yang bisa menemaniku dalam cahaya redup.

Dalam penjelajahan berikutnya, saya harus mulai mencari makanan yang diawetkan dan dikalengkan.

Sekolah, kantor pemerintah, dan rumah sakit kemungkinan menyimpan persediaan perlengkapan.

Dalam sembilan dari sepuluh kasus, tempat-tempat itu juga digunakan sebagai pusat evakuasi bagi para penyintas.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya belum berniat bergabung dengan mereka.

Masalahnya sederhana: saya merasa terlalu nyaman hidup sendirian.

Lagipula, apa jadinya kalau seorang pria lajang yang tampak sehat dan penuh tenaga seperti saya masuk ke tempat seperti itu?

Hampir bisa dipastikan saya akan “dipaksa” melakukan pekerjaan fisik yang membosankan atau dijadikan orang yang disuruh mencari perbekalan.

Lebih baik saya melakukannya sendiri.

Saya tidak suka ikut menanggung kesulitan untuk orang asing.

Kalau pun saya bergabung, saya sudah bisa membayangkan komentar mereka:

> “Kamu masih muda, jadi lakukanlah.”

“Kita harus saling membantu dalam segala hal.”

“Orang muda memang harus merasakan kesulitan, benar kan?”

Menjengkelkan.

Saya sering mendengar kalimat-kalimat itu saat masih bekerja.

Sekarang, dalam kondisi seperti ini, saya mendengarnya lebih sering lagi seakan menggema di kepala, sampai mati pun tak akan hilang.

Saya tidak ingin bekerja, bahkan ketika saya menganggur.

Itulah sebabnya saya lebih memilih menyendiri.

Alasannya sederhana: semakin sedikit orang, semakin sedikit makanan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

Tidak ada tanggung jawab yang tak perlu.

Kalaupun saya sakit dan akhirnya tak bisa bergerak, ya… pada akhirnya saya hanya akan kembali ke tanah. Sesederhana itu.

Tentu saja, sekalipun fasilitas evakuasi memiliki generator dan tidak perlu khawatir soal listrik, tetap saja ada hal-hal yang tidak menyenangkan…

...Tunggu sebentar. Generator pribadi?

Oh, benar juga. Itu ide bagus!

Saya pernah melihatnya dijual di toko peralatan rumah sebelumnya.

Kalau saya bisa mendapatkannya, listrik bisa kembali digunakan. DVD dan game pun bisa hidup lagi.

Selain itu, toko peralatan rumah juga seharusnya menjual barang-barang seperti pengisi daya tenaga surya untuk ponsel pintar.

Meskipun fungsi komunikasi sudah mati, saya tetap ingin bisa menggunakan aplikasi peta offline yang sudah saya instal.

Untungnya, saya masih punya kompor gas portabel di rumah.

Selama saya bisa mendapatkan bahan bakar gas, setidaknya masalah memasak tidak perlu dikhawatirkan.

Seharusnya ada persediaan makanan dan perlengkapan darurat yang disimpan di sana juga.

Selain itu, di dekatnya terdapat sebuah SPBU yang menjual minyak tanah dan bensin.

…Ya ampun. Toko peralatan rumah itu benar-benar tak terkalahkan.

Lengkap, berani, sekaligus menyelamatkan hidup.

Jika besok cerah, saya akan berangkat ke sana tanpa menunda lagi.

Toko peralatan rumah dengan logo burung itu mudah dikenali; cabangnya tersebar di seluruh kota.

Dari semua cabang, yang terbesar dan relatif dekat dengan rumah saya berada di wilayah utara, tepat di seberang sungai.

Perjalanan ke sana hanya memakan waktu sekitar 20 menit.

Dulu, saya sering pergi ke daerah itu untuk berbelanja keperluan kakek-nenek saya. Jadi, saya cukup mengenal lingkungannya.

Namun, jika mempertimbangkan jarak dan jumlah barang yang mungkin harus saya bawa pulang, berjalan kaki jelas bukan pilihan terbaik.

Untungnya, saya masih punya dua kendaraan di garasi.

Pertama, sebuah mobil penumpang biasa milik ayah saya.

Dan yang kedua… sebuah truk pengangkut ikan.

Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Api kecil dari lilin di atas piring terus bergoyang, menari-nari seolah mengejek kegelapan yang mengelilinginya. Asap rokok kedua sudah habis, meninggalkan aroma pahit yang bercampur dengan bau lilin. Suasana sunyi benar-benar menekan. Tidak ada suara televisi, tidak ada dengung kulkas, bahkan suara kendaraan pun semakin jarang lewat. Seolah-olah seluruh Banyuwangi ikut berhenti bernapas.

Di satu sisi, saya merasa lega. Sendirian seperti ini artinya tak ada yang bisa menyuruh, menuntut, atau mengeluh di depan saya. Semua keputusan ada di tangan saya. Tapi di sisi lain, kesunyian ini juga seperti lubang hitam yang perlahan menarik saya ke dalam. Kesendirian memang memberi kebebasan, tapi kebebasan tanpa batas juga bisa berubah menjadi penjara yang tak kasat mata.

Besok, jika cuaca cerah, saya akan pergi ke toko peralatan rumah itu. Rasanya tempat itu seperti surga kecil di tengah neraka yang semakin liar. Generator, makanan kaleng, bahkan bensin semua yang saya butuhkan untuk bertahan hidup ada di sana. Saya sudah memutuskan. Jalan kaki tidak mungkin, terlalu jauh dan terlalu berisiko. Jadi, salah satu dari dua kendaraan di garasi harus saya pakai. Mobil penumpang ayah yang biasa… atau truk pengangkut ikan.

Mobil penumpang lebih praktis, lebih cepat, dan tidak mencolok. Tapi kapasitasnya terbatas, dan siapa tahu berapa banyak barang yang bisa saya temukan nanti. Sedangkan truk pengangkut ikan… ukurannya besar, bisa membawa banyak barang sekaligus, tapi justru itu masalahnya. Truk sebesar itu akan jadi pusat perhatian. Di jalan yang sunyi, suara mesinnya bisa terdengar jauh. Jika zombi tertarik pada suara, saya sama saja memberi undangan terbuka: “Ayo kemari, makan aku.”

Pilihannya tidak mudah. Namun pada akhirnya, hidup memang selalu menuntut pertukaran. Nyaman tapi sedikit, atau berisiko tapi banyak.

Saya mematikan lilin, membiarkan ruangan kembali gelap gulita. Dalam kegelapan itu, saya hanya bisa mendengar detak jantung saya sendiri pelan, mantap, seakan menghitung mundur menuju esok hari.

Apa pun yang terjadi, besok akan jadi awal dari babak baru.

Bukan lagi sekadar bertahan.

Tapi membangun ulang atau mungkin, menghancurkan lebih jauh.

Dan entah kenapa, sebelum mata saya terpejam, sebuah pikiran konyol melintas:

“Kalau truk pengangkut ikan itu benar-benar jalan… mungkin aku akan jadi satu-satunya penyintas yang menyerang zombi dengan bau ikan asin.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!