Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Di ruang tengah, terdapat sebuah meja besar dengan kanvas kosong dan beragam alat lukis. Maya mengajaknya untuk mencoba melukis.
“Lukislah apa pun yang ada dalam hatimu,” ujar Maya dengan senyum yang penuh harap. “Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar. Ini hanya tentang mengekspresikan dirimu.”
Aruna memandang kanvas kosong itu dengan sedikit ragu. Ia tidak pernah benar-benar merasa memiliki bakat melukis, namun sesuatu dalam dirinya merasa tertarik untuk mencoba. Ia mulai mengoleskan warna pertama pada kanvas, tanpa tahu harus mulai dari mana. Namun, seiring waktu, ia mulai merasakan aliran emosi yang mengalir melalui kuasnya.
Dalam beberapa jam, Aruna terperangah melihat hasilnya. Lukisan itu tidak sempurna, tapi ada sesuatu yang mendalam tentangnya warna biru gelap di sudut kiri kanvas mencerminkan rasa sakit yang telah ia alami, sementara warna cerah di tengahnya menggambarkan harapan yang mulai tumbuh. Ia merasa seolah-olah dirinya tertuang dalam lukisan itu.
“Lihatlah, Aruna,” kata Maya, sambil berdiri di sampingnya. “Kamu baru saja mengekspresikan apa yang ada di dalam dirimu. Ini bukan hanya tentang seni, tetapi tentang menyembuhkan diri.”
Aruna melihat lukisannya, matanya sedikit berkaca-kaca. Tiba-tiba, ia merasa bahwa ia bisa bernapas lebih lega. Semua perasaan yang terpendam selama ini akhirnya bisa terungkap lewat warna, lewat bentuk yang tidak terucap dengan kata-kata. Maya benar. Aruna sedang menemukan kembali bagian dari dirinya yang sempat hilang.
Kegiatan melukis itu menjadi rutinitas baru bagi Aruna. Setiap akhir pekan, ia pergi ke studio seni untuk menghabiskan waktu sendiri, berhadapan dengan kanvas kosong yang menunggu untuk diisi. Seiring waktu, ia mulai merasa lebih tenang dan lebih kuat. Seni menjadi pelarian yang sempurna untuk mengatasi kesepian dan kekosongan yang kadang datang menyergap.
Namun, meskipun Aruna mulai menemukan kedamaian dalam diri dan karyanya, bayangan Revan masih sesekali muncul. Di malam-malam tertentu, Aruna merindukan suara lembutnya, atau sekadar melihat senyumannya yang penuh keyakinan. Tapi, ia tahu bahwa ia harus melangkah lebih jauh dari kenangan itu. Ia tidak ingin terjebak dalam masa lalu yang hanya membawa luka.
Suatu hari, saat Aruna sedang berada di studio seni, ia mendapat telepon dari ibunya. “Aruna, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu,” kata ibunya, suaranya terdengar cemas. “Revan datang ke rumah kita tadi pagi. Dia bilang ingin bicara.”
Jantung Aruna berdegup kencang mendengar nama itu. Revan. Apa yang dia inginkan? Setelah sekian lama menghilang dari hidupnya, sekarang ia kembali? Meskipun ia sudah memutuskan untuk melepaskan semua, perasaan itu muncul kembali takut, cemas, dan sedikit penasaran.
“Kenapa dia ingin bertemu dengan saya?” tanya Aruna dengan suara yang agak gemetar.
“Dia tidak memberitahu banyak, hanya bilang ingin menjelaskan sesuatu,” jawab ibunya. “Mungkin kamu perlu mendengarkan.”
Aruna terdiam, ragu. Apakah ia siap untuk bertemu dengannya? Ia tahu bahwa keputusan ini bisa membawa kembali perasaan yang sudah lama terkubur, tetapi ia juga merasa bahwa ia perlu menutup bab ini dengan baik.
“Aku akan datang, Bu,” akhirnya Aruna menjawab.
Setelah beberapa saat, Aruna menutup telepon dan menatap kanvas yang ada di depannya. Lukisan yang sedang ia kerjakan mulai terlihat lebih hidup, namun hati Aruna merasa ada sesuatu yang tak lengkap. Ia tahu, meskipun ia telah melangkah jauh, ada satu bagian dari hidupnya yang masih harus diselesaikan pertanyaan yang masih menggantung tentang dirinya dan Revan.
Dengan tekad yang bulat, Aruna memutuskan untuk pergi menemui Revan. Ini mungkin bukan tentang kembali bersama, tetapi tentang memberikan penutupan yang baik untuk hubungan mereka. Seperti kanvas yang baru, hidup Aruna pun perlu diberi warna yang baru.
Aruna melangkah ke ruang tamu rumah orang tuanya dengan hati yang berdebar. Pikirannya bercampur aduk. Ada rasa khawatir, cemas, dan entah kenapa, sedikit juga rasa penasaran. Apa yang membuat Revan datang setelah sekian lama? Apa yang ingin dia bicarakan sekarang, setelah semuanya berakhir?
Meskipun Aruna telah mencoba untuk melepaskan masa lalu dan menjalani kehidupannya dengan lebih baik, perasaan yang pernah ia miliki untuk Revan tidak pernah benar-benar hilang. Tidak ada yang bisa menghapus kenangan manis yang pernah mereka bagi. Namun, ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan luka baru.
Saat Aruna masuk ke ruang tamu, ia melihat Revan duduk di salah satu kursi, tampak canggung dan gelisah. Matanya tidak setajam dulu, dan wajahnya terlihat lelah. Aruna bisa merasakan aura penyesalan dan keinginan untuk menjelaskan sesuatu, tetapi ia tidak bisa begitu saja melupakan semua yang telah terjadi.
“Revan,” sapa Aruna, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan. “Apa yang kau inginkan?”
Revan mengangkat wajahnya dan menatap Aruna dengan tatapan yang penuh harap. Ia tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak bisa menyembunyikan kekosongan di matanya. Aruna bisa melihat bahwa dia telah banyak berubah mungkin bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam cara dia memandang dunia. Tetapi apakah perubahan itu cukup untuk memperbaiki semuanya?
“Aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta ini,” kata Revan, suaranya serak. “Tapi aku ingin berbicara denganmu. Aku merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi antara kita.”
Aruna menatapnya dalam diam, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Semua perasaan yang telah ia coba kubur dalam-dalam muncul kembali. Revan masih memengaruhinya lebih dari yang ia inginkan.
“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Revan?” tanya Aruna dengan hati-hati, berusaha untuk tetap tegar meskipun hatinya bergejolak.
Revan menarik napas panjang, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. “Aku ingin mengatakan bahwa aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkanmu dalam kesendirian itu. Aku menyesal tidak bisa melihatmu benar-benar melihatmu selama ini. Aku masih terjebak dalam masa lalu, Aruna, dan aku tahu itu menghancurkan kita.”
Aruna mengerutkan kening, merasa sedikit tersentak.
“Masa lalu?” tanyanya, tidak bisa menahan rasa ingin tahu. “Apa maksudmu?”
Revan mengangguk pelan, wajahnya penuh rasa malu. “Aku masih teringat tentang Lara. Aku tahu aku seharusnya move on, tetapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan itu. Aku rasa aku menyakitimu karena itu, karena aku tidak bisa melepaskannya. Dan aku juga merasa aku tidak bisa membuka hati untukmu sepenuhnya, karena masih ada bayangannya di sana.”
Aruna terdiam. Nama Lara membuat perasaan itu kembali merasakan luka, perasaan diabaikan, perasaan bahwa ia tidak pernah benar-benar menjadi prioritas dalam hidup Revan. Ia ingin marah, ingin berkata sesuatu yang tajam, tetapi saat itu, ia hanya merasa kosong. Semua yang telah ia lewati, semua yang telah ia coba bangun dalam dirinya, terasa rapuh untuk beberapa saat.